Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) baru-baru ini meliris laporannya terkait praktek penyiksaan yang terjadi sepanjang Juni 2015 hingga Juni 2016. Dalam kurun waktu tersebut, KontraS menyatakan terdapat 134 peristiwa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Jumlah ini meningkat dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yakni 80 kasus.
Peristiwa-peristiwa tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua.
Koordinator KontraS Haris Azhar kepada VOA, Selasa (28/6) menyayangkan terus meningkatnya kasus penyiksaan di Indonesia meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan. Dia menilai meningkatnya praktik-praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi ini terkait dengan rendahnya tanggapan dan kemauan dari institusi kepolisian untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal.
Selain itu, praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya juga terjadi di lokasi-lokasi yang minim audit, seperti pusat-pusat penahanan: sel kepolisian, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
KontraS, menurut Haris, menemukan pelaku penyiksaan paling sering adalah aparat kepolisian yaitu 91 kasus, oleh aparat TNI (24 kasus) dan apparat lembaga pemasyarakatan (19 kasus). Sebagian korbannya, lanjutnya, berusia antara 15 dan 25 tahun.
Haris menyatakan berdasarkan pantauan lembaganya, hampir semua kasus tersebut tidak diproses hukum. Haris mengatakan, KontraS telah menemukan beberapa pola umum yang dilakukan pelaku atau institusi pelaku penyiksaan untuk mempersulit pengungkapan kasus, seperti melakukan intimidasi atau menawarkan sejumlah uang kepada keluarga korban, melakukan pembunuhan karaktek, dan dan mempersulit upaya pengumpulan bukti, termasuk menghambat otopsi.
"134 kasus yang bisa kita pantau nah angka ini meningkat dari tahun lalu. Jadi ada yang terjadi pada saat proses hukum penangkapan, penahanan, ada juga yang pada saat interogasi. Mereka juga ada yang menjadi korban dari penegak hukum atau aparat keamanan yang memang sedang mencari bukti atau pengakuan dari orang tersebut. Ini kan paling tinggi polisi," kata Haris Azhar.
Haris sangat berharap Komjen Tito Karnavian sebagai calon Kapolri baru dapat melakukan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian. Haris menyatakan Kapolri baru nantinya dapat lebih sensitif pada persoalan publik yang melibatkan polisi.
"Apa yang publik rasakan dengan polisi, banyak penyiksaan, polisi-polisi banyak menjadi centengnya perusahaan-perusahaan sawit, pertambangan lalu mendapatkan banyak keuntungan dari perusahaan tersebut. Kriminalisasi dipake sebagai alat politik untuk mengkriminalkan orang, nah dia harus dapat mengubah itu," lanjut Haris Azhar.
Calon Kapolri Tito Karnavian, dalam visi misinya, sangat ingin menjadikan institusi Polri lembaga yang profesional, modern, dan terpercaya. Untuk mewujudkan visi itu, dia menyatakan memiliki empat misi, yakni melanjutkan reformasi internal, mewujudkan prganisasi dan postur Polri ideal dengan dukungan prasarana dan sarana kepolisian modern, mewujudkan pemberbadayaan sumber daya manusia Polri profesional dan kompeten yang menjunjung etika dan hak asasi manusia, serta meningkatkan kesejahteraan anggota Polri.
"Meningkatkan kualitas pelayanan prima dan kepercayaan publik, memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dan deteksi dini berlandaskan kepolisian pro aktif dan berorientasi pada penyelesaian akar masalah,mewujudkan penegakan hukum profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan anti-korupsi, kolusi, dan nepotisme," imbuhnya.
Dalam upaya menghentikan kasus penyiksaan, KontraS juga meminta pemerintah melakukan evaluasi, meningkatkan pemahaman aparat penegak hukum dan keamanan khususnya, kepolisian dan TNI dalam melakukan tugas pokok dan fungsi dalam penyelidikan dan penyidikan dan memperbaiki fungsi pemantauan dan kontrol sehingga apara penegak hukum tidak menggunakan jalan pintas seperti penyiksaan dalam menjalankan tugas mereka. [fw/ab]