Direktur Riset Setara Institute, Halili, menjelaskan kasus pelanggaran kebebasan beragama dalam 12 tahun terakhir paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat dengan 629 peristiwa atau sekitar 26 persen dari total 2.400 insiden pelanggaran.
Disusul DKI Jakarta dengan 291 kasus (12,13 persen) dan Jawa Timur dengan 270 kasus (11.25 persen).
Sementara dari sisi pelaku, sebagian besar pelaku berasal dari luar negara seperti kelompok warga dengan 600 tindakan, ormas keagamaan 249 tindakan. Disusul Majelis Ulama Indonesia sebanyak 242 tindakan dan Front Pembela Islam 181 tindakan.
"Dalam studi HAM, secara umum negara dianggap sebagai pelanggar potensial. Tapi dalam kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagian besar dilanggar aktor non negara. Hanya pada 2016, kita ingat ramai-ramai kasus Gafatar. Tapi selebihnya non negara," jelas Halili dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/11/2019).
Dari sisi aktor negara, pelanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan terbanyak adalah kepolisian dengan 480 tindakan. Disusul pemerintah daerah dengan 383 tindakan dan Kementerian Agama 89 tindakan.
Sementara korban yang menjadi obyek pelanggaran tertinggi, yaitu Ahmadiyah dengan 554 peristiwa. Lainnya adalah aliran keagamaan dengan 334 peristiwa dan umat Kristen 328 peristiwa.
Gangguan terhadap rumah ibadah merupakan pelanggaran terbanyak dalam 12 tahun terakhir. Adapun rinciannya adalah gangguan terhadap gereja sebanyak 199, masjid 133 gangguan, rumah ibadah kepercayaan 32 gangguan, disusul Wihara, Klenteng, Pura dan Sinagoge.
Setara Institute berharap pemerintah dapat mengambil tindakan-tindakan konkret untuk mencegah berulangnya pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan. Salah satunya, yaitu dengan mengoptimalisasi lembaga pendidikan yang toleran.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mengatakan setuju dengan rekomendasi Setara Institute. Utamanya dalam menjaga dan mensosialisasikan Pancasila untuk menghadapi ancaman intoleransi dan perpecahan.
"Ancaman radikalisme, kekerasan, intoleransi itu bukan isapan jempol. Tapi nyata dalam kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Kita tidak ingin negara kita terpecah belah, perang saudara. Karena itu, dari awal kita harus menumbuhkan kesadaran bahwa bersatu itu keren," tutur Bambang Soesatyo.
Bambang Soesatyo menjelaskan lembaganya juga sedang mendorong pemerintah untuk menghidupkan kembali mata pelajaran yang mengandung nilai Pancasila dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali mengatakan selain perbaikan dalam bentuk regulasi, pemerintah dan masyarakat perlu membuat kegiatan-kegiatan melalui komunitas untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi. Sebab, pelaku intoleransi saat ini bergeser sebagian besar menjadi non negara dari sebelumnya negara.
Di samping itu, pemerintah juga perlu lebih memperhatikan korban perempuan yang selama ini terabaikan dalam proses-proses penyelesaian kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Misalnya, kata Khariroh, tidak pernah ada upaya pemulihan oleh negara terhadap para perempuan pengikut Ahmadiyah.
"Mereka melakukan upaya pemulihan terhadap komunitas sendiri. Mereka berusaha membantu teman-teman di pengungsian, menyekolahkan anak korban dan berusaha membuka komunikasi dengan masyarakat di luar," jelas Khariroh.
Khariroh juga mendorong aparat penegak hukum lebih tegas dalam menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk memutus mata rantai impunitas dalam kasus ini. [sm/ft]