Sejumlah pengamat menilai langkah Presiden Jokowi yang tidak bersedia menerbitkan Perppu terkait UU KPK semakin menujukkan bahwa Presiden Jokowi tidak mempunya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Sementara itu Luhut Binsar Panjaitan yang kini menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman dan investasi menyatakan Perppu tidak lagi bisa dicampuri oleh eksekutif lantaran produk hukum itu telah diproses oleh Lembaga Yudikatif.
Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi. Presiden Jokowi beralasan demi untuk menghormati proses uji materi UU KPK yang sedang berjalan di Mahkamah Konsitusi.
Sikap Presiden tersebut mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengatakan langkah Presiden Jokowi itu semakin menguatkan anggapan bahwa Jokowi juga menginginkan adanya revisi Undang-undang KPK.
Sikap itu, kata Bivitri, juga memperjelas posisi Presiden yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Menurutnya pemimpin yang tidak mendukung pemberantasan korupsi seharusnya tidak bisa didukung.
Tindakan Presiden itu, lanjutnya, akan membuat lembaga komisi pemberantasan korupsi mati karenadalam Undang-Undang KPK hasil revisi kewenangan penindakan KPK sudah dipreteli di antaranya untuk melakukan penyadapan harus seizin Dewan Pengawas, adanyakewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) hingga pencabutan status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum.
Dia menambahkan dengan KPK yang baru, operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini dilakukan tidak akan terjadi lagi karena menurut Bivitri kunci menuju OTT adalah penyadapan. Sementara dalam Undang-undang KPK hasil revisi, penyadapan dapat dilakukan dengan melakukan gelar perkara terlebih dahulu, padahal gelar perkara, lanjutnya, terjadi jika sudah ada tersangka, level penyidikan.
Bivitri menilai selangkah lagi pemerintahan Jokowi akan sama dengan zaman Orde Baru.
“Karena indikasinya sudah kelihatan termasuk represi-represi, saya dan teman-teman sendiri, dengan gaya baru, mungkin dengan represi yang tidak kelihatan dipukuli atau hilang tapi kan dalam gaya baru, misalnya kami semua ditekan dan dikorek-korek segala macamnya, upaya menyadap jadi suasana sudah tercipta, sudah mirip sekali dengan orde baru. Suasana ketakutan diciptakan mungkin tidak persis sama dengan dulu karena metodenya juga beda, UU ITE, kriminalisasi sekarang metodenya seperti itu,” ungkap Bivitri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan alasan Jokowi yang menghormati proses uji materi UU KPK sehingga tidak mengeluarkan Perppu merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, padahal ini merupakan dua insititusi yang berbeda yakni lembaga kekuasaan kehakiman dan satu lagi lembaga eksekutif.
Perppu, lanjutnya, merupakan hak subjektif Presiden. Sebenarnya, kata Feri, tidak perlu Perrpu untuk menyelamatkan KPK jika sejak awal Jokowi tidak menyetujui RUU KPK.
“Lalu karena Jokowi lah munculah Dewan Pengawas yang bisa dikendalikan oleh Jokowi, artinya dewan pengawas bisa mengendalikan KPK dengan berbagai cara. Semua dewan pengawas ditunjuk oleh Jokowi langsung. Jadi semuanya orang-orang Jokowi yang bisa kemudian menggerakkan KPK berdasarkan kepentingan Jokowi,” ujar Feri.
Feri menambahkan dalam aturan yang baru, anggota dewan pengawas pada periode ini akan ditunjuk dan dilantik langsung oleh Jokowi tanpa keterlibatan lembaga lain. Hal itu menimbulkan tanda tanya mengapa hanyapada perode Jokowi yang bisa tunjuk langsung, sementara Presiden berikutnya tidak boleh menunjuk langsung, harus ada panitia seleksi.
Para akademisi kata Feri akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait UU KPK ini.
Sebelumnya, Luhut Binsar Panjaitan yang kini menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi berpendapat Presiden Joko Widodo tidak bisa menerbitkan peraturan Presiden Pengganti Undang-undang pemberantasan korupsi atau Perppu KPK. Menurut Luhut, Perppu tidak lagi bisa dicampuri oleh eksekutif karena produk hukum itu telah diproses oleh Lembaga Yudikatif.
“KPK kan sudah di-judicial review, mahasiswa yang minta, sudah jalan. Lah Presiden tidak boleh mencampuri itu. Itu ketentuan bernegara, berundang-undang. Jadi kalau nggak ngerti malah aneh lagi," kata Luhut. [fw/lt]