Ada satu malam pada Agustus 2015 yang tidak pernah akan dilupakan oleh keluarga Marthen Sau, yang tinggal di Desa Abi, Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Malam itu, seorang perempuan yang tidak mereka kenal, datang ke rumah. Tujuannya untuk bertemu dengan anak Marthen, Adelina Sau. Perempuan itu menawari Adelina pekerjaan di Malaysia. Ibu Adelina, Yohana Banunaek menolak tegas tawaran itu.
Tanpa diketahui oleh anggota keluarga yang lain, perempuan itu datang lagi pagi harinya, dan langsung membawa pergi Adelina ketika orang tuanya sedang berada di ladang.
“Sejak Adelina dibawa pergi, saat itu juga tidak ada informasi melalui telepon atau kabar apapun. Uang pun tidak pernah dikirim ke orang tua. Adelina juga tidak membawa dokumen apapun,” ujar Ambrosius Ku, sepupu Adelina kepada VOA.
Meski Adelina hilang sejak Agustus 2015, keluarga tidak mencarinya. Ambrosius beralasan, tempat tinggal mereka terlalu jauh dengan jalan besar apalagi perkotaan. Sampai kemudian, Adelina diberitakan meninggal di Malaysia. Seorang pendeta menyampaikan kabar itu, tetapi keluarga tidak yakin karena nama marga yang berbeda. Perempuan yang dikabarkan meninggal itu, bernama Adelina tetapi bermarga Lisao, sedang mereka bermarga Sau.
Petugas polisi sempat menelepon Ambrosius dan menanyakan apakah ada warga bernama Adelina Lisao di Desa Abi. Dia sempat menjawab tidak ada, sampai tiga menit kemudian dia berpikir nama keduanya begitu mirip. Karena curiga, Ambrosius mengontak balik polisi, yang kemudian segera datang menunjukkan foto di paspor. Baru ketika itulah semua jelas, bahwa Adelina yang hilang sejak Agustus 2015 itulah, yang dikabarkan meninggal.
Menurut Ambrosius, kabar kematian ini memang menyakitkan. Tetapi dia tidak yakin akan mempengaruhi minat warga di sana untuk merantau ke Malaysia.
“Memang masih banyak yang bekerja di Malaysia sekarang ini. Faktor yang menyebabkan mereka memilih bekerja di sana, di sini kan kemiskinan, kekurangan, sehingga ketika didatangi oleh pengurus atau calo, mereka katakan kalau di Malaysia satu bulan kalau 3-4 juta mereka kan langsung tertarik untuk ke sana, daripada bertahan di sini serba kekurangan,” kata Ambrosius.
Awalnya, korban dikenal dengan nama Adelina Lisao. Diduga, dokumen pribadinya telah dipalsukan oleh sindikat yang membawanya dari rumah. Adelina diselamatkan dari rumah majikannya pada 10 Februari 2018, tetapi kemudian meninggal sehari sesudahnya di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Penang, Malaysia.
Adelina Sau dinyatakan meninggal karena tindakan keji majikannya. Tiga orang telah ditangkap oleh Polisi Malaysia terkait kasus ini, dan proses hukum sedang berjalan. Ancaman bagi majikan Adelina kemungkinan besar adalah hukuman mati.
Di NTT sendiri, polisi setidaknya sudah menahan tiga orang, atas dugaan terlibat dalam jaringan perdagangan manusia yang menjadikan Adelina salah satu korbannya. Sebelum berangkat ke Malaysia, Adelina yang lahir 15 April 1989 menghabiskan waktu membantu orang tuanya di ladang. Anak kedua dari empat bersaudara itu sudah dimakamkan di desa kelahirannya, Senin 19 Februari 2018.
NTT adalah provinsi termiskin ketiga di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Badan Pusat Statistik mencatat 21,85 persen penduduk NTT tergolong miskin. Berbanding terbalik dengan itu, upaya penegakan hukum dalam kasus perdagangan manusia tampaknya belum berhasil baik. Mahkamah Agung minggu lalu membebaskan sembilan terdakwa yang diduga terkait dengan kasus kematian TKI Yufrinda Selan.
Seorang terdakwa kunci, Diana Aman, sebelumnya dijadikan tahanan kota oleh penegak hukum setempat, sebelum kemudian melarikan diri dan belum ditemukan sampai saat ini.
Juru bicara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Servulus Bobo Riti, kepada VOA menjelaskan ada banyak langkah sudah dilakukan untuk menekan perdagangan manusia. Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI aktif melakukan sosialisasi di daerah sumber TKI, bekerja sama dengan Pemda setempat, untuk menyampaikan informasi skema TKI prosedural. “Kepada yang berminat, disampaikan apa yang boleh dan tidak di negara tujuan. Selain itu, kami sedang menggencarkan pendekatan sertifikasi berdasarkan ketrampilan atau kapasitas dari calon bersangkutan. Semua itu diramu dalam pendekatan Layanan Terpadu Satu Atap,” ujar Servulus.
Servulus meyakini, kebijakan itu mulai dirasakan dampaknya. Meskipun hasilnya tidak terlibat dalam waktu cepat, terutama karena di NTT ada pola migrasi tradisional yang masih memiliki daya tarik. Pola migrasi tradisional, menurut Servulus, adalah kecenderungan calon tenaga kerja untuk menggunakan pola keberangkatan non-prosedural. Mereka lebih percaya kepada pola-pola kekerabatan, mengandalkan jejaring yang sudah ada.
“Khusus di NTT, pemerintah provinsi dan kabupaten sudah punya produk hukum yang mencerminkan karakter daerah NTT. Produk hukum yang pro kepada upaya deteksi dini perlindungan dini, dengan meregulasi bagaimana daerah setempat menyiapkan calon tenaga kerjanya yang ingin bekerja ke luar negeri,” tutur Servulus.
Ketua Keluarga Besar Buruh Migran (Kabar Bumi), Iwenk Karsiwen memandang, Indonesia harus menerapkan hukum lebih keras kepada pelaku perdagangan manusia. Tetapi di sisi lain, dalam kasus Adelina, pemerintah memiliki tantangan lain yaitu mengaplikasikan perjanjian yang sudah ada, dalam praktik yang lebih melindungi TKI. Menurut Iwenk, kasus ini tidak dapat dilepaskan dari faktor Malaysia sebagai negara tujuan. Tidak seperti Hongkong atau Korea, posisi tenaga kerja Indonesia sangat lemah di Malaysia.
“Seharusnya ada penguatan organisasi pekerja migran lokal asal Indonesia di Malaysia. Sayangnya, Malaysia ini negara yang tidak meratifikasi konvensi PBB apapun terkait pekerja migran. Penghargaan terhadap pekerja migran masih lemah, itu mempengaruhi tindakan masyarakatnya. Pekerja asing itu dilarang berserikat, padahal pengalaman kami, serikat pekerja misalnya di Hongkong, itu bermanfaat sekali untuk membela hak pekerja migran,” ujar Iwenk.
Lembaga Migrant Care mencatat, sejak 2012 hingga Februari 2018, ada 1.288 pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia di luar negeri. Sebanyak 36 persen kasus terjadi di Malaysia, diikuti Arab Saudi 17 persen, kemudian Taiwan, Korea Selatan, Brunei dan Hong Kong dalam persentase semakin kecil. Mulai 2013 hingga Februari 2018, terdapat 192 kasus kematian pekerja migran asal NTT di Malaysia, dengan 80,7 persen korban merupakan pekerja migran tidak berdokumen. Tahun lalu tercatat 63 korban, sedang hanya dalam dua bulan pertama 2018 ini sudah ada 11 korban meninggal. [ns/lt]