Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan penggusuran masih terjadi dalam pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Padahal salah satu janji politiknya sewaktu masa kampanye adalah membebaskan ibu kota dari yang namanya penggusuran. Pengacara publik di LBH Jakarta Charlie Albajili mencatat selama tahun 2017 telah terjadi 110 kasus penggusuran paksa terhadap hunian dan unit usaha dengan korban mencapai 1.171 kepala keluarga dan 1.732 unit usaha di kawasan DKI Jakarta.
Hal itu disampaikannya dalam peluncuran buku hasil penelitian ”Mengais di Pusaran Janji (Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017)”, serta “Masih Ada (Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Januari-September 2018)” di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (14/10).
Jakarta Utara merupakan titik terbanyak dilakukannya penggusuran oleh Pemprov DKI pada 2017, yaitu mencapai delapan hunian dan 21 unit usaha. Dilaporkan mayoritas penggusuran selama 2017 yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta tanpa adanya musyawarah dan partisipasi warga yang layak.
Charlie mengatakan, "Penggusuran di tahun 2017, yang mana untuk rumusan solusi yang layak bagi warga itu untuk kategori hunian, ini mayoritas hampir semuanya tidak mendapatkan solusi yang layak. Walaupun terdapat kasus dimana untuk kategori hunian ada relokasi dilakukan. Untuk unit usaha juga sama, mayoritas tidak mendapatkan solusi yang layak berupa relokasi dan ganti rugi.”
Sementara selama periode Januari hingga September 2018 ada 79 kasus penggusuran dengan korban mencapai 277 kepala keluarga dan 864 unit usaha. Delapan puluh satu persen penggusuran dilakukan secara sepihak tanpa ada musyawarah dan solusi bagi warga yang terdampak.
Charlie mengakui memang dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah penggusuran di tahun 2017 dan 2018 menurun. Namun, mayoritas penggusuran masih dilakukan dengan melanggar HAM dan kemudian kembali memunculkan tunawisma dan penggangguran. Menurutnya, penggusuran paksa tanpa solusi yang pasti, tidak membuat Jakarta terbebas dari masalah. Namun justru menambah masalah baru di masa depan.
"Jadi kita bisa melihat penggusuran yang dilakukan tanpa prosedur yang layak atau partisipasi dari warga yang terdampak itu justru tidak efektif. Dan bahkan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari," tambahnya.
Pengamat tata kota Nirwono Yoga memandang solusi kongkrit yang harus dilakukan oleh Anies atas masalah ini adalah dengan membangun hunian vertikal sebanyak-banyaknya. Sehingga warga yang tinggal di daerah yang terlarang bisa direlokasi dan membuat kehidupan warga bisa menjadi lebih sejahtera.
Ironisnya, ujar Nirwono, pembangunan hunian vertikal kini dijadikan ajang komoditas politik, dimana Anies tidak bersedia melanjutkan pembangunan rumah susun pada era Ahok dan memilih meluncurkan program yang baru di era pemerintahannya. Anies juga menghentikan penataan bantaran kali Ciliwung hingga tahun 2019.
“Rumah susunnya tidak terbangun, malah fokus ke DP nol rupiah sesuai dengan janji kampanye otomatis pembebasan lahan gak bisa jalan. Warga tidak bisa direlokasi, berarti penanganan masalah kota seperti masalah banjir gak akan selesai," ujarnya.
Per tahunnya, kata Nirwono, Pemprov DKI Jakarta hanya bisa membangun 5.000-6.000 unit rumah susun. Padahal Jakarta sendiri kekurangan 301.000 rumah susun, dimana 50-60% diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Oleh karena itu menurutnya tidak ada jalan lain, pemprov DKI Jakarta harus mempercepat pembangunan rumah susun sehingga pembebasan lahan bisa dilakukan dan warga bisa direlokasi ke tempat yang lebih baik. Hal ini juga sedianya didukung dengan penataan wilayah bantaran kali agar masalah banjir bisa selesai. [gi/em]