Tautan-tautan Akses

KNKT Ungkap Sembilan Penyebab Jatuhnya Pesawat Lion Air JT610


Pesawat Lion Air Boeing 737-900 di Denpasar, bali, 14 Agustus 2017. (Foto: dok).
Pesawat Lion Air Boeing 737-900 di Denpasar, bali, 14 Agustus 2017. (Foto: dok).

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya merilis hasil akhir investigasi penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 jurusan Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat 29 Oktober 2018 lalu.

Setelah melakukan investigasi kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 jurusan Jakarta-Pangkal Pinang selama satu tahun, akhirnya Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis sembilan faktor yang menyebabkan jatuhnya pesawat jenis Boeing 737-8 MAX yang menewaskan seluruh awak dan penumpangnya itu.

Kasubkom Penerbangan KNKT sekaligus investigator dalam kecelakaan ini, Kapten Nurcahyo Utomo mengatakan semua faktor ini merupakan faktor utama dan saling terkait satu sama lainnya. Kalau satu faktor saja tidak terjadi, kata Nurcahyo, maka kecelakaan tersebut kemungkinan tidak akan terjadi.

“Apa yang sudah kami lakukan, kami mengambil kesimpulan ada sembilan hal yang berkontribusi terhadap kecelakaan ini. Kami sampaikan bahwa yang kami sebut sebagai contributing factor ini adalah definisi yang kita ambil menurut ketentuan internasional, yang bisa didefinsikan sebagai hal-hal yang terkait kecelakaan yang apabila hal ini tidak terjadi atau terhindar, maka kecelakaan mungkin tidak terjadi. Sembilan ini adalah sembilan yang saling terkait satu sama lain yang mengarah pada kecelakaan,” ujarnya dalam konferensi pers di kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10).

Nurcahyo menjelaskan setelah kecelakaan tersebut, beberapa pihak terkait telah melakukan tindakan perbaikan. Boeing, kata Nurcahyo telah melakukan delapan tindakan perbaikan, Lion Air melakukan 35 tindakan perbaikan, DCGA melakukan 10 tindakan perbaikan, FAA sebanyak 17 tindakan perbaikan, BAT sebanyak dua tindakan perbaikan , Collins Aerospace ada empat tindakan perbaikan, AirNav Indonesia melakukan dua tindakan perbaikan.

Selain itu, pihaknya juga telah memberikan rekomendasi keselamatan kepada para pihak terkait tersebut.

Adapun sembilan faktor yang menurut KNKT saling terkait menjadi penyebab kecelakaan ini adalah sebagai berikut:

Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.

Mengacu pada asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk Manuevering Characteristic Augmentation System (MCAS) dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi

Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan

Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan

Indikator Angle of Attack (AOA) DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukkan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengindentifikasi kerusakan AOA sensor.

AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya

Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi

Infomasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada pesawat sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat

Beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidak-efektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.

MCAS sendiri adalah fitur yang baru ada di pesawat Boeing 737-8 (MAX) untuk memperbaiki karakteristik angguk (pergerakan pada bidang vertikal) pesawat pada kondisi flap up, manual flight (tanpa auto pilot) dan AOA tinggi. Proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai, juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS.

Sebenarnya kerusakan dalam pesawat tersebut pertama kali terjadi pada 26 Oktober 2018 dalam penerbangan dari Tianjin, China ke Manado, Indonesia. Setelah beberapa kali perbaikan pada kerusakan yang berulang, pada 28 Oktober 2018 AOA sensor kiri diganti di Denpasar, Bali.

AOA sensor kiri yang dipasang mengalami deviasi sebesar 21 derajat yang tidak terdeteksi pada saat diuji setelah dipasang. Deviasi ini mengakibatkan perbedaan penunjukkan ketinggian dan kecepatan antara instrumen kiri dan kanan di kokpit, juga mengaktifkan stick shaker dan MCAS pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta. Pilot berhasil menghentikan aktifnya MCAS dengan memindahkan STAB TRIM switch ke posisi CUT OFF.

Setelah mendarat di Jakarta, pilot melaporkan kerusakan yang terjadi namun tidak melaporkan stick shaker dan pemindahan STAB TRIM ke posisi CUT OUT. Lampu peringatan AOA Disagree tidak tersedia sehingga pilot tidak melaporkannya. Masalah yang dilaporkan ini hanya dapat diperbaiki menggunakan prosedur perbaikan AOA Disagree.

KNKT dalam konferensi pers hasil final investigasi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610, di kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10) (Ghita)
KNKT dalam konferensi pers hasil final investigasi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610, di kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10) (Ghita)

Pada hari kecelakaan, pesawat dioperasikan dari Jakarta ke Pangkal Pinang. Flight Data Recorder (FDR) merekam kerusakan yang sama terjadi pada penerbangan ini. Pilot melaksanakan prosedur non-normal untuk IAS Disagree, namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer. Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan TAC berkontribusi pada kesulitan pilot untuk mengendalikan pesawat.

Lalu, mengapa pilot sebelumnya bisa mengatasi masalah aktivasi MCAS sedangkan pilot penerbangan Lion Air JT-610 tidak bisa mengendalikannya? Menurut Nurcahyo, hal tersebut bukan karena kapabilitas masing-masing pilot. Yang membedakan adalah situasi yang dialami oleh kedua pilot tersebut.

Pilot penerbangan Denpasar-Jakarta, sebelumnya telah mengetahui ada masalah pada pesawat tersebut karena telah berdiskusi dengan teknisi pesawat sebelumnya. Sementara pilot yang menerbangkan pesawat jurusan Jakarta-Pangkal Pinang tidak mengetahui adanya masalah tersebut.

“Bapak ibu pernah mendengar ada orang ketiga yang duduk di kokpit, yang menjadi penyelamat, kami sudah melakukan interview dengan mereka bertiga, dan yang duduk di kokpit ini sempat mengingatkan kepada kaptennya bahwa ketika co-pilotnya sedang terbang ia mengingatkan kepada kaptennya bahwa pesawatnya mulai menurun, setelah itu kaptennya melihat kepada co-pilotnya yang sedang terbang, mengingatkan agar terbang dengan baik dan dia hanya monitor bagaimana pilotnya terbang, sampai akhirnya dia melihat setelah co-pilotnya tidak menggerakan trim, trimnya bergerak sendiri, di sinilah dia mengambil kesimpulan bahwa ini masuk dalam kategori runaway stabilizer, dan mereka melakukan tindakan mematikan menggunakan STAB TRIM ke posisi CUT OUT yang akhirnya berhasil menghentikan MCAS," jelasnya.

"Nah bedanya dengan 610 adalah, kaptennya sedang terbang, tiba-tiba terjadi masalah, dan kaptennya menginstruksikan untuk melakukan prosedur, kemudian co-pilotnya berusaha mencari di mana prosedur itu di buku dan pada saat ketemu dia melakukan apa yang ada dalam prosedur, di sinilah terjadi perbedaan di mana di penerbangan Denpasar-Jakarta, sampai dengan kaptennya yakin co-pilotnya bisa terbang, ia tidak menyentuh dulu buku prosedur, ia tunggu dulu sampai co-pilotnya benar-benar bisa terbang, baru ia memulai prosedur, sedangkan yang di Jakarta, kedua pilot melakukan dua pekerjaan masing-masing, yang satu terbang, yang satu membaca prosedur, yang akhirnya yang tadi kami simpulkan tidak terjadi komunikasi atau koordinasi karena mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing, ketika terbang memang pesawatnya sulit sekali untuk diterbangkan, yang membaca prosedur juga prosedurnya panjang sekali, jadi dua-duanya memang sibuk sehingga tidak terjadi kerja sama, tidak terjadi komunikasi, jadi yang membedakan adalah itu, bukan bagaimana siapa yang lebih pinter dari siapa tidak seperti itu,” imbuh Nurcahyo.

Sementara itu, ketika dimintai tanggapan terkait hasil final investigasi kecelakaan ini, Corporate Communications Lion Air Danang Mandala Prihantoro lewat pesan singkatnya kepada VOA berterimakasih kepada KNKT atas semua kerja kerasnya dalam melakukan investigasi kecelakaan ini dan berharap kecelakaan ini tidak terjadi lagi di masa depan.

“Pihak Lion Air berterima kasih atas kerja keras dan kemampuan yang dikerahkan oleh KNKT untuk mengungkap kecelakaan ini. Faktor penyebab kecelakaan yang diungkapkan oleh KNKT ini menjadi pembelajaran bagi kami, untuk memastikan agar kecelakaan seperti ini tidak akan pernah terulang kembali,” ungkap Danang. [gi/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG