Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti ikut bicara dalam forum “Our Ocean Conference” di Departemen Luar Negeri Amerika akhir pekan lalu. Selain mengungkapnya pengalaman Indonesia menjaga wilayah maritimnya, dengan tegas Susi meminta negara-negara lain mengkategorikan kejahatan penangkapan ikan secara ilegal sebagai kejahatan trans-nasional yang terorganisir, sehingga bisa membuka jalan untuk saling membagi informasi dan penyelidikan bersama.
Ditemui VOA seusai konferensi itu, Susi tidak saja bicara tentang desakan yang disampaikannya, tetapi juga isu hangat lain terkait reklamasi pantai dan seruan kepada kementeriannya untuk membantu meningkatkan pendapatan negara. Berikut petikannya.
VOA: Ibu baru saja menghadiri forum “Our Ocean Conference” di Departemen Luar Negeri di mana sempat bertemu langsung dengan Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry dan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop. Bagaimana mood pertemuan itu dan apakah Menteri Kerry tahu masalah pelik yang dihadapi dunia maritim Indonesia?
Ibu Susi Pudjiastuti (SP): “Saya kira Menteri Kerry jauh lebih tahu dibanding kebanyakan orang Indonesia karena saya lihat dari pidato-pidatonya, ia sangat mengerti sekali tentang laut, IUUF (Illegal, Unreported and Unregulated Fishing atau penangkapan ikan illegal) dengan segala background modus operandinya.”
VOA: Topik-topik konferensi ini juga tampaknya tepat sekali dengan program kerja KKP, wilayah kelautan yang dilindungi, perikanan berkelanjutan, polusi di wilayah maritim dan dampak terkait iklim di laut dan lain-lain. Ibu juga melihat demikian?
SP: “Saya pikir itu sudah jelas sekali dan saya melihat bahwa concern dunia itu sudah betul dan saya merasa dua hari ini seperti sharing tentang apa yang saya alami. Saya sama seperti Kerry karena kami memang orang laut dan bertahun-tahun mendalami masalah ini, kerja di bidang ini. Sewaktu Kerry masih senator ia juga banyak mengurusi laut. Beliau sangat akrab dan bagi saya seperti ketemu seorang bapak karena gak perlu banyak kata, ia sudah mengerti.”
VOA: Saya tertarik dengan isi pidato Ibu dalam forum itu di mana Ibu tidak saja memaparkan masalah Indonesia, tetapi juga mendesak negara-negara asing untuk mengklasifikasi penangkapan ikan secara ilegal sebagai kejahatan trans-nasional yang terorganisir. Ibu mengaitkan hal ini dengan unsur human trafficking dan slavery yang terkait erat dengan penangkapan ikan secara ilegal itu. Bagaimana tanggapan peserta forum tadi?
SP: “Saya pikir sudah saatnya karena jika dilihat cara mereka beroperasi dalam IUUF, mereka sudah melibatkan perusahaan yang trans-nasional, jadi bukan hanya satu negara. Kadang-kadang satu kapal itu bisa 5-10 kali ganti bendera negara dan ganti nama negara demi kelancaran administrasi dan ownership. Kru atau ABK juga bisa multi-nasional. Cara mereka beroperasi begini: mereka yang di Indonesia memperbudak orang-orang Myanmar, sementara yang WNI dipekerjakan di luar negeri, yang saya kira lebih parah karena suhu dan cara kerja yang berbeda. Kita juga tahu adanya keterlibatan penyelundupan narkoba, senjata api dll.”
Your browser doesn’t support HTML5
VOA: Bagaimana tanggapan negara-negara dalam forum itu?
SP: “Kita belum ada kerjasama dengan China. Tetapi dengan Vietnam sudah, juga dengan Timor Leste, Papua Nugini dan mereka juga menyadari bahwa sudah saatnya menghentikan IUUF ini.”
VOA: Dunia sangat terkejut ketika Ibu mulai menangani penangkapan ikan secara ilegal dengan cara menenggelamkan kapal-kapal yang terlibat. Dalam catatan kami sudah ada 236 kapal yang ditenggelamkan. Pernahkah ada negara yang mengajukan keberatan dan bagaimana ibu menanggapinya?
SP: “Tidak pernah ada yang complain. Karena sebelum melakukan penenggelaman kami sudah undang mereka dan minta mereka menyampaikan pengumuman tentang kebijakan itu di negara masing-masing.”
VOA: Sampai sekarang ada 300an ABK (anak buah kapal) Vietnam yang ditahan di Indonesia. Apa rencana Ibu ke depan? Akan diadili di Indonesia atau dipulangkan?
SP: “Kemarin sudah kami pulangkan 200 ABK. Ini tinggal yang baru-baru saja, yang lama sudah dipulangkan.’’
VOA: Seberapa efektif sebenarnya penenggelaman kapal-kapal ini untuk memberantas penangkapan ikan secara ilegal ini?
SP: “Untuk mengusir puluhan ribu kapal ya sangat efektif. This is the best, the most efficient way to do.’’
VOA: Banyak tuntutan supaya penenggelaman kapal secara ilegal dan kebijakan-kebijakan KKP juga bisa meningkatkan APBN. Mungkinkah hal ini dilakukan?
SP: “Kalau apa yang kita lakukan dianggap masih kurang, saya tidak terima. Karena yang kita amankan lewat penenggelaman kapal untuk memberantas ilegal fishing itu, kita sudah amankan: (1) minyak diesel negara yang tidak dipakai selama satu tahun ini mencapai 37%. Ini dihitung dari jumlah kapal-kapal yang tidak beroperasi. Nilainya mungkin bisa mencapai 60 triliun, meskipun konfirmasi dari Pak Sudirman dulu katanya cuma 20 triliun. Itu kan besar! Program apa dalam setahun yang bisa menghemat hingga sedemikian besar? Tidak memakai minyak negara berarti kan pemasukan negara. (2) Penambahan tangkapan ikan dari 2,5 juta ton menjadi 6,6 juta ton berarti khan ada peningkatan 4,1 juta ton. Jika kita hitung satu ikan sama dengan US$1 dolar, berarti ada 4,1 juta dolar. Ini juga setara dengan pertambahan konsumsi negara kan? (3) Kenaikan ekspor beberapa jenis. Apa ini semua tidak dihitung?”
VOA: Jadi tidak beralasan jika dikatakan kebijakan penenggelaman kapal secara ilegal ini tidak bisa memberi pemasukan bagi APBN?
SP: “Ya! Tapi jika ingin meningkatkan pendapatan dengan memperbolehkan kapal-kapal eks asing menangkap ikan lagi, berarti tidak ada lagi sustainability. Padahal kebijakan ini sudah ikut menaikkan PDB tahun lalu menjadi 8,96%. Ini terjadi ketika bidang-bidang lain turun. PDB nasional kita tahun lalu cuma 4,8% dan baru sekarang naik menjadi 5,2%. Hingga September ini PDB perikanan sudah mencapai 6,6% ketika sektor2 lain seperti pertanian dll yang minus. Menurut saya 6,6% hebat! Ini mutlak kekuatan dalam negeri. Jangan main-main! Saya melihat akhir-akhir ini ada approach dari para pemain IUUF lama yang ingin supaya kapalnya diijinkan beroperasi kembali di perairan kita, dengan alasan untuk meningkatkan industri. Padahal industri perikanan ini sekarang jalan! Industri yang mana yang mau jalan lagi? Industri ilegal fishing? Oh bukan itu yang kita inginkan. Ini akan against sustainability. Sekarang biomas meningkat, bukan berarti kapal jalan kita suruh jalan dan ambil. Biomas meningkat karena kita sudah hentikan ribuan kapal-kapal raksasa yang merusak lingkungan itu. Tanpa itu biomas tidak naik. Tapi sekarang semua diputarbalikkan. Mereka bikin approach kemana2. Beberapa bulan lalu saya sudah sampaikan dalam pidato saya, saya minta tolong kepada semua pemain IUUF untuk berhenti dan tidak lobby kanan dan kiri supaya bisa beroperasi lagi.”
VOA: Menggunakan kapal dengan bendera yang berbeda-beda itu ya Bu?
SP: “Iya! Dan alat tangkap yang sangat merusak. Dengan ratusan kilometer trolls. Biomas kita akan turun lagi. Ini yang banyak tidak disadari. Kita sudah bicara dengan media dll, tapi tetap pemahamannya tidak sama. Mereka tetap pikir ini merugikan industri. Padahal industri mana yang dibicarakan? Bukankah visi misi pemerintah ingin menjadikan laut sebagai masa depan bangsa? Masa depan bangsa lho! Bukan sekedar untuk 10 tahunan saja. Dan kita harus sadar bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang biomasnya naik dalam 1,5 tahun terakhir ini. Negara lain tiga kali lebih cepat penurunannya. Dan kalau untuk para pemain IUUF, melihat data ini mereka akan berpikir “Wow… lebih banyak ikan yang bisa kita curi, tangkap dan ambil.”
VOA: Para pemain ini tetap akan melakukan cara apapun ya Bu?
SP: “Iya! Sekarang mereka ingin menggolkan kembali revisi Perpres supaya kapal-kapal tidak jalan lagi.
VOA: Termasuk moratorium?
SP: “Moratorium sudah tidak ada lagi karena itu kan temporary. Ini perpres. Jadi Pak Presiden itu membuat Perpres 44 yang menutup perikanan tangkap untuk asing. Saya pikir ini sangat luar biasa. Presiden kita hebat mau mengeluarkan perpres itu. Beliau sangat mengerti. Perpres ini menunjukkan beliau ini memproteksi industri perikanan yang sangat luar biasa. PDB perikanan tahun ini saja mencapai 6,6%, ketika sektor-sektor lain malah minus 3,5%. Negara saja PDB-nya cuma 5,2%. Kita juga mendapat banyak pembebasan tarif dan lain sebagainya dari beberapa negara karena upaya pemberantasan IUUF yang kita lakukan. Dan banyak lagi benefit lain seperti nilai tukar nelayan dari 102 menjadi 110.’’
*Nilai tukar nelayan adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara indeks harga yang diterima nelayan (IT) dan indeks harga yang dibayar nelayan (IB).
VOA: Tadi Ibu sebut tentang kerjasama dengan negara lain. Apa yang paling penting dilakukan saat ini selain saling berbagi informasi?Apakah penyelidikan bersama juga penting?
SP: “Iya itu yang paling sangat penting. Sharing satellite data dll. Dengan negara-negara di Asia, juga dengan AS, Rusia, Jepang dll. Saya pikir kita bisa bekerjasama untuk menegakkan sustainability yang benar.”
VOA: Ibu sudah bertemu dengan Menteri Urusan Maritim Vietnam Vu Vu Tam beberapa waktu lalu. Seberapa penting kerjasama maritime Indonesia-Vietnam ini?
SP: "Ya beliau memang datang dan bahkan sempat berkunjung ke Natuna. Kerjasama ini tentu sangat penting."
VOA: Amerika sudah menggagas “Global Watch” untuk mendeteksi penangkapan ikan secara illegal. Akankah Indonesia ikut berpartisipasi?
SJ: "Kita sudah banyak berpartisipasi untuk sharing informasi, tetapi persoalannya adalah “Global Watch” ini memang metode yang baik tetapi kapal yang mencuri ikan itu sebagian besar tidak pakai VMS (Vessel Machine System). Seharusnya kita bisa mendata mereka yang tidak pakai VMS itu."
VOA: Salah satu isu lain yang juga menarik perhatian kami adalah reklamasi pantai, terutama di Teluk Benoa, Bali dan Teluk Jakarta. Ibu termasuk salah seorang dari tiga menteri yang dulu sempat menentang reklamasi. Tetapi kini pimpinan ibu, Bapak Luhut Binsar Panjaitan mengatakan proyek ini akan jalan terus.
SJ: "Sebenarnya reklamasi bukan hal yang tabu. Saya tidak menentang pihak mana pun. Yang saya tentang itu pelanggaran terhadap lingkungan, stakeholder, nelayan dan terutama, aturan! Karena dalam bernegara, ada presiden dan pejabat negara, ada menteri sebagai pembantu, gubernur, bupati dsbnya. Kita harus menjaga urusan aturan dalam bernegara. Jadi harus jelas! Yang paling penting: reklamasi itu untuk apa dan akan beresiko apa? Ini dua hal yang sangat penting. Juga soal siapa saja stakeholdernya? Siapa yang akan terkena dampak. UU dan peraturan pemerintah yang mengatur hal itu sudah lengkap. Pertama, kita lihat zonasi RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Jika ada perubahan yang mengubah RUTR, berarti harus ada prepres. Jika ada prepres maka semua harus mengawal. Saya sebagai menteri KKP mengeluarkan ijin lokasi. Jika ada perpres tentang RUTR untuk reklamasi maka saya akan mengeluarkan ijin lokasi. Ijin lokasi ini dasar untuk membuat amdal. Jika amdalnya OK dan go, maka saya akan keluarkan ijin pelaksanaan. Jika ada catatan-catatan, saya akan keluarkan catatan-catatan. Tapi karena kita negara besar, maka tidak semua urusan di pusat, ada juga yang dibuat di daerah-daerah. Nah seperti Jakarta, dulu ada prepres untuk gubernur melaksanakan reklamasi. Yang jelas reklamasi itu boleh dan sah tetapi harus benar, sesuai aturan, tidak merusak lingkungan, tidak merugikan stakeholder, baik nelayan maupun pemilik rumah di pinggir pantai dsbnya. Persoalannya adalah yang paling jelas dalam kasus di Jakarta adalah: antara gambar rencana dan realita reklamasi berbeda! Jadi lepas apakah ada ijin dari pusat atau daerah, banyak kesalahan di situ. Sederhananya begini: jika Anda ijin membuat bangunan segitiga, tapi yang Anda bangun bangunan bulat, boleh tidak diteruskan? Mesti diperbaiki jadi segitiga dulu. Juga ukurannya. Daerah itu punya batas ukuran tidak boleh lebih dari 500 hektar, jika lebih maka harus ditarik menjadi ijin pusat. Di sini ada dua pulau terpisah, yang kalau dipisah memang ukurannya 200 hektar dan 300 hektar, tapi jika dijadikan satu menjadi lebih dari 500 hektar. Berarti ijinnya khan harus ditarik ke pusat. Karena kalau ingin tetap diurus di daerah berarti harus dipisah dulu. Belum lagi soal jarak antara pulau ke pinggir pantai, khan juga ada aturan ukurannya. Jadi bukan persoalan saya menentang atau apa, bukan itu. Dulu saya mengajukan moratorium itu supaya persoalan ini dibetulkan. Pembetulan ini belum ada jalan, belum terjadi karena masing-masing masih ngotot. Ada yang bersikeras ini harus ijin daerah, yang punya daerah. Sementara di pusat mengatakan buat apa ditarik ke pusat jika memang sebelumnya tidak ada permohonan ijin ke pemerintah pusat untuk membuat amdal, yang menjadi dasar ijin pelaksanaan. Jadi sekarang ini saya lihat masih blunder. Karena tidak…”
VOA: Jika masih blunder kenapa didorong untuk tetap dilaksanakan reklamasi ini?
SP: “Saya tidak mengerti. Karena kalau kita pejabat negara, kita seharusnya menjunjung tinggi dan menjaga aturan. Dasar utamanya adalah perpres. Kita harus menjaga lembaga kepresidenan supaya jangan sampai wanprestasi terhadap aturan. Untuk itu sebelumnya persoalan reklamasi ini ditangani bersama oleh tiga kementerian.”
VOA: Jika ini tetap terjadi, maka akan menjadi preseden kan Bu?
SP: “Ya rejim kan bisa berganti, tetapi aturan tetap. Nanti akan ketahuan bahwa kita melanggar aturan kita dan ini tidak betul. Saya tidak ingin… Kita ingin menjaga presiden dan marwah kita sebagai pejabat negara. Saya mencoba bicara untuk meng-encourage pembetulan. Bukan soal setuju atau tidak setuju, tapi persoalannya adalah kita tidak bisa melanggar aturan yang kita buat.”
VOA: Tapi apa iya Presiden tidak tahu masalah di balik kontroversi reklamasi ini Bu?
SP: “Pesan Presiden sangat jelas supaya kita segera menyelesaikan masalah ini. Dan pesan presiden sangat jelas: tidak boleh merugikan lingkungan, tidak boleh merugikan nelayan dan tidak boleh merugikan investor.”
VOA: Ketua Tim Satgas 115 yang menangani penangkapan ikan illegal bulan Agustus lalu mengatakan berencana mengubah nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna, yang meliputi wilayah dalam 200 mil zona ekonomi eksklusif laut di sekitar kepulauan Natuna, di sisi barat laut Kalimantan. Mengapa Indonesia menilai perlu melakukan hal ini?
SP: “Saya tidak melihat kita mengusulkan Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna. Berdasarkan batas EEZ (zona ekonomi ekslusif) kita, saya sudah namakan itu Laut Natuna, untuk saya (Indonesia). Juga bagi KKP untuk membuat dokumen karena lebih mudah mengingatnya. Bahwa yang dimaksud Laut Natuna adalah Natuna dan EEZ-nya.
VOA: Apakah tidak akan semakin memperkeruh sengketa di Laut Cina Selatan?
SP: “Jika ada… Ya itu kan tugas Menlu dan menteri terkait lain untuk menjelaskan. Bagi saya, saya menggunakan nama Laut Natuna untuk kepentingan kebijakan.”
VOA: Baik terima kasih Ibu Susi.