Sekelompok organisasi advokasi media berita di Amerika Serikat menyerukan kepada Presiden terpilih Donald Trump untuk "mempertahankan tradisi yang telah berjalan lama" untuk menjamin pers bebas menginformasikan publik mengenai aktivitas-aktivitas kepresidenannya.
Dalam sebuah surat terbuka hari Rabu (16/11) kepada Trump, 18 organisasi wartawan memintanya untuk mempertahankan grup wartawan yang meliput semua kegiatan dan gerakan presiden dan harus melakukan konferensi pers rutin dengan media.
"Peran grup wartawan ini sangat penting bagi negara kita, yang warga negaranya mengandalkan mereka dan berhak tahu apa yang dilakukan presiden," tulis surat tersebut.
Kekhawatiran mengenai akses media berita terhadap Trump selama kepresidenannya muncul Selasa malam ketika ia meninggalkan kediamannya di Trump Tower di kota New York untuk makan malam tanpa rombongan wartawannya.
Selama kampanyenya, bukan hal yang langka bagi Trump untuk melontarkan pernyataan marah pada jurnalis atau melarang media tertentu untuk meliput kampanye.
Hubungan Trump yang dingin dengan dengan media berita seharusnya tidak menjadi halangan untuk memberikan akses kepada media, menurut profesor jurnalistik dari Columbia University dan pemenang dua Hadiah Pulitzer Steve Coll.
"Saya tidak bisa menghakimi bagaimana ia akan melakukan hal ini," ujar Coll dalam wawancara dengan VOA. "Saya pikir ia akan terus kasar pada pers sebagai institusi, tapi saya kira ia juga akan ingin membuat dirinya bisa diakses karena seperti itulah cara ia beroperasi selama ini dan hal itu yang membuatnya bisa masuk Gedung Putih."
Seperti Ronald Reagan
Bahkan jika Trump mendobrak tradisi dengan melarang grup pers Gedung Putih atau menghambat akses mereka terhadap kegiatan-kegiatan kepresidenan, Coll mengatakan hal itu tidak akan melanggar Amandemen Pertama Konstitusi, yang melindungi kebebasan pers, termasuk hak untuk mengkritik pemerintah.
"Kelihatannya terlalu jauh untuk membuat klaim tersebut, karena Amandemen Pertama melindungi pers dari tekanan pemerintah. Hal itu tidak menjamin pers mendapat kursi di pesawat kepresidenan," ujarnya.
Coll mencatat bahwa pemerintahan Ronald Reagan, mantan bintang film yang menjadi presiden dari 1981 sampai 1989, sangat sukses mengurangi pengaruh pers yang bekerja dengan secara lihai mempergunakan acara-acara televisi yang diatur.
Setiap presiden sejak Reagan menemukan cara sendiri untuk menghadapi media berita, kata Coll. Presiden Barack Obama, misalnya, punya akun Twitter dan Gedung Putih berkomunikasi langsung dengan publik lewat beragam kanal media sosial lainnya.
Trump juga telah menggunakan Twitter dan memiliki pengikut lebih dari 15 juta orang.
Kekhawatiran lain yang lebih besar dari publik Amerika dibandingkan dengan penggunaan Twitter secara obsesif oleh Trump, ujar Coll, adalah penunjukkan Stephen Bannon sebagai kepala strategi Gedung Putih. Bannon adalah mantan kepala eksekutif media ultra kanan Breitbart News.
Coll mengatakan bahwa Breitbart News telah menjadi divisi komunikasi de facto untuk kampanye Trump, dan keselarasan dengan Gedung Putih akan menghapus tradisi kepresidenan.
"Fakta bahwa ia membawa Stephen Bannon ke Gedung Putih menunjukkan niatnya untuk mendorong komunikasi semacam itu. Dan saya melihat hal itu lebih mengkhawatirkan dibandingkan cuitan-cuitan Donald Trump di Twitter," ujarnya. [hd]