Belasan mahasiswa Papua memadati ruang sidang di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta hari Senin siang. Mereka hadir untuk memberikan dukungan kepada Obby Kogoya, rekannya yang dijadikan tersangka oleh kepolisian. Obby dituduh melakukan tindakan kekerasan terhadap polisi, yang kemudian menangkapnya tidak jauh dari asrama Papua di Yogya.
Peristiwa pada 15 Juli 2016 lalu itu merupakan bagian dari ketegangan selama dua hari berturut-turut di sekitar kawasan asrama Papua. Ketika itu, para mahasiswa rencananya akan menggelar aksi menuntut hak penentuan nasib sendiri, tetapi polisi mencegah mereka ke luar asrama.
Obby Kogoya berniat bergabung dengan rekan-rekannya di asrama, tetapi justru ditangkap saat masih dalam perjalanan. Dalam foto-foto penangkapan yang beredar, nampak Obby diinjak dan menjadi korban aksi sejumlah aparat. Namun, Obby kemudian justru dijadikan tersangka.
Pengacara Obby dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Emanuel Gobay mengatakan, gugatan praperadilan ini penting untuk mengoreksi proses penangkapan Obby.
Dia juga meyakini, penangkapan itu telah melanggar asas kemanusiaan dan aturan hukum yang berlaku. Gobay mengatakan, polisi tidak memiliki dua alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka. Penetapan ini juga tidak didahului pemeriksaan awal sebagai calon tersangka atau saksi.
“Dalam proses penangkapan itu ada peristiwa penganiayaan, pengeroyokan dan bahkan penyiksaan, dan itu masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Dan kita tahu bahwa kemarin dalam investigasinya, Komnas HAM telah melaporkan bahwa dalam proses penangkapan itu ada penyiksaan, jadi indikasi pelanggaran HAM sangat jelas di situ," ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Obby Kogoya disangka melanggar Pasal 212 KUHP tentang perbuatan melawan polisi dengan kekerasan, juncto Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 351 tentang penganiayaan. Sidang pertama ini berlangsung sekitar dua jam dengan materi pembacaan gugatan oleh empat pengacara dari LBH Yogya.
Pranata Heru Nurcahya, juru bicara tim dari kepolisian mengatakan, seluruh proses penetapan tersangka Obby Kogoya telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sidang ini menurutnya akan menguatkan klaim itu.
“Kita nanti akan sampaikan di dalam persidangan, langkah-langkah yang sudah kita lakukan akan kita uji di depan hakim. Artinya, kami yakin bahwa apa yang kita lakukan sudah sesuai dengan KUHAP. Mereka menganggap kita tidak sesuai, nanti akan kita sampaikan di depan hakim, apakah yang kita lakukan sesuai dengan KUHAP atau tidak, biar hakim yang memutuskan," ujarnya.
Aktivis gerakan kemerdekaan Papua yang juga eks tahanan politik, Filep Jacob Samuel Karma juga hadir di persidangan ini. Filep dibebaskan oleh Presiden Jokowi pada November 2015 setelah dipenjara 14 tahun. Sebelumnya dia menolak grasi yang diberikan Presiden, karena menganggap pemberian grasi bermakna dia mengakui telah berbuat salah.
Filep mengatakan datang sebagai orangtua yang menengok anak-anaknya di Yogyakarta. Secara tegas dia menolak anggapan bahwa tuntutan kemerdekaan bangsa Papua adalah sebuah kesalahan. Jika memang Indonesia tidak bisa menerima bangsa Papua, kata Filep, ada baiknya dilepaskan saja. Tentang bagaimana masa depan Papua nanti, dia menilai itu bukan lagi menjadi urusan Indonesia.
“Dikatakan bahwa kita ini saudara sebangsa setanah air, tapi kalau kami mendapatkan perlakuan rasis, terus untuk apa kita hidup bersama, dalam satu rumah tangga. Apakah kami dianeksasi, kemudian dianiaya dan dibunuh sepanjang hidup kami? Saya kira kalau Indonesia sebuah negara yang ber-Pancasila, beradab, berketuhanan, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, ya sudah kalau tidak bisa menerima orang Papua, ya sudah lepaskan saja provinsi kami," ujarnya.
Mekanisme praperadilan akan memakan waktu sekitar satu minggu dengan agenda sidang setiap hari.