Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah penting terkait pemenuhan hak anak, sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang maupun Konvensi PBB untuk Hak Anak. Berbagai persoalan seperti kejahatan yang dialami anak masih sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, yang membutuhkan penanganan serius dari semua pihak termasuk pemerintah.
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny Rosalin, mengatakan peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2018 diharapkan menjadi momentum bagi anak untuk berani berperan sebagai pelopor dan pelapor.
“Jadi tahun ini kita punya tema "Bakti Anak Untuk Negeri." Jadi, anak-anak yang sudah kita bina dan kita tingkatkan kapasitasnya, mereka harus berperan sebagai pelopor dan pelapor,” kata Lenny Rosalin.
“Pelopor artinya anak-anak harus berperan sebagai agent of change, agen perubahan. Dan pelapor, mereka bisa melaporkan hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah yang menimpa mereka atau teman sebayanya,” ujarnya.
Lenny mengatakan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak anak harus terus diwujudkan, seperti pemenuhan hak administratif identitas anak berupa akte kelahiran, kesehatan dan gizi anak, terlindunginya anak dari bahaya rokok, hingga hak pendidikan serta perlindungan anak dari kerentanan lainnya.
“Kalau kita lihat di indikator-indikatornya, memang ukuran-ukuran tadi, misalnya akte (kelahiran), terus perkawinan anak. Belum lagi nanti kesehatan, masalah dengan gizi, stunting, ASI eksklusif, kawasan tanpa rokok, iklan promosi sponsorship rokok, pendidikan, isu-isu perlindungan khusus lainnya,” kata Lenny.
“Jadi, kita ini bekerja untuk anak harus terintegrasi, harus holistik, dan harus berpikir jangka panjang, bahwa anak-anak kita ini, SDM kita ke depan, 87 juta anak Indonesia, mereka yang akan meneruskan kita, sepertiga dari total penduduk,” kata Lenny menegaskan.
Perkawinan anak yang masih di bawah usia yang diperbolehkan, menjadi salah satu perhatian Kementerian PPPA. Pemerintah, kata Lenny, akan melakukan advokasi dan edukasi terhadap anak serta keluarganya, dari dampak perkawinan yang masih di bawah usia yang diperbolehkan.
“Kami melakukan advokasi kepada keluarga tentang parenting, kemudian kepada lembaga-lembaga, seperti lembaga kesehatan kan juga memberikan dispensasi untuk rekomendasi kesehatan apakah dia boleh menikah atau tidak. Sementara, Kementerian Agama melalui Pengadilan Agama. Jadi, semua pihak yang berkaitan dengan isu perkawinan anak ini harus kita edukasi,” papar Lenny.
Selain itu, kasus kejahatan seksual terhadap anak juga masih marak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan.
Pemerintah, kata Plt. Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Sri Danti Anwar, akan berupaya menekan angka kejahatan seksual pada anak. Salah satunya melalui edukasi dan pendampingan terhadap anak, yang semakin rentan akibat pengaruh pergaulan maupun kemajuan teknologi informasi.
“Usia 13 sampai 17 tahun itu sebetulnya yang banyak korban itu anak laki-laki, tapi untuk 18 sampai 24 itu anak perempuan. Intinya, kasus-kasus kejahatan kalau kamilihat dari laporan Pusat Layanan Terpadu itu, setiap daerah itu pasti ada kasus kejahatan seksual terhadap anak itu,” kata Sri Danti.
“Jadi, namanya kekerasan kan bukan hanya fisik ya, tapi ada kekerasan psikis juga itu banyak, kemudian kekerasan seksual itu juga, maupun juga penelantaran. Antara anak laki, anak perempuan itu sama-sama rentan sekarang, karena faktor perkembangan teknologi informasi juga, dan juga pergaulan-pergaulan yang ada di lingkungan mereka juga bisa memicu,” ujar Sri Danti menambahkan.