Sudah hampir satu bulan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan lomba penulisan artikel lingkungan untuk calon legislatif (caleg). Baru tujuh artikel datang, dari empat kabupaten di provinsi itu. Padahal, total ada 9.964 caleg di seluruh NTT yang diharapkan turut menyumbang pikiran. Mungkin memang tidak banyak caleg bisa menulis, atau bisa jadi tema lingkungan sama sekali tidak menarik bagi mereka.
Rima Melani Bilaut, aktivis Walhi NTT kepada VOA menjelaskan, lomba ini sebenarnya bermanfaat bagi para caleg sendiri. Melalui tulisan yang diserahkan, Walhi akan membantu para caleg melakukan kampanye. Di sisi yang lain, untuk bisa menulis, para caleg akan memiliki kesempatan mengeksplorasi persoalan lingkungan di sana.
“Lomba ini sebenarnya untuk memfasilitasi para caleg menyampaikan aspirasi mereka. Kedua, isu lingkungan hidup dan wilayah kelola rakyat itu sangat minim dalam pemilihan legislatif. Narasi kampanye para caleg lebih didominasi pencitraan sosial, pendekatan kekeluargaan bahkan slogan-slogan yang mereka berikan itu sepertinya abstrak, mengenai keberpihakan mereka pada masyarakat,” ujar Rima.
Menulis, kata Rima, juga penting karena jika terpilih, para caleg itu yang nantinya akan menjadi pembuat kebijakan. Kemampuan masing-masing dalam merumuskan masalah dan memberikan solusi dapat terlihat dalam karya tulis mereka. Karena itu, Walhi terus mendorong para caleg untuk peduli pada isu lingkungan, dan menjadikan tema ini sebagai bagian dari kampanye.
“Di NTT sendiri, persoalan lingkungan hidup itu serius karena menyangkut keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Contohnya soal daya rusak tambang, rusaknya hutan, kawasan hulu, krisis sumber daya air, sampah, bencana alam dan lainnya,” tambah Rima.
Walhi NTT menduga, ada dua faktor saling terkait dalam minimnya perhatian terhadap isu lingkungan dalam kampanye. Faktor pertama adalah karena caleg menganggap isu ini kurang seksi, dan faktor kedua di sisi yang berbeda, pemilih tidak sadar betapa strategisnya lingkungan bagi mereka sendiri.
Pemilih Tak Peduli Lingkungan
Munadi Kilkoda, caleg Partai Nasdem di Halmahera Tengah, Maluku Utara mengakui kondisi ini. Banyak caleg tak mau mengusung isu lingkungan karena sejumlah faktor. Seperti tak mau melawan pemilik modal di sektor tambang atau kehutanan, dan juga minimnya penerimaan pemilih sendiri.
“Kelompok itu minoritas, yang sadar isu itu. Sebagian memang belum berpikir seperti itu. Memang karena sekian lama mereka terbiasa memilih orang dengan cara sedikit pragmatis. Mereka mengabaikan hal-hal yang prinsip, sekalipun itu ada ancaman yang secara langsung mengancam mereka di kampung tersebut, tetapi kesadaran untuk melihat itu dan membawa itu ke dalam perbincangan politik di kampung itu tidak ada,” ujar Munadi.
Munadi adalah tokoh di organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Dia melihat sendiri bagaimana masyarakat dirugikan oleh perusakan alam, baik karena tambang atau hutan industri. Anehnya, kata Munadi, masyarakat yang terkena dampak langsung kerusakan lingkungan, juga tidak peduli kepada caleg yang memperjuangkan isu ini.
Politisi dan pemilih, kata dia, sama-sama tidak melihat bahwa lingkungan terkait langsung dengan kehidupan mereka. Hanya sedikit sekali pemilih yang mau peduli terhadap isu lingkungan. Kondisi itu juga dipengaruhi pemodal yang merusak lingkungan untuk tambang atau pemegang hak pengelolaan hutan. Secara tidak langsung, pelaku industri ini menyisipkan pesan-pesan ke masyarakat agar tidak memilih caleg yang berjuang dalam isu lingkungan seperti Munadi.
“Saya, dalam titik tertentu bersikap, ini memang kewajiban saya untuk menyampaikan itu. Ada memang di kampung yang ada tambang dan HPH, secara terbuka mengajak orang untuk tidak memilih saya. Saya selalu sampaikan, ini investasi ke depan. Momentum 2019 ini bukan hajatan saya pribadi, atau partai saya. Ini adalah tentang masa depan kita semua,” tambahnya.
Kepentingan Industri Perusak Lingkungan
Dalam skala yang lebih besar, aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang menyebut Pemilu adalah pertarungan dua oligarki tambang. Sektor ini bahkan menjadi penyambung nyawa bagi partai-partai di Indonesia.
“Akan ada harapan jika salah satu kandidat terbebas dari kepentingan oligarki tambang. Pertanyaannya, ada tidak sekarang? Hampir semua partai itu menjadikan sektor ini sebagai ladang untuk bertarung. Politik di Indonesia itu sudah defisit karena biaya kampanye yang sangat mahal. Dan itu akhirnya melahirkan transaksi jual beli izin. Itu yang terjadi di daerah,” ujar Pradarma
Kalimantan Timur hanya salah satu contoh bagaimana kekuatan politik menciptakan kerusakan lingkungan demikian besar. Kasus lubang tambang misalnya, yang merenggut begitu banyak korban, tidak pernah menjadi perbincangan politik. Padahal ini menyangkut keselamatan rakyat, pelestarian lingkungan dan penegakan hukum.
Pradarma mengungkap, penelusuran Jatam membuktikan bahwa sebagian besar penyokong dalam ajang pilpres memiliki kepentingan besar di sektor tambang. Dia mengatakan, proses pemilu adalah pesta bagi oligarki tambang, bukan pesta untuk rakyat.
Dalam pernyataan resmi, Jatam menyebut Pemilu 2019 sangat kental dengan kepentingan industri tambang. Harapan masyarakat di daerah lingkar tambang untuk bisa keluar dari krisis tampaknya jauh panggang dari api. Menurut Jatam, Pemilu 2019, dengan keterlibatan pebisnis tambang berpotensi besar membuka lebar krisis dan masalah semakin parah. Siapapun yang menang, rakyat tetap berada di pihak yang kalah.
Karena itulah, bisa dimaklumi jika politisi menghindari diskusi lebih dalam terkait kerusakan lingkungan dalam kampanye mereka. Ibarat pepatah, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Kata Pradarma, perbincangan soal daya rusak tambang akan membongkar rahasia sponsor para politisi itu sendiri. [ns/ab]