Pemimpin de facto Myanmar yang juga peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, Rabu (11/12), hadir di Den Haag untuk membela pemerintahnya dari tuduhan melakukan genosida terhadap komunitas minoritas Muslim-Rohingya.
Suu Kyi pernah dikenai tahanan rumah oleh militer Myanmar selama lima belas tahun, tetapi kini ia membela militer yang pernah memenjarakannya. Ia menyebut tuduhan terhadap negaranya tidak lengkap dan menyesatkan.
Hampir dua puluh delapan tahun sejak memenangkan hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi hadir di pengadilan internasional di Den Haag, Belanda, untuk membela pemerintahnya.
Gambia, atas nama sejumlah negara anggota Organisasi Negara-negara Islam, mengajukan Myanmar ke pengadilan dengan menuduh militer negara itu melakukan genosida terhadap kelompok etnis minoritas Muslim-Rohingya.
“Sayangnya Gambia mengajukan kasus ke pengadilan dengan gambaran faktual situasi di negara bagian Rakhine yang tidak lengkap dan menyesatkan," kata Suu Kyi.
Sebelumnya tim kuasa hukum Gambia menggambarkan tuduhan kekejaman yang telah berlangsung terhadap Rohingya.
“Seorang saksi memberikan kesaksian bahwa tentara membunuh seluruh laki-laki dalam keluarganya. Tentara mula-mula menembak mereka dan kemudian memotong leher mereka. Halaman rumah jadi penuh darah," kata pengacara Andrew Loewenstein.
Aung San Suu Kyi menegaskan bahwa pengadilan internasioal tidak memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan itu.
“Jika kejahatan perang telah dilakukan oleh anggota-anggota Pertahanan Myanmar, mereka akan diadili lewat sistem peradilan militer kami, sesuai Konstitusi Myanmar," kata Suu Kyi.
Gambia ingin agar pengadilan memerintahkan langkah-langkah khusus guna melindungi kelompok etnis minoritas Muslim-Rohingya hingga kasus genosida itu disidangkan penuh.
Aksi demonstrasi menentang sidang pengadilan itu berlangsung di Myanmar.
Sementara di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, warga Muslim-Rohinya melangsungkan sholat.
“Aung San Suu Kyi tahu tentang genosida itu tetapi tidak meminta agar aksi itu dihentikan. Jadi kami menuntut keadilan," kata salah seorang pengungsi, Lukman Hakim.
Militer Myanmar dituding telah melancarkan kampanye pembunuhan massal, penyiksaan dan perkosaan pada tahun 2017 yang membuat lebih dari 700 ribu warga Muslim-Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Namun akvitis Burma Campaign UK, Mark Farmaner, mengatakan kehadiran Suu Kyi di pengadilan itu merupakan bagian dari agenda politik dalam negerinya.
“Ia menggunakan kartu nasionalisnya untuk menggalang dukungan, tetapi pada saat bersamaan ia juga memainkan agenda lain guna membujuk militer Myanmar, yaitu bahwa ia bukan ancaman bagi mereka dan mereka seharusnya setuju untuk melakukan reformasi demokrasi lebih jauh di negara itu," kata Mark.
Pemerintah sipil Myanmar juga bersalah, tambah Farmaner.
“Suu Ki menjalankan kebijakan di negara di mana terjadi pembunuhan warga Rohingya setiap hari. Ia menolak memberikan bantuan kemanusiaan dari komunitas internasional. Ia membatasi akses mereka pada layanan kesehatan. Anak-anak Rohingya juga tidak bisa meraih pendidikan tinggi," kata Mark.
Suu Kyi menyangkal tuduhan itu, dan berulangkali mengklaim bahwa operasi militer itu merupakan aksi kontra-teroris yang sah terhadap serangan militan Rohingya.
Putusan pengadilan untuk menyetujui langkah-langkah melindungi warga Muslim-Rohingya diperkirakan akan disampaikan dalam beberapa minggu ke depan, tetapi putusan final tentang tudingan genosida itu diperkirakan membutuhkan waktu beberapa tahun. [em/ii]