Haryadi Suyuti adalah kepala daerah pertama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang ditangkap KPK. Padahal, menurut Ahmad Haedar, Manajer Knowledge Management Perkumpulan IDEA, laporan warga Yogya terkait dugaan korupsi para pejabat daerah ke KPK sangat banyak.
“Kita ingin mengingat kembali, bahwa laporan terkait dengan dugaan korupsi di Yogya memang sangat tinggi. Catatan kami, dari 2016-2018 ada 192 laporan dugaan korupsi, dan bisa jadi yang menjerat mantan walikota adalah bagian dari laporan itu,” kata Haedar.
Sekelompok warga dan aktivis berbagai lembaga berkumpul pada Kamis (9/6) di LBH Yogyakarta, untuk membincangkan langkah KPK di wilayah tersebut. Dari hampir 200 laporan itu, yang setiap tahun bertambah, KPK hanya melakukan satu penangkapan.
Haedar menilai, ada ketidakmauan atau keengganan KPK untuk melakukan penindakan kasus korupsi di Yogyakarta. KPK menangkap Haryadi Suyuti, mantan Wali Kota Yogyakarta yang baru sepuluh hari selesai bertugas pada 2 Juni 2022.
Pertemuan di LBH Yogya ini juga mengkritik langkah KPK, yang lebih banyak berkonsentrasi pada upaya pencegahan. Langkah itu, misalnya, dilakukan melalui kerja sama resmi atau MOU dengan pemerintah daerah di DIY.
“Upaya KPK berhenti pada aspek pencegahan. Padahal tindakan yang sudah mengarah pada tindak pidana korupsi itu bisa jadi sangat besar,” lanjutnya.
IDEA sendiri bersama sejumlah jurnalis di Yogyakarta pernah menjalin kerja sama menyusun laporan-laporan investigasi jurnalistik terkait praktik korupsi. Beberapa proyek pembangunan menjadi obyek investigasi, termasuk penggunaan Dana Keistimewaan. Ini adalah skema dana khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada DIY, karena statusnya sebagai daerah istimewa. Penggunaan dana rakyat ini, tidak cukup mendapat pengawasan karena relatif tertutup.
BACA JUGA: KPK Tetapkan Mantan Wali Kota Yogya Tersangka SuapSelain itu, investigasi juga berkonsentrasi pada proses tender proyek berskala besar.
“Di Yogya, proses-proses lelang tender itu sampai sekarang dianggap belum memenuhi asas-asas tansparansi dan akuntabilitas. Bahkan dalam prosesnya cenderung banyak mengandung unsur persekongkolan, karena penyedia atau vendor yang menang, antara satu proyek dengan proyek lain masih berkaitan,” tambahnya.
OTT Kecil Berbuntut Besar
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK, ada uang lebih dari $27 ribu yang disita sebagai barang bukti. Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman, memastikan angka dalam OTT tidak menggambarkan kasus secara keseluruhan. Dia mengatakan, KPK memiliki banyak pengalaman mengungkap kasus korupsi besar kepala daerah, berawal dari OTT bernilai kecil.
“Termasuk suami-istri Bupati Probolinggo awalnya hanya Rp70 juta. Kasus Bupati Bangkalan Fuad Amin awalnya juga sangat kecil, juga kasus Bupati Kebumen awalnya cuma Rp70 juta juga kasus suapnya, tetapi KPK bisa mengembangkan menjadi kasus yang sangat kompleks. Semua kasus pengadaan dibongkar dan menggunakan pendekatan yang progresif. Kita berharap KPK menggunakannya di Yogya,” kata Zaenur.
KPK sebenarnya pernah melakukan penindakan di Yogyakarta, meski terdakwanya adalah jaksa dan kontraktor yang berasal dari Solo. Zaenur menyayangkan KPK tidak mengembangkan kasus ini lebih jauh. KPK juga tengah menyidik kasus pembangunan Stadion Mandala Krida di Yogyakarta, tetapi tidak jelas kelanjutannya sampai saat ini. Padahal, menurut catatan Pukat UGM, biasanya kepala daerah yang ditangkap telah terbiasa melakukan tindak kejahatan serupa.
“Jarang sekali seorang tersangka atau terdakwa ditangkap KPK, sebagai penerimaan suap yang pertama. Dalam kasus-kasus KPK, seorang tersangka ditangkap ketika sudah menerima atau melakukan perbuatan pidana suap atau gratifikasi yang kesekian kali,” tandas Zaenur.
Pukat UGM meminta penerapan metode Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus Haryadi Suyuti, karena mampu membongkar aliran dana yang selama ini terjadi. Upaya itu bermakna membongkar kasus-kasus lain dalam tindak pidana sejenis.
“Ini juga sekaligus untuk membersihkan Yogja. Ini menjadi awal membersihkan Yogya dari tindak korupsi yang sangat akut dan pembangunan ugal-ugalan yang tanpa memperhatikan aspek lingkungan,” tegasnya.
Korupsi Merusak Lingkungan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, juga mempertanyakan keluarnya lebih dari seratus izin pembangunan hotel pada akhir 2013. Pemerintah Kota Yogyakarta di bawah Haryadi Suyuti menetapkan moratorium pembangunan hotel pada 2014. Namun, dalam periode singkat pada akhir 2013, ratusan izin hotel bisa muncul.
“Ini lebih memberikan peluang izin-izin untuk masuk, dan dari 104 inilah yang kemudian harapannya bisa ditelusuri oleh KPK satu persatu,” ujar Halik.
Dalam praktik lebih jauh, mengambil contoh salah satu hotel yang beroperasi dan diprotes warga, hotel tersebut kemudian terbukti belum memiliki izin pemanfaatan air.
BACA JUGA: OTT Mantan Wali Kota: Ujung Perlawanan Panjang Warga Yogya Melawan Korupsi“Bagaimana mungkin dia belum memiliki izin pemanfaatan air, tetapi hotelnya sudah operasional. Padahal operasional sebuah hotel itu salah satu syaratnya adalah izin pemanfaatan air itu,” tambah Halik.
Walhi Yogyakarta mencatat cukup banyak kasus perhotelan yang melanggar aturan terkait lingkungan. Uniknya, pelanggaran semacam itu selesai hanya dengan memasukkannya ke dalam kategori tindak pidana ringan. Termasuk dalam jenis pelanggaran ini adalah tidak mematuhi batas jalan, melebihi batas ketinggian bangunan yang diperbolehkan, hingga pemanfaatan sempadan sungai melanggar aturan.
Di sisi lain, yang sangat memprihatinkan adalah pemerintah kota mempermudah izin-izin bangunan hotel, tetapi lalai menyediakan sarana untuk warganya sendiri. Ruang terbuka hijau, yang disyaratkan oleh undang-undang setidaknya 20 persen, hanya terpenuhi kurang dari sepuluh persen.
Korban Kebijakan Diakomodasi
Korupsi perizinan tidak berdiri sendiri. Tindak kejahatan karena penyalahgunaan wewenang ini menimbulkan korban, terutama di kalangan warga, karena pemimpin daerah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Dalam kasus izin hotel dan apartemen di Yogya, warga kota menjadi korban, misalnya karena hilangnya sumber air tanah di rumah mereka.
Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, David Efendi, menyebut praktik pemiskinan masyarakat terjadi karena praktik korupsi.
“Banyak kebijakan yang menyebabkan masyarakat tidak mendapatkan haknya karena banyak penyimpangan,” tegasnya.
David mengaku terlibat dalam berbagai upaya pembelaan warga terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan mereka. Tidak hanya terkait hotel dan apartemen, tetapi juga menjamurnya toko modern berjejaring yang meminggirkan warga dari sisi ekonomi.
Your browser doesn’t support HTML5
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, menilai, korban-korban korupsi kebijakan seperti ini juga harus mendapatkan akses atas hak-haknya yang hilang.
“Selain mendesak KPK, kita perlu memikirkan juga, bagaimana rehabilitasi dan hak restitusi dari korban,” ujarnya.
Karena Yogyakarta menjadi kawasan strategis pariwisata nasional, pembangunan sarana dan prasarana menjadi prioritas. Jalan tol, infrastruktur air, infrastruktur transportasi dan sarana pendukung lain seperti hotel akan terus dibangun. LBH Yogyakarta mengeluarkan tiga rekomendasi terkait kasus ini, baik bagi KPK, pemerintah maupun masyarakat.
“Kami mendukung KPK terus memantau izin-izin apartemen dan hotel, baik di kota maupun wilayah lain di DIY. Korban-korban kebijakan mantan wali kota Haryadi Suyuti, harus dipenuhi hak-haknya oleh negara. Kami mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, mengawal kasus ini dan memastikan HS dihukum seberat-beratnya,” tambah Julian. [ns/lt]