Siapa yang menyangka jika di balik kesuksesan serial televisi Desperate Housewives dan Ugly Betty ada talenta muda Indonesia yang menjadi desainer grafisnya. Siapakah dia?
WASHINGTON DC —
Serial televisi Desperate Housewives dan Ugly Betty yang sempat melejit dan memukau per hatian penggemarnya di seluruh dunia tentunya sudah tidak asing lagi di telinga anda. Di balik kesuksesan serial TV itu ada talenta muda asal Indonesia. Dialah Yo Santosa, wanita kelahiran tahun 1978 yang saat ini tinggal di Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Seni Mengubah Segalanya
Tak pernah terpikir oleh Yo kalau bidang desain grafis ini akan menjadi bagian dari karier dan kehidupannya. Yo mengira dirinya akan hidup seperti wanita timur yang tradisional. “Dulu saya berpikir bahwa saya akan sekolah, lalu menikah di umur tertentu dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Bukan berarti kita tidak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik dan sukses dalam waktu yang bersamaan, tetapi setelah saya kuliah di Art Center College of Design, barulah saya sadar bahwa seni ini bukanlah sekedar hobi,” papar Yo.
Yo hijrah ke Singapura sewaktu berumur 10 tahun untuk melanjutkan studi di Opera Estate Primary School dan Opera Estate Secondary School . Pada usianya yang ke-17 tahun, Yo kemudian pindah ke Amerika untuk kuliah pada bidang seni di Columbu s College of Art and Design di Columbus, Ohio. Merasa tidak cocok dengan program yang diambilnya di sana, Yo kemudian memutuskan untuk keluar dan meneruskan kuliahnya di Art Center College of Design di Pasadena hingga lulus dan mendapat gelar S1 dengan jurusan desain grafis pada tahun 2000.
Darah seni memang mengalir di dalam keluarga Yo. “Ibu saya kreatif dalam hal membuat kue. Ayah saya senang menggambar, walaupun dia bekerja di bidang keuangan. Kakek saya adalah penulis kaligrafi. Lalu, tante saya pelukis keramik dan paman saya adalah seorang arsitek dan desainer interior. Adik saya dulu bergerak di bidang fashion,” cerita Yo.
Kecintaan Yo terhadap dunia seni memang sudah timbul sejak kecil. Yo sangat senang menggambar karakter-karakter Jepang dan binatang. “Sewaktu SMA saya benci pelajaran matematika, menulis, ilmu pengetahuan alam. Satu-satunya pelajaran yang saya senangi adalah seni.”
Pada awalnya orang tua Yo ragu akan keinginannya menekuni dunia seni. Namun, pada akhirnya mereka setuju dengan jalan yang diambil olehnya. “Mereka tahu saya tidak unggul di pelajaran yang lain. Saya hampir tidak lulus di pelajaran lain kecuali seni. Akhirnya mereka menyetujui keinginan saya untuk terjun ke bidang seni,” kenang Yo.
“Sepertinya dulu orang tua yang berasal dari Asia merasa bahwa kita tidak bisa mendapat penghasilan jika terjun ke bidang seni. Kamu harus jadi pengacara, dokter atau pengusaha. Jadi saya berpikir mungkin saya mengambil jurusan seni hanya untuk mengembangkan diri saya saja dan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya saya suka. Namun, saya menyadari ketika saya kuliah di Art Center College of Design , saya mahir di bidang seni dan saya sangat menikmatinya,” tambah Yo yang juga pernah menjadi pengajar di Art Center College of Design di Pasadena.
Walaupun begitu, kecintaan terhadap seni tentunya juga harus diimbangi dengan adanya passion. “Kita harus punya passion. Harus percaya kepada diri sendiri dan jangan pernah berhenti belajar. Jangan pernah berpikiran bahwa kita sudah mencapai titik kesuksesan, karena akan selalu ada orang yang lebih baik dari kita,” kaya Yo.
Melejit Lewat Desperate Housewives dan Ugly Betty
Lulus kuliah, Yo mengawali kariernya sebagai seorang desainer dan kemudian setelah beberapa tahun diangkat menjadi Art Director di yU+co, dimana dia terlibat dalam penggarapan main title sequence atau opening show untuk serial televisi D esperate Housewives, Ugly Betty , dan t he Triangle , juga untuk film-film layar lebar seperti My Super Ex -girlfriend, Cat Woman, Taking Lives, Paycheck, 300, Cat Woman , dan the Hulk. Di sinilah Yo memperoleh pengalaman bekerja sama dengan sutr adara serta aktor Hollywood.
Berbagai tantangan pun kerap di hadapi oleh Yo di awal kariernya di Amerika. “Sebagai orang yang dibesarkan di Asia, terkadang kita suka malu untuk menyampaikan pendapat. Itulah salah satu tantangan terbesar yang harus saya hadapi. Kadang-kadang kita perlu memberikan pendapat dan saling berbagi ide,” papar Yo.
Kemampuan dan talenta Yo telah mendatangkan berbagai nominasi dan penghargaan prestisius di Amerika, antara lain nominasi penghargaan Emmy, yaitu penghargaan teratas untuk film televisi di Amerika Serikat selama tiga tahun berturut-turut. “Saya dinominasikan tiga kali untuk Desperate Housewives, the Triangle , dan Ugly Betty,” ujar Yo.
Proyek Pinkberry
Walaupun sudah sukses di bidang desain grafis, Yo masih memiliki satu kecintaan yang pada waktu itu belum terwujudkan, yaitu keinginannya untuk bisa bekerja di bidang jasa branding.
Sampai suatu hari Yo mendapat kabar dari seorang teman mengenai sebuah proyek istimewa yang telah mengubah kehidupannya. “Teman saya bilang ada perusahaan frozen yogurt bernama Pinkberry yang baru memiliki satu toko dan sedang mencari perusahaan yang bisa membantu mereka untuk mengembangkan brandnya dan saya memang selalu tertarik dengan branding,” papar wanita kelahiran Jakarta ini kepada VOA Indonesia.
Sambil melakukan riset, Yo kemudian pergi ke toko frozen yogurt tersebut dan mencicipinya. “Saya sangat menyukai rasanya,” ujarnya. Dari situ Yo kemudian memberanikan diri untuk mengkontak si pemilik perusahaan tersebut. “Saya bilang, saya mau kasih presentasi mengenai strategi pemasaran yang bisa dilakukan,” tambah Yo.
Pinkberry yang pertama kali beroperasi pada tahun 2005 merupakan salah satu pelopor hidangan pencuci mulut frozen yogurt pertama di Amerika. Pada waktu itu Pinkberry hanya memiliki satu toko tanpa Website maupun foto. “Saya lalu meminta ijin satu minggu dari kantor untuk membuat presentasi. Hari Sabtu saya presentasi dan saya mendapat proyeknya, lalu hari Senin saya berhenti bekerja dan mendirikan perusahaan bernama Ferro-Concrete,” tambah wanita yang pernah bersekolah di Don Bosco, Jakarta ini.
Dengan kreativitasnya, Yo berhasil melejitkan nama Pinkberry yang awalnya hanya merupakan perusahaan dengan penghasilan US$70 di bulan pertamanya menjadi perusahaan frozen yogurt dengan 70 toko di berbagai negara bagian di Amerika hanya dalam kurun waktu dua tahun. Saat ini Pinkberry memiliki lebih dari 100 toko yang tersebar di berbagai negara. Tak heran jika Yo menganggap bahwa Pinkberry ini adalah proyek yang paling berkesan dalam hidupnya.
Tekad Bangun Usaha Sendiri
Secara resmi pada tahun 2006, Yo mendirikan Ferro-Concrete, perusahaan yang menyediakan jasa branding dan desain grafis. Nama Ferro-Concrete sendiri diciptakannya ketika masih sekolah dulu. Bagi Yo, Ferro yang berarti besi dan Concrete atau beton adalah fondasi. Ini merupakan sebuah metafora bagi Yo agar bisa mengembangkan sebuah brand hingga setinggi gedung pencakar langit.
Saat ini Yo menjabat sebagai direktur kreatif alias bos di perusahaanya. “Saya bos yang baik,” ujarnya sambil tertawa. Keramahan Yo sangat disukai oleh para karyawannya. “Yo orangnya kreatif sekali dan baik,” kata Roni Widjaja salah satu karyawan asal Indonesia di Ferro-Concrete.
Namun, memiliki sebuah usaha baru memang tidak mudah dikerjakan. Yo harus bekerja keras sendiri selama enam bulan pertama.
“Enam bulan pertama hanya saya saja dan setelah itu saya sadar kalau saya perlu seseorang untuk membangun Website. Lalu saya meng-hire Web developer pertama kami dan sembilan bulan kemudian saya hire desainer pertama kami. Sejak itu sepertinya semakin banyak hal yang harus dikerjakan, sehingga kami perlu meng-hire lebih banyak orang lagi,” kata Yo kepada VOA Indonesia.
Saat ini Ferro-Concrete memiliki 10 orang karyawan termasuk dirinya. Memang tidak terlalu besar seperti yang diinginkan oleh Yo. Hal ini pun disukai oleh para karyawannya, salah satunya, Owen Gee. “Kantor ini seperti keluarga kecil. Saya suka bekerja langsung dengan Yo.”
Jika ada proyek yang besar, seperti ketika Ferro-Concrete terpilih untuk mengembangkan brand dan logo sebuah acara televisi terkenal di Amerika, TODAY, barulah Yo mengajak para pekerja freelance untuk bekerja sama dengannya.
“Tim inti kami memang kecil, namun merupakan yang terbaik diantara yang terbaik. Saya memilih sendiri orang-orangnya. Setiap proyek yang datang selalu dipikirkan bersama,” cerita Yo.
Pada awalnya, Yo bekerja dari apartemennya dengan hanya bermodalkan satu komputer. “Agak aneh untuk karyawan-karyawan saya,” cerita Yo. Setelah satu tahun, Ferro-Concrete pindah ke sebuah gedung kantor berlantai dua yang berlokasi di downtown Los Angeles. “Di lantai satu itu tempat tim desain bekerja dan ada dapur. Lalu di lantai dua ada ruang konferensi dan kamar mandi, “ jelasnya.
Sebagai perusahaan yang menyediakan jasa branding dan desain grafis tentunya Yo juga harus bersaing dengan perusahaan yang lain, terutama dalam mendapatkan klien agar bisa terus bertahan dan mendapatkan penghasilan yang stabil. “Yang menguntungkan saya adalah kesuksesan Pinkberry. Orang-orang kemudian menelpon dan meminta kami untuk mengembangkan brand mereka,” kata Yo.
Selain Pinkberry, berbagai stasiun televisi ternama di Amerika dan bahkan perusahaan Hustler, yaitu perusahaan majalah dan alat bantu seks juga telah menjadi klien Ferro-Concrete.
Melebarkan Sayap
Setelah tujuh tahun beroperasi, Yo dan Ferro-Concrete pun melebarkan sayapnya melalui beberapa proyek, salah satunya adalah Fruute, usaha keluarga yang merupakan kolaborasi Yo dengan sang ibu, Christina Santosa, dan sang adik, Sylvia Santosa, yang dimulai sekitar dua tahun lalu.
Dalam hal ini Yo berperan sebagai pengembang brand Fruute, pembangun Website, dan juga pemasarannya. Sedangkan sang adik bertugas menjalankan operasi harian Fruute. “Fruute itu toko online yang menjual bingkisan kue gourmet, seperti white chocolate macadamia dan raspberry almond crumble. Semuanya resep ibu saya,” papar Yo.
Selain memang menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, Kue-kue di Fruute disajikan dalam keranjang-keranjang yang unik dengan penyajian yang cantik. Menurut Yo, pelanggan terbaik mereka adalah perusahaan yang seringkali memesan untuk klien-klien mereka. “Biasanya sekali pesan bisa untuk 10 klien,” tambahnya.
Selain Fruute, proyek yang tengah dikerjakan juga oleh Yo adalah perusahaan minyak wangi online bernama Commodity yang merupakan kolaborasi Yo dengan salah satu Art Director di Ferro-Concrete. “Saya belajar banyak dari Commodity, karena untuk menjalankan perusahaan minyak wangi kami memerlukan biaya untuk produksi dan packaging, jadi kami mencari investor, yang belum pernah saya lakukan sebelumnya,” papar wanita yang suka masakan Padang ini.
Rencananya produk minyak wangi Commodity ini akan diluncurkan pada bulan Januari 2014 mendatang. Untuk saat ini baik produk Frutte dan Commodity hanya akan dijual melalui Internet. Menurut Yo, memulai bisnis lewat online jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan membuka toko. “Lebih murah juga biayanya,” tambah Yo.
Selain kedua proyek tersebut, saat ini Yo juga tengah berencana mendirikan sebuah prep art school bersama seorang temannya dan menggarap proyek yang berhubungan dengan fashion. Namun untuk saat ini belum ada rencana untuk menggarap proyek di Indonesia. “Sebetulnya saya masih punya banyak teman di Indonesia yang bisa saya ajak berkolaborasi," paparnya.
Sebagai wanita Indonesia, kiat sukses Yo dalam berbisnis adalah untuk tidak takut menyampaikan pendapat dan selalu mengejar keinginan. “Tentunya dengan kerja keras. Kalau kita melakukannya dengan kecintaan, kita akan melakukannya dengan baik, dan mendapat penghasilan.”
- Artikel ini juga dimuat di majalah Femina edisi 46, edar 23 November 2013
Seni Mengubah Segalanya
Tak pernah terpikir oleh Yo kalau bidang desain grafis ini akan menjadi bagian dari karier dan kehidupannya. Yo mengira dirinya akan hidup seperti wanita timur yang tradisional. “Dulu saya berpikir bahwa saya akan sekolah, lalu menikah di umur tertentu dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Bukan berarti kita tidak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik dan sukses dalam waktu yang bersamaan, tetapi setelah saya kuliah di Art Center College of Design, barulah saya sadar bahwa seni ini bukanlah sekedar hobi,” papar Yo.
Yo hijrah ke Singapura sewaktu berumur 10 tahun untuk melanjutkan studi di Opera Estate Primary School dan Opera Estate Secondary School . Pada usianya yang ke-17 tahun, Yo kemudian pindah ke Amerika untuk kuliah pada bidang seni di Columbu s College of Art and Design di Columbus, Ohio. Merasa tidak cocok dengan program yang diambilnya di sana, Yo kemudian memutuskan untuk keluar dan meneruskan kuliahnya di Art Center College of Design di Pasadena hingga lulus dan mendapat gelar S1 dengan jurusan desain grafis pada tahun 2000.
Darah seni memang mengalir di dalam keluarga Yo. “Ibu saya kreatif dalam hal membuat kue. Ayah saya senang menggambar, walaupun dia bekerja di bidang keuangan. Kakek saya adalah penulis kaligrafi. Lalu, tante saya pelukis keramik dan paman saya adalah seorang arsitek dan desainer interior. Adik saya dulu bergerak di bidang fashion,” cerita Yo.
Kecintaan Yo terhadap dunia seni memang sudah timbul sejak kecil. Yo sangat senang menggambar karakter-karakter Jepang dan binatang. “Sewaktu SMA saya benci pelajaran matematika, menulis, ilmu pengetahuan alam. Satu-satunya pelajaran yang saya senangi adalah seni.”
Pada awalnya orang tua Yo ragu akan keinginannya menekuni dunia seni. Namun, pada akhirnya mereka setuju dengan jalan yang diambil olehnya. “Mereka tahu saya tidak unggul di pelajaran yang lain. Saya hampir tidak lulus di pelajaran lain kecuali seni. Akhirnya mereka menyetujui keinginan saya untuk terjun ke bidang seni,” kenang Yo.
“Sepertinya dulu orang tua yang berasal dari Asia merasa bahwa kita tidak bisa mendapat penghasilan jika terjun ke bidang seni. Kamu harus jadi pengacara, dokter atau pengusaha. Jadi saya berpikir mungkin saya mengambil jurusan seni hanya untuk mengembangkan diri saya saja dan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya saya suka. Namun, saya menyadari ketika saya kuliah di Art Center College of Design , saya mahir di bidang seni dan saya sangat menikmatinya,” tambah Yo yang juga pernah menjadi pengajar di Art Center College of Design di Pasadena.
Walaupun begitu, kecintaan terhadap seni tentunya juga harus diimbangi dengan adanya passion. “Kita harus punya passion. Harus percaya kepada diri sendiri dan jangan pernah berhenti belajar. Jangan pernah berpikiran bahwa kita sudah mencapai titik kesuksesan, karena akan selalu ada orang yang lebih baik dari kita,” kaya Yo.
Melejit Lewat Desperate Housewives dan Ugly Betty
Lulus kuliah, Yo mengawali kariernya sebagai seorang desainer dan kemudian setelah beberapa tahun diangkat menjadi Art Director di yU+co, dimana dia terlibat dalam penggarapan main title sequence atau opening show untuk serial televisi D esperate Housewives, Ugly Betty , dan t he Triangle , juga untuk film-film layar lebar seperti My Super Ex -girlfriend, Cat Woman, Taking Lives, Paycheck, 300, Cat Woman , dan the Hulk. Di sinilah Yo memperoleh pengalaman bekerja sama dengan sutr adara serta aktor Hollywood.
Berbagai tantangan pun kerap di hadapi oleh Yo di awal kariernya di Amerika. “Sebagai orang yang dibesarkan di Asia, terkadang kita suka malu untuk menyampaikan pendapat. Itulah salah satu tantangan terbesar yang harus saya hadapi. Kadang-kadang kita perlu memberikan pendapat dan saling berbagi ide,” papar Yo.
Kemampuan dan talenta Yo telah mendatangkan berbagai nominasi dan penghargaan prestisius di Amerika, antara lain nominasi penghargaan Emmy, yaitu penghargaan teratas untuk film televisi di Amerika Serikat selama tiga tahun berturut-turut. “Saya dinominasikan tiga kali untuk Desperate Housewives, the Triangle , dan Ugly Betty,” ujar Yo.
Proyek Pinkberry
Walaupun sudah sukses di bidang desain grafis, Yo masih memiliki satu kecintaan yang pada waktu itu belum terwujudkan, yaitu keinginannya untuk bisa bekerja di bidang jasa branding.
Sampai suatu hari Yo mendapat kabar dari seorang teman mengenai sebuah proyek istimewa yang telah mengubah kehidupannya. “Teman saya bilang ada perusahaan frozen yogurt bernama Pinkberry yang baru memiliki satu toko dan sedang mencari perusahaan yang bisa membantu mereka untuk mengembangkan brandnya dan saya memang selalu tertarik dengan branding,” papar wanita kelahiran Jakarta ini kepada VOA Indonesia.
Sambil melakukan riset, Yo kemudian pergi ke toko frozen yogurt tersebut dan mencicipinya. “Saya sangat menyukai rasanya,” ujarnya. Dari situ Yo kemudian memberanikan diri untuk mengkontak si pemilik perusahaan tersebut. “Saya bilang, saya mau kasih presentasi mengenai strategi pemasaran yang bisa dilakukan,” tambah Yo.
Pinkberry yang pertama kali beroperasi pada tahun 2005 merupakan salah satu pelopor hidangan pencuci mulut frozen yogurt pertama di Amerika. Pada waktu itu Pinkberry hanya memiliki satu toko tanpa Website maupun foto. “Saya lalu meminta ijin satu minggu dari kantor untuk membuat presentasi. Hari Sabtu saya presentasi dan saya mendapat proyeknya, lalu hari Senin saya berhenti bekerja dan mendirikan perusahaan bernama Ferro-Concrete,” tambah wanita yang pernah bersekolah di Don Bosco, Jakarta ini.
Dengan kreativitasnya, Yo berhasil melejitkan nama Pinkberry yang awalnya hanya merupakan perusahaan dengan penghasilan US$70 di bulan pertamanya menjadi perusahaan frozen yogurt dengan 70 toko di berbagai negara bagian di Amerika hanya dalam kurun waktu dua tahun. Saat ini Pinkberry memiliki lebih dari 100 toko yang tersebar di berbagai negara. Tak heran jika Yo menganggap bahwa Pinkberry ini adalah proyek yang paling berkesan dalam hidupnya.
Tekad Bangun Usaha Sendiri
Secara resmi pada tahun 2006, Yo mendirikan Ferro-Concrete, perusahaan yang menyediakan jasa branding dan desain grafis. Nama Ferro-Concrete sendiri diciptakannya ketika masih sekolah dulu. Bagi Yo, Ferro yang berarti besi dan Concrete atau beton adalah fondasi. Ini merupakan sebuah metafora bagi Yo agar bisa mengembangkan sebuah brand hingga setinggi gedung pencakar langit.
Namun, memiliki sebuah usaha baru memang tidak mudah dikerjakan. Yo harus bekerja keras sendiri selama enam bulan pertama.
“Enam bulan pertama hanya saya saja dan setelah itu saya sadar kalau saya perlu seseorang untuk membangun Website. Lalu saya meng-hire Web developer pertama kami dan sembilan bulan kemudian saya hire desainer pertama kami. Sejak itu sepertinya semakin banyak hal yang harus dikerjakan, sehingga kami perlu meng-hire lebih banyak orang lagi,” kata Yo kepada VOA Indonesia.
Saat ini Ferro-Concrete memiliki 10 orang karyawan termasuk dirinya. Memang tidak terlalu besar seperti yang diinginkan oleh Yo. Hal ini pun disukai oleh para karyawannya, salah satunya, Owen Gee. “Kantor ini seperti keluarga kecil. Saya suka bekerja langsung dengan Yo.”
“Tim inti kami memang kecil, namun merupakan yang terbaik diantara yang terbaik. Saya memilih sendiri orang-orangnya. Setiap proyek yang datang selalu dipikirkan bersama,” cerita Yo.
Sebagai perusahaan yang menyediakan jasa branding dan desain grafis tentunya Yo juga harus bersaing dengan perusahaan yang lain, terutama dalam mendapatkan klien agar bisa terus bertahan dan mendapatkan penghasilan yang stabil. “Yang menguntungkan saya adalah kesuksesan Pinkberry. Orang-orang kemudian menelpon dan meminta kami untuk mengembangkan brand mereka,” kata Yo.
Selain Pinkberry, berbagai stasiun televisi ternama di Amerika dan bahkan perusahaan Hustler, yaitu perusahaan majalah dan alat bantu seks juga telah menjadi klien Ferro-Concrete.
Melebarkan Sayap
Setelah tujuh tahun beroperasi, Yo dan Ferro-Concrete pun melebarkan sayapnya melalui beberapa proyek, salah satunya adalah Fruute, usaha keluarga yang merupakan kolaborasi Yo dengan sang ibu, Christina Santosa, dan sang adik, Sylvia Santosa, yang dimulai sekitar dua tahun lalu.
Dalam hal ini Yo berperan sebagai pengembang brand Fruute, pembangun Website, dan juga pemasarannya. Sedangkan sang adik bertugas menjalankan operasi harian Fruute. “Fruute itu toko online yang menjual bingkisan kue gourmet, seperti white chocolate macadamia dan raspberry almond crumble. Semuanya resep ibu saya,” papar Yo.
Selain memang menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, Kue-kue di Fruute disajikan dalam keranjang-keranjang yang unik dengan penyajian yang cantik. Menurut Yo, pelanggan terbaik mereka adalah perusahaan yang seringkali memesan untuk klien-klien mereka. “Biasanya sekali pesan bisa untuk 10 klien,” tambahnya.
Selain Fruute, proyek yang tengah dikerjakan juga oleh Yo adalah perusahaan minyak wangi online bernama Commodity yang merupakan kolaborasi Yo dengan salah satu Art Director di Ferro-Concrete. “Saya belajar banyak dari Commodity, karena untuk menjalankan perusahaan minyak wangi kami memerlukan biaya untuk produksi dan packaging, jadi kami mencari investor, yang belum pernah saya lakukan sebelumnya,” papar wanita yang suka masakan Padang ini.
Rencananya produk minyak wangi Commodity ini akan diluncurkan pada bulan Januari 2014 mendatang. Untuk saat ini baik produk Frutte dan Commodity hanya akan dijual melalui Internet. Menurut Yo, memulai bisnis lewat online jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan membuka toko. “Lebih murah juga biayanya,” tambah Yo.
Selain kedua proyek tersebut, saat ini Yo juga tengah berencana mendirikan sebuah prep art school bersama seorang temannya dan menggarap proyek yang berhubungan dengan fashion. Namun untuk saat ini belum ada rencana untuk menggarap proyek di Indonesia. “Sebetulnya saya masih punya banyak teman di Indonesia yang bisa saya ajak berkolaborasi," paparnya.
Sebagai wanita Indonesia, kiat sukses Yo dalam berbisnis adalah untuk tidak takut menyampaikan pendapat dan selalu mengejar keinginan. “Tentunya dengan kerja keras. Kalau kita melakukannya dengan kecintaan, kita akan melakukannya dengan baik, dan mendapat penghasilan.”
- Artikel ini juga dimuat di majalah Femina edisi 46, edar 23 November 2013