Dalam jumpa pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Selasa (11/6), polisi mengungkap peran mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen dalam rencana pembunuhan empat pejabat negara dan seorang pemimpin lembaga survei.
Target pembunuhan tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Budi Gunawan, mantan Komandan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Komisaris Jenderal Gregorius "Gories" Mere, dan Direktur Eksekutif lembaga survei Charta Politika Yunarto Wijaya.
Peran Kivlan terungkap dari keterangan para saksi, pelaku dan sejumlah barang bukti.
Wakil Direktur Reserse dan Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya Ajun Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi menjelaskan Kivlan merupakan orang yang menentukan kelima sasaran pembunuhan tersebut. Ini terungkap dari penangkapan kelompok yang dipimpin tersangka HK alias Iwan.
"Mereka ini bermufakat melakukan kejahatan pembunuhan berencana terhadap empat tokoh nasional dan seorang direktur eksekutif Charta Politika. Dari keenam tersangka yang kami amankan ini, setelah kami tahan dan kami lakukan pemeriksaan, kami melakukan gelar (perkara), akhirnya kami menetapkan tersangka saudara KZ dan tersangka HM berdasarkan bukti permulaan yang cukup," kata Ade Ary.
Menurut Ade Ary, tersangka Kivlan Zen ditangkap Badan Reserse dan Kriminal Polri pada 29 Mei. Dia menjelaskan Kivlan berperan memberikan perintah kepada tersangka HK alias Iwan dan tersangka AZ, untuk mencari eksekutor pembunuhan. Kivlan juga yang memberikan uang Rp 150 juta kepada Iwan untuk membeli beberapa pucuk senjata api.
Setelah Iwan memperoleh empat senjata api, Kivlan masih menyuruh Iwan mencari satu senjata api lagi karena keempat senjata yang sudah didapat belum memenuhi standar yang diinginkan. Kivlan juga memberikan uang Rp 5 juta kepada tersangka IR untuk mengintai target bernama Yunarto Wijaya.
Dari Kivlan, polisi menyita sebuah telepon seluler yang dipakai untuk berkomunikasi dengan beberapa tersangka lainnya.
Ade Ary mengatakan tersangka kedelapan yang ditangkap adalah HM (Habil Marati). Dia dibekuk pada 29 Mei di rumahnya, Jalan Metro Kencana, Kelurahan Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tersangka HM berperan memberikan uang kepada Kivlan untuk membeli senjata api. HM juga memberikan uang Rp 60 juta kepada tersangka HK untuk biaya operasional dan unjuk rasa. Tersangka HM juga memberikan dana operasional sebesar 15 ribu dolar Singapura (Rp 150 juta) kepada Kivlan. Dari tersangka HM, polisi menyita sebuah telepon seluler dan hasil cetak rekening bank milik HM.
Polisi Lansir Rekaman Keterangan Perintah Eksekusi
Dalam kesempatan yang sama polisi juga melansir rekaman keterangan tersangka HK alias Iwan. Iwan ditugaskan oleh Kivlan untuk memimpin operasi pembunuhan terhadap Wiranto, Luhut, Budi Gunawan, Gories Mere, dan Yunarto Wijaya. Selain itu, HK juga disuruh Kivlan membeli senjata api, sekaligus mencari eksekutor dan menjadi eksekutor.
Dalam rekaman itu, Iwan mengaku ditangkap polisi pada 21 Mei dengan tuduhan ujaran kebencian, kepemilikan senjata api, dan memiliki kaitannya dengan Kivlan. Dia menambahkan sekitar Maret lalu, dirinya bersama Udin dipanggil Kivlan untuk bertemu di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara.
"Dalam pertemuan tersebut, saya diberi uang Rp 150 juta untuk pembelian alat, senjata, yaitu senjata laras pendek dua pucuk dan laras panjang dua pucuk. Uang tersebut, Rp 150 juta, dalam bentuk dolar Singapura dan langsung saya tukarkan di money changer (tempat penukaran uang)," ujar HK.
Iwan mengatakan ditagih oleh Kivlan karena belum memperoleh senjata yang dipesan. Ketika dibekuk polisi, Iwan sedang membawa sepucuk pistol Revolver Magnum kaliber 38, diperoleh dari seorang perempuan dengan jaminan uang Rp 50 juta.
Dua senjata lainnya, pistol Meyer kaliber 22 dan jenis perish gun kaliber 22, diperoleh Iwan dari Armi. Pistol Meyer tersebut dia berikan kepada Armi yang merupakan pengawal sekaligus ajudan Kivlan. Sedangkan persih gun diberikan ke Udin untuk berjaga selama melakukan aktivitas pemantauan.
Tersangka lainnya bernama TJ yang ditugaskan menjadi eksekutor untuk membunuh keempat pejabat negara tersebut.
"Saya mendapatkan perintah dari Bapak Mayjen Purnawirawan Kivlan Zen melalui Hadi Kurniawan alias Iwan untuk menjadi eksekutor dengan target atas nama satu Wiranto, dua Luhut Binsar Pandjaitan, tiga Budi Gunawan, empat Gories Mere," tutur TJ.
Untuk melaksanakan misi pembunuhan itu, TJ diberi uang oleh Kivlan lewat Iwan sebesar Rp 50 juta. Tugas harus dilaksanakan segera dengan memakai senjata api laras panjang dan senjata laras pendek. Kedua senjata ini dia peroleh dari Iwan.
Polisi: Ada Beberapa Tersangka Lain Bertemu Kivlan untuk Atur Eksekusi
Sedangkan tersangka IR bercerita pada 19 April atau dua hari setelah pencoblosan, dirinya ditelepon Armi untuk bertemu Kivlan di Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan. Besoknya, IR mengajak Yusuf buat bertemu Kivlan menggunakan mobil milik Yusuf. Armi datang kemudian.
Tidak lama kemudian, Kivlan datang bersama sopirnya dan meminta izin untuk salat asar lebih dulu. Lalu IR dipanggil untuk menemui Kivlan di dalam mobil. Kivlan lantas mengeluarkan telepon selulernya dan menunjukkan foto Yunarto Wijaya beserta alamat kantor Charta Politika di Jalan Cisanggiri III nomor 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Kivlan kemudian meminta IR memantau lokasi tersebut, memotret dan merekam. Untuk melaksanakan tugas ini, IR mendapat uang Rp 5 juta. Kivlan menjanjikan siapa saja bisa membunuh Yunarto Wijaya akan dijamin kehidupan keluarganya dan bisa berlibur ke mana saja.
Besoknya, IR dan Yusuf melakukan survei ke lokasi. Foto dan video diambil menggunakan kamera telepon seluler milik Yusuf, kemudian dikirim ke telepon seluler IR lalu diteruskan ke Armi. Survei kedua dilakukan keesokan harinya. Yusuf hingga kini masih buron.
Ade Ary menekankan keterangan tersangka dalam video testimoni sesuai dengan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Para tersangka juga sudah diambil sumpahnya atas BAP yang sudah disampaikan kepada penyidik.
Sehingga, lanjutnya, tersangka Kivlan dan HM patut diduga melakukan tindak pidana memiliki, menguasai atau menyimpan senjata api ilegal tanpa hak, tanpa izin, seperti diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Darurat Noor 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup.
Fadli Zon Serukan Pembentukan TPF Independen
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan jika ingin mencari dalang kerusuhan pada 22 Mei maka harus dibuat terlebih dahulu tim gabungan pencari fakta yang independen yang terdiri dari semua unsur baik polisi maupun tokoh masyarakat.
Fadli menegaskan ia tidak percaya sejumlah purnawirawan, termasuk Kivlan Zen, telah melakukan makar.
“Saya yakin semua itu framin, para purnawirawan itu yang mempunyai jejak sejarah, jejak perjuangan di masa lalu, pak Sunarko, pak Kivlan Zen, pak Sofyan Yaqub dan lain-lain tidak mungkin melakukan makar. Makar itu kan harus dengan kekuatan bersenjata dan lain-lain. Nah sekarang saja untuk soal senjata informasinya sangat sumir” ungkap Fadli. (fw/em)