I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, memperoleh remisi dari Presiden Joko Widodo, yang ditandatangani pada 7 Desember 2018.
Mantan calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini tadinya divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 15 Februari 2010. Namun remisi yang diberikan pada akhir tahun lalu membuat hukuman Susrama berkurang menjadi 20 tahun penjara.
Keputusan itu menimbulkan kemarahan komunitas jurnalis dan masyarakat sipil. Puluhan wartawan dan aktivis hak asasi manusia pada hari Jumat (25/1) berunjuk rasa di seberang Istana Negara, Jakarta Pusat; menuntut Presiden Jokowi membatalkan pemberian remisi terhadap Susrama.
Para demonstran berasal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, LBH Pers, dan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ). Mereka meneriakkan slogan, "Cabut, cabut, cabut remisi. Cabut remisi sekarang juga.
Mereka juga membawa beragam spanduk, antara lain bertulisan "Pak Presiden...Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis!!! dan "Why Indonesian Jurnalist Killer Receives Remission."
Ketua AJI : Kasus Pembunuhan Prabangsa Semula Jadi Preseden Bagus Penegakan Hukum
Ketua AJI Indonesia Abdul Manan menjelaskan ada banyak kasus pembunuhan wartawan di Indonesia, namun sebagian besar pelaku utama atau dalangnya tidak diadili. Menurutnya kasus pembunuhan Prabangsa menjadi preseden bagus karena otak kejahatan itu, Susrama, diadili dan akhirnya divonis penjara seumur hidup, lebih ringan ketimbang hukuman mati yang dituntut oleh jaksa.
Abdul Manan menilai hukuman seumur hidup bagi Susrama merupakan hukuman yang pantas diterima oleh dalang pembunuhan berencana tersebut. Oleh karena itu sangat disesalkan hukuman Susrama menjadi lebih ringan setelah mendapat remisi, yakni hanya 20 tahun saja.
“Ini menjadi seperti melukai perasaan komunitas pers karena orang yang melakukan pembunuhan secara keji terhadap wartawan, kok mendapatkan pengurangan hukuman. Bagi AJI, ini jadi perhatian yang sangat besar karena kita kasus kekerasan terhadap wartawan itu kecenderungannya tiap tahun tidak turun drastik,” ujar Abdul Manan.
Manan menambahkan berdasarkan catatan AJI, dalam satu dasawarsa terakhir kasus kekerasan atas wartawan setiap tahun rata-rata di atas 50 perkara. Sepanjang tahun ini terjadi 71 kasus kekerasan terhadap jurnalis, 64 kasus pada 2017, 60 kasus pada 2016, dan 80 kasus pada 2015.
Artinya, lanjut Manan, masih tingginya angka kekerasan menimpa jurnalis karena masih ada budaya impunitas terhadap pelaku, yakni pelaku kekerasan tidak dihukum. Sehingga orang tidak memiliki efek jera. manan mendesak pelaku kekerasan terhadap wartawan dihukum seberat-beratnya.
Dengan tidak adanya pelaku yang tidak diusut, diusut tapi tidak dihukum, atau dihukum berat namun mendapat remisi, menurut Manan, ini merupakan sinyal buruk bagi komunitas pers di Indonesia. Dia menganggap hal-hal tersebut seperti sebuah pesan untuk mempersilakan orang untuk berbuat semaunya kepada wartawan.
Manan menegaskan kalau Presiden Jokowi ingin menunjukkan dukungannya kepada kebebasan dan kemerdekaan pers salah satunya adalah tidak membuat kebijakan yang membuat para pelaku kekerasan seperti mendapat angin. Ketua AJI Indonesia itu menilai pemerintah kurang berkomitmen terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Lebih jauh ia mencontohkan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik/2016 tidak membuat perubahan terhadap pasal-pasal yang dikritik oleh kalangan pers.
“Tetap memasukkan pasal pencemaran nama baik, dan malah menambahkan pasal baru yang membuat pemerintah mempunyai kewenangan tambahan melakukan pemblokiran (media) tanpa melalui proses hukum,” imbuh Manan.
Selain itu, tambahnya, dalam revisi KUHP, pasal-pasal yang dianggap mengancam kebebasan pers dipertahankan. Bahkan malah menambah pasal baru yang mengancam kebebasan pers. Dia mencontohkan pasal mengenai kabar bohong, pencemaran nama baik, rahasia negara.
LBH Pers Siap Gugat Presiden Jokowi
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan pihaknya sedang mengumpulkan bahan dan informasi dibutuhkan untuk menggugat keputusan Presiden Jokowi yang memberikan remisi terhadap Susrama ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dia menambahkan pemberian remisi bagi Susrama itu diusulkan oleh kepala Rutan Kelas IIB Bangli. Namun Ade mengklaim kepala rutan sudah mencabut surat kelakuan baik atas nama Susrama yang menjadi dasar pemberian remisi. Pemberian remisi terhadap Susrama ini menjadi bukti buruknya komitmen Jokowi terhadap kemerdekaan pers.
“Kalau khusus terkait kebebasan pers, kita lihat bahwa dari pemerintah sendiri, Jokowi sendiri, belum ada itikad yang serius khususnya penuntasan-penuntasan kasus pembunuhan terhadap jurnalis atau pun kekerasan terhadap jurnalis,” ujar Ade.
IFJ: Pembunuhan Wartawan di Indonesia Tiap Tahun Meningkat
Dalam orasinya, Ratna Rianti dari IFJ (Forum Jurnalis Internasional) menyebut Indonesia termasuk dalam negara yang tidak menjamin keselamatan wartawan. Dia menyesalkan tiap tahun angka pembunuhan terhadap jurnalis terus meningkat.
Data IFJ menunjukkan tahun lalu ada 94 wartawan yang dibunuh, atau naik dari 82 orang pada 2017. Ratna menekankan hal ini terjadi karena ada sikap kompromi terhadap impunitas, seperti ditunjukkan pula oleh Presiden Jokowi yang memberikan remisi kepada pembunuh Prabangsa.
Ratna mengatakan masih ada delapan kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia yang pelakunya tidak pernah diadili. Dia menegaskan IFJ mendukung sikap AJI untuk menuntut Presiden Jokowi segera mencabut remisi telah diberikan kepada Susrama, pembunuh Prabangsa.
Hingga laporan ini disampaikan VOA belum berhasil menghubungi staf ahli presiden Ifdal Kasim.
Ungkap Korupsi Susrama, Prabangsa Dibunuh
Susrama merupakan satu di antara 115 terpidana seumur hidup yang mendapatkan grasi dari presiden. Mereka masuk kategori terpidana dengan kasus kriminal berat. Dengan grasi tersebut, hukuman seumur hidup yang diterima Susrama berubah menjadi hukuman 20 tahun penjara. Susrama divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim PN Denpasar yang diketuai Djumain pada 15 Februari 2010.
Susrama mulai ditahan pada 26 Mei 2009. Artinya, adik mantan Bupati Bangli I Nengah Arnawa itu belum genap sepuluh tahun berada di dalam penjara setelah membantai Prabangsa pada 11 Februari 2009.
Dalam surat presiden setebal 40 halaman itu, nama Susrama berada di urutan ke-94 dengan keterangan perkara pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama berdasar putusan PN Denpasar Nomor 1002/Pid.B/2009/PN.DPS/tanggal 15 Februari 2010 juncto putusan PT Denpasar Nomor 29/PID/2010/PT.DPS tanggal 16 April 2010 juncto putusan Kasasi MA Nomor 1665K/PID/2010 tanggal 24 September 2010.
Kasus pembunuhan berencana itu terjadi pada 11 Februari 2009 silam di kediaman Nyoman Susrama yang berlokasi di Banjar Petak, Bangli. Eksekusi pembunuhan diperkirakan dilakukan pada sekitar pukul 16.30 hingga 22.30 WITA.
Nyoman Susrama bukan pelaku langsung, melainkan aktor intelektual yang mendalangi aksi keji itu. Selain Susrama, polisi juga menetapkan enam orang lainnya sebagai tersangka, yaitu Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana alias Mangde, Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes.
Kasus ini mulai terkuak setelah mayat korban ditemukan mengambang di pesisir Klungkung pada 16 Februari 2009 dalam kondisi yang amat mengenaskan. Hasil penyelidikan mengarah kepada Nyoman Susrama yang kemudian terbukti sebagai otak dari aksi pembunuhan berencana ini.
Motif pembunuhan ini bermula dari kekesalan Nyoman Susrama terhadap Prabangsa karena pemberitaan wartawan Radar Bali tersebut. Prabangsa sebelumnya menulis berita terkait dugaan korupsi yang dilakukan Nyoman Susrama, yakni proyek-proyek Dinas Pendidikan di Kabupaten Bangli sejak awal Desember 2008 hingga Januari 2009.
Salah satu proyek yang disorot dalam pemberitaan Prabangsa adalah proyek pembangunan taman kanak-kanak dan sekolah dasar internasional di Bangli. Nyoman Susrama kala itu menjadi pemimpin proyek tersebut. Inilah yang kemudian membuat Nyoman Susrama merancang rencana untuk membunuh Prabangsa.
Nyoman Susrama merupakan calon legislatif (caleg) PDIP yang terpilih sebagai anggota DPRD Bangli periode 2009-2014. Caleg dengan nomor urut 10 di PDIP ini meraih suara terbanyak, yakni 4.800 suara di Daerah Pemilihan (Dapil) I Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
DPP PDIP pun langsung mengambil tindakan tegas dengan memecat Nyoman Susrama. [fw/em]