Empat warga Solo menuntut walikotanya Joko Widodo karena maju dalam pemilihan gubernur Jakarta sebelum masa jabatan di Solo habis.
Segelintir warga Solo mengajukan gugatan hukum pada Walikota Solo, Joko “Jokowi” Widodo, ke Pengadilan Negeri Solo, karena dianggap melanggar hukum dan sumpah jabatan saat maju dalam pemilihan gubernur Jakarta sebelum masa jabatannya habis.
Ary Setiawan, warga Sudiroprajan, Jebres, Solo bersama tiga teman sekampungnya dan didampingi pengacaranya bertekad terus menggugat Jokowi, karena mencalonkan diri sebagai kepala daerah di wilayah lain sedangkan masa jabatannya sebagai Walikota Solo masih berlangsung tiga tahun lagi. Ary menampik tudingan gugatan hukum tersebut bermuatan politis.
“Saya sebagai warga Sudiroprajan, masyarakat kota Surakarta, mempertanyakan sikap walikota Surakarta, Joko Widodo, mengapa di masa jabatannya sebagai walikota meninggalkan jabatannya yang belum habis,” ujar Ary.
“[Di bawah Jokowi], kami merasakan perubahan dan kemajuan di Solo terkait pembangunan fisik, seni budaya, maupun sumber daya manusianya Pak Jokowi kan sudah disumpah di hadapan DPRD maupun warga kota Surakarta akan menyelesaikan masa jabatannya selama lima tahun. Ini baru dua tahun kok sudah pindah. Ini akan menjadi bukti antara sumpah jabatan yang pernah diucapkan secara legal formal dalam lembaran negara ternyata dilanggar begitu saja.”
Ary bersama teman sekampungnya menggugat Walikota Solo, Joko Widodo senilai Rp 343 miliar. Angka tersebut diperoleh dari penghitungan anggaran yang sudah digunakan sebagai fasilitas negara untuk keperluan walikota Solo selama dua tahun ini.
Sidang perdana gugatan digelar Rabu (26/9) lalu, namun tidak dihadiri Jokowi. Saat ditemui di kantornya, Walikota Solo Joko Widodo mengaku tidak gentar dengan gugatan yang diajukan warganya tersebut.
“Silakan saja menggugat, biasa saja. Saya sudah sering digugat seperti itu. Tidak hanya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, atau lima kali. Saya sudah bolak-balik digugat ke pengadilan dari dalam maupun dari luar Solo,” ujar Jokowi.
Bukti yang digunakan para warga Solo untuk menggugat walikotanya berupa rekaman video pelantikan Jokowi saat mengucapkan sumpah jabatan sebagai walikota Solo dengan masa jabatan 2010-2015. Selain itu, juga dokumen-dokumen lembaran negara yang isinya keputusan maupun ketetapan Joko Widodo sebagai Walikota Solo periode 2010-2015.
Sidang yang dipimpin majelis hakim Subur Susetyo menyatakan perlunya upaya mediasi pada warga sebagai penggugat dan walikota Solo sebagai tergugat. Batas waktu mediasi 40 hari, jika tidak ada kesepakatan, maka sidang gugatan akan dilanjutkan.
Meski belum ada penetapan perolehan suara terbanyak oleh Komisi Pemilihan Umum Jakarta, Jokowi dan pasangannya Basuki Tjahaja Purnama unggul dalam penghitungan cepat atau quick count berbagai lembaga survei.
Keikutsertaan Jokowi, serta Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, yang merupakan kepala daerah aktif dalam pemilihan gubernur Jakarta adalah fenomena baru. Kementerian Dalam Negeri menyatakan harus ada aturan main yang tegas bagi para kepala daerah aktif agar mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum ikut berlaga dalam kompetisi politik daerah lain.
Kewajiban mundur ini harus diberlakukan agar kepala daerah bertanggung jawab atas keterpilihannya. Dengan aturan ini kepala daerah tidak bebas lagi meloncat ke daerah lain untuk maju sebagai kepala daerah yang lebih tinggi wewenangnya. Namun rancangan aturan tersebut masih menimbulkan pro dan kontra.
Ary Setiawan, warga Sudiroprajan, Jebres, Solo bersama tiga teman sekampungnya dan didampingi pengacaranya bertekad terus menggugat Jokowi, karena mencalonkan diri sebagai kepala daerah di wilayah lain sedangkan masa jabatannya sebagai Walikota Solo masih berlangsung tiga tahun lagi. Ary menampik tudingan gugatan hukum tersebut bermuatan politis.
“Saya sebagai warga Sudiroprajan, masyarakat kota Surakarta, mempertanyakan sikap walikota Surakarta, Joko Widodo, mengapa di masa jabatannya sebagai walikota meninggalkan jabatannya yang belum habis,” ujar Ary.
“[Di bawah Jokowi], kami merasakan perubahan dan kemajuan di Solo terkait pembangunan fisik, seni budaya, maupun sumber daya manusianya Pak Jokowi kan sudah disumpah di hadapan DPRD maupun warga kota Surakarta akan menyelesaikan masa jabatannya selama lima tahun. Ini baru dua tahun kok sudah pindah. Ini akan menjadi bukti antara sumpah jabatan yang pernah diucapkan secara legal formal dalam lembaran negara ternyata dilanggar begitu saja.”
Ary bersama teman sekampungnya menggugat Walikota Solo, Joko Widodo senilai Rp 343 miliar. Angka tersebut diperoleh dari penghitungan anggaran yang sudah digunakan sebagai fasilitas negara untuk keperluan walikota Solo selama dua tahun ini.
Sidang perdana gugatan digelar Rabu (26/9) lalu, namun tidak dihadiri Jokowi. Saat ditemui di kantornya, Walikota Solo Joko Widodo mengaku tidak gentar dengan gugatan yang diajukan warganya tersebut.
“Silakan saja menggugat, biasa saja. Saya sudah sering digugat seperti itu. Tidak hanya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, atau lima kali. Saya sudah bolak-balik digugat ke pengadilan dari dalam maupun dari luar Solo,” ujar Jokowi.
Bukti yang digunakan para warga Solo untuk menggugat walikotanya berupa rekaman video pelantikan Jokowi saat mengucapkan sumpah jabatan sebagai walikota Solo dengan masa jabatan 2010-2015. Selain itu, juga dokumen-dokumen lembaran negara yang isinya keputusan maupun ketetapan Joko Widodo sebagai Walikota Solo periode 2010-2015.
Sidang yang dipimpin majelis hakim Subur Susetyo menyatakan perlunya upaya mediasi pada warga sebagai penggugat dan walikota Solo sebagai tergugat. Batas waktu mediasi 40 hari, jika tidak ada kesepakatan, maka sidang gugatan akan dilanjutkan.
Meski belum ada penetapan perolehan suara terbanyak oleh Komisi Pemilihan Umum Jakarta, Jokowi dan pasangannya Basuki Tjahaja Purnama unggul dalam penghitungan cepat atau quick count berbagai lembaga survei.
Keikutsertaan Jokowi, serta Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, yang merupakan kepala daerah aktif dalam pemilihan gubernur Jakarta adalah fenomena baru. Kementerian Dalam Negeri menyatakan harus ada aturan main yang tegas bagi para kepala daerah aktif agar mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum ikut berlaga dalam kompetisi politik daerah lain.
Kewajiban mundur ini harus diberlakukan agar kepala daerah bertanggung jawab atas keterpilihannya. Dengan aturan ini kepala daerah tidak bebas lagi meloncat ke daerah lain untuk maju sebagai kepala daerah yang lebih tinggi wewenangnya. Namun rancangan aturan tersebut masih menimbulkan pro dan kontra.