Para wartawan yang bekerja pada jaringan Al Jazeera sedang diadili di Mesir, karena tuduhan bergabung atau membantu sebuah kelompok teroris, Ikhwanul Muslimin, yang kini dilarang.
Dalam kehadiran pertamanya di pengadilan, para terdakwa itu menyatakan diri tidak bersalah hari Kamis, atas sejumlah tuduhan termasuk, membantu para teroris dan menyiarkan berita-berita yang salah.
Setelah pengacara hukum, tidak berhasil membebaskan terdakwa dengan uang jaminan pengadilan ditunda, dan akan dilanjutkan bulan depan.
Dua puluh pekerja media didakwa dalam kasus itu. Delapan di antaranya ditahan, termasuk warga Australia, Peter Greste, warga Canada keturunan Mesir, Mohamed Fahmy dan warga Mesir, Bahar Mohamed, yang dipenjara akhir tahun lalu. Lainnya diadili in absensia.
Al Jazeera, yang menyangkal keras tuduhan itu mengatakan, hanya 9 terdakwa yang bekerja bagi jaringan media itu.
Wartawan peraih penghargaan, Peter Greste, yang menggambarkan liputannya tentang Mesir sebagai suatu pekerjaan rutinnya, menulis dari dalam penjara, bahwa kasus itu sebagai suatu peringatan bagi wartawan lainnya tentang liputan bagaimana yang bisa diterima di Mesir.
Para wartawan di seluruh dunia telah meluncurkan sebuah kampanye untuk mendukung mereka yang dituduh dalam kasus itu, dan baik Amerika maupun PBB mengungkapkan keprihatinannya.
Wakil Direktur Pengamat HAM, Joe Stork menyebut kasus itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintah Mesir mengatakan, ini bukanlah kasus politik, tapi hukum, menepiskan kecaman-kecaman itu sebagai campur tangan asing.
Banyak warga Mesir dan media yang pro-pemerintah mencurigai para wartawan asing itu melakukan peliputan yang tidak adil tentang pergolakan politik di Mesir, tapi kemarahan itu terutama ditujukan kepada Al Jazeera. Saluran televisi satelit yang bermarkas di Qatar melihat hal itu sebagai dukungan kepada kelompok Ikhwanul Muslimin pimpinan Presiden terguling Mohamed Morsi.
Pemerintah sementara Mesir mengecam para pemimpin Qatar yang memberi perlindungan kepada para anggota Ikhwanul Muslimin.
Mesir menganggap Ikhwanul Muslimin suatu organisasi teroris, setelah ledakan bom bulan Desember, yang dilakukan oleh kelompok militan Islam, Ansar Beit al Maqdas. Para pejabat mengatakan, dua kelompok itu terkait, tapi para anggotanya menyangkal.
Setelah pengacara hukum, tidak berhasil membebaskan terdakwa dengan uang jaminan pengadilan ditunda, dan akan dilanjutkan bulan depan.
Dua puluh pekerja media didakwa dalam kasus itu. Delapan di antaranya ditahan, termasuk warga Australia, Peter Greste, warga Canada keturunan Mesir, Mohamed Fahmy dan warga Mesir, Bahar Mohamed, yang dipenjara akhir tahun lalu. Lainnya diadili in absensia.
Al Jazeera, yang menyangkal keras tuduhan itu mengatakan, hanya 9 terdakwa yang bekerja bagi jaringan media itu.
Wartawan peraih penghargaan, Peter Greste, yang menggambarkan liputannya tentang Mesir sebagai suatu pekerjaan rutinnya, menulis dari dalam penjara, bahwa kasus itu sebagai suatu peringatan bagi wartawan lainnya tentang liputan bagaimana yang bisa diterima di Mesir.
Para wartawan di seluruh dunia telah meluncurkan sebuah kampanye untuk mendukung mereka yang dituduh dalam kasus itu, dan baik Amerika maupun PBB mengungkapkan keprihatinannya.
Wakil Direktur Pengamat HAM, Joe Stork menyebut kasus itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintah Mesir mengatakan, ini bukanlah kasus politik, tapi hukum, menepiskan kecaman-kecaman itu sebagai campur tangan asing.
Banyak warga Mesir dan media yang pro-pemerintah mencurigai para wartawan asing itu melakukan peliputan yang tidak adil tentang pergolakan politik di Mesir, tapi kemarahan itu terutama ditujukan kepada Al Jazeera. Saluran televisi satelit yang bermarkas di Qatar melihat hal itu sebagai dukungan kepada kelompok Ikhwanul Muslimin pimpinan Presiden terguling Mohamed Morsi.
Pemerintah sementara Mesir mengecam para pemimpin Qatar yang memberi perlindungan kepada para anggota Ikhwanul Muslimin.
Mesir menganggap Ikhwanul Muslimin suatu organisasi teroris, setelah ledakan bom bulan Desember, yang dilakukan oleh kelompok militan Islam, Ansar Beit al Maqdas. Para pejabat mengatakan, dua kelompok itu terkait, tapi para anggotanya menyangkal.