Upaya aparat keamanan mengambil jenazah korban pembantaian di Nduga, yang diduga diikuti dengan serangan menggunakan helikopter ke kawasan itu, menewaskan sedikitnya dua warga sipil.
Kepala Distrik Nirkuri, Yosekat K. Kamarigi melalui sambungan telepon kepada VOA mengatakan, kabar itu disampaikan pendeta gereja setempat kepadanya. Menurut Yosekat, seusai serangan oleh KKSB, aparat melakukan evakuasi jenazah korban. Upaya evakuasi ini dikatakannya dilakukan dari arah selatan Nduga dan dari arah timur yang masuk wilayah Kabupaten Wamena.
Aparat dikabarkan melakukan serangan bom sebanyak 12 kali. Di distrik Mbua ledakan terdengar lima kali dan distrik Yigi tujuh kali. Yosekat menggambarkan tembakan peluru dihamburkan seperti hujan yang tidak dapat dihitung. Dua aparat desa meninggal pada 5 Desember lalu.
“Tembakan diarahkan kepada tempat tinggal warga di hutan-hutan, jadi tidak tahu dengan serangan itu ada banyak korban atau tidak karena belum dikumpulkan datanya. Tetapi data untuk sementara itu empat orang luka-luka, kemudian dua orang meninggal. Dua meninggal akibat tembakan itu keduanya aparat desa Wuridlak, dan satunya aparat desa Kujondumu,” kata Yosekat K Kamarigi.
Kapendam XVII Cendrawasih Pastikan Aparat Tidak Gunakan Bom dan Tembakan dalam Evakuasi
Di sisi lain, dalam keterangan kepada media, Kapendam XVII/Cendrawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi memastikan bahwa sampai saat ini TNI dan Polri tidak menggunakan bom dan tembakan dari pesawat maupun helikopter.
Informasi yang diperoleh VOA menunjukkan banyak warga sipil yang lari ke hutan karena takut dan hingga saat ini keberadaan mereka tidak diketahui.
Serangan baik dari darat maupun helikopter ke kawasan Nduga juga dilaporkan terjadi, Sabtu (8/12) ini. TNI dan Polri berkumpul di Distrik Mbua, karena terdapat pos penjagaan disana. Puluhan mobil operasional dipakai aparat untuk menggelar operasi ini.
Sebagai pimpinan wilayah, Yosekat mengaku ingin mendatangi warga yang menjadi korban. Namun karena kendala transportasi, hal itu tidak dapat dilakukan. Aparat keamanan juga tidak memberikan ijin. Masyarakat setempat justru meminta pemerintah dan Komnas HAM untuk datang karena khawatir aparat tidak memilih sasaran dengan hati-hati. Dua perangkat desa yang meninggal, kata Yosekat tidak dapat berbahasa Indonesia. Keduanya sudah dimakamkan hari ini.
“Kami minta kepada warga melalui radio untuk mereka kumpul di satu tempat atau di halaman gereja. Tetapi mereka katanya ketakutan karena polisi dan tentara tembak sembarang. Jadi saya minta untuk simpan foto, video dan gambar-gambar, dan mereka sudah bilang disana ada sebagian sudah ada bukti-butkinya,” tambah Yosekat.
Dia mengaku kecewa karena perintah Presiden Jokowi dijalankan aparat di lapangan secara tidak tepat. Karena itu, pemerintah harus segera turun dan memberi akses yang luas kepada wartawan untuk dapat meliput dan menyampaikan informasi yang benar. Informasi yang akurat menjadi masalah di Nduga karena keterbatasan akses. Karena itulah, apa yang sebenarnya terjadi disana, tidak dipahami sepenuhnya oleh masyarakat di luar kawasan tersebut, tampak Yosekat.
Warga Nduga Serukan Integrasi Papua Dilakukan Sesuai Aspirasi Seluruh Warga Papua
Tokoh masyarakat Nduga, Samuel Tabuni, kepada VOA meminta aparat berhati-hati menjalankan operasinya. Sebagai orang asli Nduga, dia yakin tidak ada niat apapun dari warga sipil untuk membunuh pekerja proyek pemerintah disana. “Tamu selalu kita hargai, tapi kalau ada tamu kalau jadi sumber masalah, sumber kekacauan, itu orang Papua bisa bertindak frontal. Simple saja, jika Anda baik, orang Papua akan baik sekali,” tegas Samuel.
Masyarakat Papua, kata Samuel meyakini bahwa akar konflik Papua adalah masalah politik. Integrasi Papua ke Indonesia dilakukan menurut aspirasi sebagian masyarakat, dan tidak mewakili semuanya. Kelompok yang tidak ingin menjadi bagian dari Indonesia, kata Samuel, sudah ada sejak dirinya belum lahir.
Pemerintah memang sudah melakukan sejumlah langkah persuasif, termasuk lahirnya Undang-Undang Otonomi Khusus. Namun, menurut Samuel itu belum menyediakan proteksi yang cukup bagi orang asli Papua. Misalnya pembatasan masuknya orang luar ke Papua. Dalam proses pembangunan, orang asli Papua akhirnya terlibat maksimal. Itulah yang dia sebut sebagai akar masalah yang tidak diselesaikan.
Samuel menyarankan pemerintah pusat, khususnya Kementerian PUPR untuk melibatkan orang asli Papua dalam setiap proses pembangunan. Tidak hanya dilibatkan, orang asli Papua juga diberi tanggungjawab untuk membangun daerah sendiri. Tidak seyogyanya, kontraktor pembangunan membawa pekerja dari luar Papua dan membiarkan mereka bekerja sendiri tanpa dukungan lokal. Para pekerja tersebut tentu minim pengetahuan dan pengalaman budaya dan bahasa masyarakat setempat.
“Kita hari ini mau membasmi OPM dengan kekerasan. Nanti akan lahir lagi satu kelompok yang buat kekerasan lagi, karena balas dendam. Balas dendam ini tidak hanya terhadapTNI dan Polri, tetapi juga kepada saudara-saudara kami yang melakukan pelayanan. Kalau mau mengejar TPM/OPM, mereka kan bersenjata, silahkan kejar. Tetapi jangan sampai masyarakat yang jadi sasaran, karena tidak terkait dengan gerakan itu. Karena tidak sama sekali warga Nduga merencanakan itu. Tidak ada itu. Jadi jangan membuat suatu masalah baru lagi. Dendam baru lagi,” kata Samuel Tabuni. [ns/em]