Warga desa Pulau, kecamatan Tembesi, Batanghari, Jambi, akhir Mei lalu dikejutkan dengan temuan janin dalam kondisi mengenaskan di kebun kelapa sawit di daerah itu. Penyelidikan polisi kemudian lebih mengejutkan lagi, karena ternyata bayi itu merupakan hasil aborsi seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang menjadi korban perkosaan abangnya sendiri.
Pengadilan Negeri Muara Bulian pada hari Kamis (19/7) menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap WA, anak perempuan yang malang itu, dan dua tahun penjara terhadap AA, abang WA. Keduanya juga diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPKA. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa sehari sebelumnya yang menuntut WA hukuman satu tahun penjara dan AA tujuh tahun penjara.
Meskipun vonis hukuman terhadap WA, pelaku aborsi yang juga korban perkosaan dan incest, lebih rendah, tetapi banyak pihak mengecam putusan itu. Diwawancara VOA melalui telpon Minggu pagi (22/7), Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform ICJR Anggara mengatakan vonis pengadilan itu kurang tepat.
"Anak sekecil itu diperkosa tentunya belum tahu ia hamil. Apalagi perkosaan itu dilakukan di dalam lingkungan keluarga, tentu ia tidak bisa mencari perlindungan atau bercerita secara bebas di lingkungannya. Pengadilan dapat saja memutuskan bahwa ia bersalah karena melakukan aborsi, tetapi melihat faktor-faktor penyebab yang mendorong ia melakukan perbuatan itu maka apakah ia harus dihukum karena perbuatannya? Saya kira ini yang tidak tepat. Ada faktor-faktor di luar akal sehat sehingga ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Perbuatannya mungkin terbukti benar, tapi ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," jelas Anggara.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI Rita Pranawati MA mengatakan memahami putusan pengadilan karena menurutnya memang ada aturan dalam Undang-Undang Kesehatan, yang juga menjadi salah satu landasan putusan hakim, bahwa aborsi diperkenankan selama janin belum menginjak hari ke-40.
"Dalam UU Kesehatan, anak hasil perkosaan dapat diaborsi dalam usia 40 hari. Tetapi ini sudah lebih. Dalam kasus di Jambi aborsi dilakukan ketika kandungannya sudah menginjak enam bulan. Aborsi ini pun diketahui orang tuanya, dan ini memang menjadi masalah. Belum lagi jika melihat peran orang tua. Ketika menjatuhkan putusan, hakim mungkin melihat hal ini sebagai perkosaan umum karena usia kandungan yang digugurkan sudah lebih dari 40 hari," paparnya.
Namun Anggara menilai harus ada keleluasaan untuk menerjemahkan aturan hukum yang sifatnya umum karena dari masa ke masa selalu muncul kasus baru. Ia merujuk pada kasus di Jambi yang sedianya tidak saja menggunakan aturan KUHPidana dan UU Kesehatan, tetapi juga Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Ada banyak hambatan dan kerumitan yang harus dipahami karena tidak sesederhana yang digambarkan dalam aturan hukum yang meletakkan standar secara umum. Kita harus hati-hati mengkaji satu per satu kasus. Kita harus mengkaji dan mereinterpretasi aturan hukum agar tidak gagal memahami kasus per kasus dan justru melakukan kriminalisasi terhadap korban yang seharusnya dilindungi," tambah Anggara.
Lebih jauh ICJR mendorong agar pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap regulasi yang ada, yang mengatur atau terkait pengguguran kandungan korban kekerasan seksual, agar korban mendapat penanganan yang proporsional dan tidak menjadi korban sistem peradilan pidana.
Vonis terhadap WA, anak perempuan berusia 15 tahun, karena menggugurkan kandungan yang sudah berumur enam bulan akibat hasil perkosaan abangnya sendiri ini, terjadi hanya beberapa hari menjelang peringatan Hari Anak Indonesia 23 Juli. Fenomena menyedihkan ini kembali menyoroti perlunya perlindungan pada anak, khususnya dari potensi menjadi korban kekerasan seksual yang makin kerap terjadi. [em]