Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai memanasnya situasi di dalam suatu negara, sebagaimana yang terjadi di Indonesia sekarang ini, membuat penyebaran paham radikalisme dan aksi terorisme bisa dengan mudah terjadi. Kepala Subdirektorat Kontrapropaganda BNPT, Kolonel TNI Sujatmiko mencontohkan aksi kerusuhan pada 21-22 Mei lalu di Jakarta, yang memperlihatkan bagaimana mudahnya teroris memanfaatkan kondisi politik di Indonesia.
“Sesuai dengan data dan monitoring yang ada di BNPT kelompok radikal terorisme itu akan selalu menggunakan kesempatan kejadian nasional yang kritis untuk masuk didalamnya, untuk menyampaikan tujuan-tujuan mereka, termasuk kemarin masuk,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (28/5).
Ditambahkannya, berdasarkan data dan bukti yang dimiliki BNPT, tampak bahwa aksi kerusuhan kemarin ditunggangi kelompok radikal dan terorisme, antara lain yang berafiliasi dengan ISIS. Ia mengatakan bahwa BNPT dapat mempertanggungjawabkan bukti-bukti tersebut.
“Saya ada data-datanya, video-video dan sebagainya yang sebenarnya tidak murni dilaksanakan oleh yang berkepentingan dalam pemilu, tapi betul-betul ditunggangi oleh kelompok radikal terorisme yang mungkin masih berafiliasi pandangannya terhadap ISIS dan sebagainya. Kami bisa melihat itu dari videonya. Kami juga ada mata dan telinga di lapangan yang bisa melihat itu dan betul-betul bisa dipertanggungjawabkan kelompok-kelompok itu bermain disitu,” jelasnya.
Meski begitu, Sujatmiko enggan mengomentari apakah aksi kerusuhan pada 21-22 Mei kemarin tersebut “sukses” dilakukan oleh kelompok tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa penyebaran paham radikalisme dalam peristiwa kemarin eskalasinya cukup tinggi.
BPIP: Paham Radikal Mudah Disebarkan pada Warga yang Frustrasi
Dalam kesempatan yang sama Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono mengatakan faktor menyebarnya paham radikalisme di kalangan masyarakat terjadi karena adanya rasa frustasi dalam hidup mereka, sehingga rentan dimasuki paham radikal dan mengambil jalan pintas. Oleh karena itu diperlukan cara deradikalisasi yang tepat sehingga kelak mereka bisa berkontribusi positif.
“Ini yang ingin kita jadikan bagaimana masalah mereka, kesusahan mereka, ini tidak hanya didekati dengan pendekatan individual, tapi juga pendekatan struktural yaitu kebijakan negara dan memberikan ruang kepada masyarakat agar setiap masyarakat punya ruang untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Hariyono.
BPIP Tengarai Manipulasi Agama dalam Tingkat Mengkhawatirkan
Hariyono juga mengatakan bahwa manipulasi agama kini sudah dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Ia mencontohkan bagaimana mereka mengsalahartikan makna jihad, yang sudah pasti bertentangan dengan ajaran Islam dan juga Pancasila.
“Seolah-olah surga hanya ada di akhirat. Kita harus sadar bahwa surga memang ada di akhirat, tetapi penentu dan pemegang hak preogratifmasuk surga itu kan Tuhan bukan orang lain. Penalaran seperti ini yang perlu kita ajak bicara, bahkan kita sebenarnya karena Pancasila ingin menciptakan tatanan kehidupan yang baik lewat pertanyaan yang sederhana. Jika ada orang atau siapa pun yang ketika bicara penuh dengan kebencian, maka dia sebetulnya dekat dengan Tuhan atau siapa? Nah logika semacam ini kan tidak sempat kita renungkan bersama,” paparnya.
Menurut Hariyono penanaman nilai Pancasila harus lebih digalakkan lagi dalam semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya, semua institusi pendidikan harus memasukkan mata pelajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan.
Selain itu hendaknya para Aparatur Sipil Negara (ASN) diwajibkan untuk sekedar mengikuti upacara kelahiran Pancasila setiap 1 Juni sehingga bisa memaknai dan mendalami apa itu arti Pancasila, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. (gi/em)