Pemandangan yang sering kita jumpai di titik-titik penampungan korban bencana adalah area tidur bagi pengungsi dan deretan kamar kecil. Tentu saja ada banyak fasilitas penunjang lain, namun dua bagian itu cukup dominan. Selama ini, pembagian area, terutama toilet, dilakukan menurut jenis kelamin. Ada area khusus untuk laki-laki, dan satu area lagi khusus untuk perempuan.
Lalu, bagaimana jika seorang waria turut menjadi korban dalam sebuah bencana?
“Selama ini kita jarang, bahkan mungkin tidak pernah melihat waria di area penampungan korban bencana. Mengapa? Bukan karena tidak ada, tetapi karena mereka memiliki cara sendiri ketika menjadi korban, yaitu dengan mengungsi ke rumah teman atau lembaga khusus yang mendukung keberadaan mereka,” kata Alia Fajarwati, dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam perbincangan dengan VOA.
Sebagai peneliti di kampus, Alia Fajarwati melakukan banyak kajian dalam kaitan antara kebencanaan dan gender. Menurutnya, selama ini persoalan pengarusutamaan gender (PUG) dalam penanganan bencana di Indonesia, lebih banyak menempatkan isu-isu terkait perempuan. Waria, sebagai kelompok yang terpinggirkan, sama sekali tidak masuk dalam wacana.
Dalam kasus bencana Merapi tahun 2010, kata Alia, para waria yang mengungsi memilih untuk menginap di rumah teman sesama waria. Masalahnya, di tempat pengungsian mereka tidak diterima oleh pengungsi perempuan. Sedangkan jika bergabung dengan kelompok laki-laki, yang mereka terima adalah pelecehan. Kepada keluarga sendiri, waria juga tidak dapat meminta pertolongan karena mayoritas dari mereka sebelumnya telah pergi dari rumah dan hidup terpisah.
Baca juga: Menentang Diskriminasi, Pesantren Transgender Indonesia Buka Kembali
"Jangan anggap langkah ini hanya untuk kepentingan masyarakat. Justru ini demi kepentingan bersama agar seluruh pihak merasa nyaman, baik kelompok waria maupun masyarakat lain yang sama-sama menjadi korban sebuah bencana," tambah Alia.
Oleh karena itu, sementara ini dia menilai perlu adanya penguatan jaringan di kalangan waria agar mampu membantu kelompoknya sendiri dalam kondisi bencana. Sementara di sisi lain, badan-badan penanggulangan bencana pemerintah harus mulai menempatkan isu ini secara proporsional.
“Konteksnya dalam kondisi kritis, di mana semua fasilitas rusak sementara populasi yang dilayani bermacam-macam, termasuk kelompok waria ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mengabaikan keberadaan mereka, entah mereka tidur di mana atau makan di mana, tetapi dalam kondisi bencana mau tidak mau semua harus hidup berdampingan. Nah, karena itu dalam kondisi kritis mereka harus diperhatikan,” kata Alia.
Mungkin dianggap remeh, tetapi kata Alia, bantuan paket kesehatan dan kebutuhan dasar bagi waria korban bencana bisa menjadi masalah tersendiri. Apakah, misalnya, mereka akan diberi paket pakaian untuk laki-laki ataukah perempuan. Komunitas waria harus dilibatkan, karena detil semacam ini penting untuk menciptakan layanan yang lebih sadar gender bagi waria.
Sulawesi Selatan adalah salah satu daerah yang cukup positif jika dikaitkan dengan posisi kelompok waria di masyarakat. Faktor budaya lokal, di mana waria disebut sebagai bissu di sana, membantu penerimaan secara sosial. Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Sulawesi Selatan, Andi Iskandar Harun kepada VOA mengatakan, tantangan layanan bagi waria di daerah ini tidak sesulit di tempat lain.
“Kami menggunakan aspek-aspek budaya dalam memperkenalkan kegiatan kelompok waria kepada masyarakat. Ini yang membantu penerimaan itu. Tetapi tentu saja tetap ada penolakan, hanya saja relatif kecil,” ujar Andi.
Dia juga menambahkan, waria memang menjadi perhatian karena cenderung menonjol di depan publik. Tidak seperti kelompok lain, seperti gay atau lesbian yang bisa tampil layaknya kelompok heteroseksual, waria berpakaian dan bertingkah berbeda. Perbedaan inilah yang menarik perhatian masyarakat. Sayangnya, pemberitaan seputar kelompok waria lebih banyak dalam isu-isu yang menyudutkan mereka, terutama yang dianggap menggangu ketertiban umum.
Persepsi itu mempengaruhi masyarakat, tidak hanya dalam kondisi bencana, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Mayoritas waria yang didampingi oleh PKBI Sulawesi Selatan, menurut Andi, memiliki tingkat pendidikan rendah. Kajian lebih jauh menemukan fakta bahwa kelompok ini tidak bisa mengakses layanan pendidikan dari pemerintah.
Sebagian besar penyebabnya justru karena aturan di sekolah dan bullying atau perundungan dari kawan-kawannya sendiri. Fakta ini cukup menggambarkan beratnya beban sosial yang harus ditanggung oleh waria dalam kaitannya dengan akses layanan pemerintah, baik dalam kondisi bencana maupun tidak.
“Teman-teman waria itu belum kuat dalam memperjuangkan ideologinya, termasuk di dalamnya soal fasilitas. Sebenarnya mereka ini adalah kelompok masyarakat yang pintar survive di perkotaan. Jadi, ketika hanya ada itu, mereka yang akan melakukan adaptasi untuk menyesuaikan. Nah, apakah kemudian mereka tidak menuntut kebutuhan-kebutuhan khusus? Ini yang juga menjadi pertanyaan kita kepada teman-teman waria. Apakah mereka hanya akan menerima apapun yang disediakan negara, tanpa ada penyediaan fasilitas khusus, misalnya,” kata Andi Iskandar Harun.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam hal terjadinya bencana, kata Andi, posisi kelompok waria sepertinya relatif sama dengan kelompok difabel misalnya, yang memerlukan fasilitas khusus di area pengungsian. Namun masyarakat lebih mudah menerima kelompok difabel, sehingga kebutuhan mereka lebih cepat tersedia. Padahal, pola layanan khusus bagi kelompok waria diperlukan, untuk mengikis diskriminasi yang sudah mereka terima selama ini. [ns/lt]