Dalam enam tahun terakhir, Indonesia kehilangan 150 ekor Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang membuat satwa ini sebagai satu-satunya sub spesies Gajah Asia yang terancam punah. Angka kematian 150 ekor gajah adalah jumlah yang tercatat, diperkirakan angka sebenarnya di lapangan jauh lebih tinggi.
Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Donny Gunaryadi dalam workshop konservasi gajah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,akhir pekan lalu memperkirakan, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya ada 700 ekor Gajah Sumatera yang mati. “Gajah-gajah ini diburu, diracun dan diambil gadingnya,” ujar Donny.
Data FKGI menyebutkan, tahun 1985 Indonesia masih memiliki 44 kantong habitat gajah di Sumatera. Tahun 2007, jumlahnya turun menjadi 25 kantong habitat, dengan hanya 12 kantong saja yang populasi gajahnya di atas 50 ekor. Lokasinya tersebar mulai dari Taman Nasional Leuser dan Ulu Masen di Aceh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo di Jambi, Padang Sugihan di Sumatera Selatan dan Way Kambas serta Bukit Barisan di Lampung.
Selain soal habitat dan perburuan manusia, gajah juga menghadapi persoalan penyakit mematikan. Namun, menurut Dr Wisnu Nurcahyo dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, riset mengenai gajah di perguruan tinggi sangat minim. Mahasiswa kedokteran hewan tidak tertarik menjadi dokter bagi satwa langka. Pilihannya, mayoritas selalu pada jenis hewan peliharaan seperti anjing, burung, atau kucing dan sektor industri seperti ayam, kambing dan sapi.
“Indonesia itu memiliki mega biodiversity terbesar kedua setelah Brazil. Tetapi sayangnya pengembangan SDM untuk memanfaatkan potensi itu tidak didukung oleh banyak kebijakan. Misalnya pendanaan, kalau ada permintaan untuk penelitian pasti ditanya kepentingan untuk negara apa? Satwa liar selalu prioritas terakhir. Kalau sapi misalnya, bisa mendukung swasembada daging. Lha kalau sudut pandangnya itu, penelitian gajah bisa memberi apa,” kata Wisnu Nurcahyo.
Wisnu sendiri selalu mendorong mahasiswanya untuk meriset satwa langka dan dilindungi. Berbagai kegiatan juga dilakukan, misalnya untuk orang utan atau gajah. Yang baru saja dilakukan beberapa bulan lalu, mereka menyelenggarakan pelatihan bagi pawang dan kajian penyakit yang menyerang gajah.
“Kami dan pemerhati satwa liar selalu menyelengarakan kegiatan setiap tahun. Kami juga selalu membuka kesempatan kepada mahasiswa untuk menjadi sukarelawan ke lapangan, dan hasilnya untuk disertasi atau tesis. Kalau berhasil, kami juga merangsang mereka untuk presentasi hasil penelitan satwa luar itu ke luar negeri dengan bantuan dana dari donor asing,” kata Wahyu.
Saat ini, Fakultas Kedokteran Hewan UGM bekerja sama dengan sejumlah pihak, juga sedang menyusun buku panduan mengenai gajah. Bagi pawang gajah (mahout) disusun buku panduan pengendalian untuk mendukung upaya pengembang-biakan. Sedangkan bagi dokter hewan, disusun buku panduan penanganan kesehatan gajah. Penyusunan buku ini didukung pendanaannya oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dalam progam Tropical Forest Conservation Act (TFCA).
Buku panduan ini penting, karena dapat menjadi rujukan dalam menangani Gajah Sumatera. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Dr Heru Setijanto, menitikberatkan pentingnya peningkatan kapasitas dokter hewan dan pawang. Buku panduan tersebut itu secara tidak langsung akan mendukung upaya konservasi dan peningkatan populasi gajah.
“Upaya ini khususnya terkait medik konservasi. Terutama dalam penanganan kasus kesehatan, perawatan rutin maupun breeding,” ujar Heru.
Kurangnya tenaga dokter hewan khusus bagi satwa langka dan dilindungi, seperti gajah, orangutan, badak maupun harimau, juga dikeluhkan drh Muhammad Wahyu. Dia adalah Direktur Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) di Medan, Sumatera Utara.
Kepada VOA, Wahyu mengatakan konflik antara satwa liar dan manusia mayoritas menempatkan satwa sebagai korban. Gajah misalnya, mengalami luka akibat kekerasan maupun jeratan, dan sangat membutuhkan peran dokter hewan. Peran dokter juga diperlukan lebih jauh, misalnya dalam penyelidikan forensik untuk memahami penyebab kematian satwa itu. Namun, tidak cukup tersedia tenaga medis karena hanya pemerintah dan LSM yang memilikinya, itupun dalam jumlah yang sangat terbatas.
“Meningkatnya laju konflik antara satwa liar dan manusia itu menyebabkan korban di pihak satwa liar. Dan karena satwa liar menjadi korban konflik tadi, apakah karena dia terjerat, diracun ataupun diburu, maka dibutuhkanlah peran dokter hewan, dalam hal untuk upaya penyelamatan dari satwa liar korban konflik itu. Terutama, dalam hal ini adalah gajah,” kata Muhammad Wahyu.
Gajah, kata Wahyu, juga diserang sejumlah penyakit. Salah satunya adalah herpes (Elephant endotheliotropic heroesvirus) yang menyerang gajah berusia kurang dari 10 tahun. Penyakit kedua adalah tuberkolosis (TBC) yang menyerang banyak gajah di pusat penangkaran. Belum ada riset untuk mencoba menemukan obat bagi penyakit-penyakit itu, termasuk cara penanganannya.
“Kalau tidak dari sekarang kita lakukan screening untuk Gajah Sumatera yang jinak, akan mengancam penularan dari gajah ke gajah, dari gajah ke manusia, atau dari gajah ke satwa liar lainnya. Ini butuh kawalan dari pemerintah untuk memberi ruang kepada riset,” tambah Wahyu.
Wahyu juga menekankan, Indonesia perlu mengambil langkah tegas dalam perburuan gading yang mendorong pembunuhan gajah. Setidaknya ada dua pola yang selama ini terjadi, yaitu perburuan disengaja dan konflik gajah dengan manusia yang memunculkan bisnis gading. Pola pertama adalah upaya perburuan oleh pemburu profesional yang sengaja dilakukan untuk mengambil gading. Pola kedua, adalah matinya gajah karena konflik dengan manusia, dan kemudian terjadi pengambilan gading oleh masyarakat. Kedua pola ini harus diberantas.
Pengajar di FKH UGM, drh M. Tauhid Nursalim dalam workshop konservasi Gajah Sumatera di Yogyakarta akhir pekan lalu, menyoroti program pembangunan oleh pemerintah yang kadang tidak mendukung upaya konservasi. Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) misalnya, bisa turut menurunkan populasi Gajah Sumatera. “Pembangunan jalan dan infrastruktur lain banyak yang melewati taman nasional sehingga mengganggu habitat gajah. Ini harus menjadi perhatian pemerintah, pusat maupun daerah,”kata Tauhid. [ns/is]