AS dan Turki, Kamis (17/10), sepakat melakukan gencata senjata dalam serangan terhadap kelompok Kurdi di bagian utara Suriah, dan mengharuskan kelompok Kurdi untuk mengosongkan wilayah itu
Kebijakan itu dinilai semakin memperkuat posisi Turki dan tujuan dalam konflik sepekan ini. Perjanjian itu mencakup syarat untuk mencegah diberlakukannya sanksi-sanksi ekonomi Amerika.
Setelah berunding dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Wakil Presiden Amerika Mike Pence memuji gencatan senjata selama lima hari itu sebagai cara untuk menyudahi pertumpahan darah akibat invasi Turki. Namun ia tidak mengeluarkan pernyataan soal apakah tindakan itu sama dengan meninggalkan pasukan Kurdi, bekas sekutu Amerika dalam perang melawan kelompok ISIS.
Pasukan Turki dan kombatan Suriah yang didukung Turki melancarkan serangan terhadap pasukan Kurdi di bagian utara Suriah sejak minggu lalu. Serangan itu dilancarkan dua hari setelah Presiden Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan penarikan pasukan Amerika dari daerah itu.
Trump dikecam luas karena meninggalkan pasukan Kurdi yang sejak 2016 menjadi sekutu kuat pasukan Amerika untuk melawan ISIS dan telah kehilangan begitu banyak personel dalam upaya itu.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan Amerika telah menerima gagasan “zona aman” yang sudah digagas Turki sejak lama, dan berkeras bahwa pasukan bersenjata Turki akan mampu mengendalikan zona itu.
Ia juga menjelaskan bahwa Turki tidak akan berhenti di zona yang sebelumnya terbatas itu, dengan mengatakan pasukan Turki yang menguasai perbatasan di sisi Suriah harus memperluas otoritasnya hingga ke perbatasan Irak.
Panglima pasukan pimpinan Kurdi di Suriah, Mazloum Abdi, mengatakan kepada stasiun televisi Kurdi bahwa “kami akan melakukan apapun demi keberhasilan perjanjian gencatan senjata.” Tetapi seorang pejabat Kurdi, Razan Hiddo, menyatakan bahwa warga Kurdi menolak hidup di bawah pendudukan Turki. [em/pp]