Tautan-tautan Akses

Korsel Tolak Upaya Batalkan Kesepakatan Soal Budak Seks dengan Jepang


Mantan perempuan penghibur Korea Selatan, Lee Yong-soo (tengah), Lee Ok-seon dan Gil Won-ok, (kanan), meninggalkan Pengadilan Distrik Pusat Seoul di Seoul, Korea Selatan, 13 Desember 2019. (Foto: dok).
Mantan perempuan penghibur Korea Selatan, Lee Yong-soo (tengah), Lee Ok-seon dan Gil Won-ok, (kanan), meninggalkan Pengadilan Distrik Pusat Seoul di Seoul, Korea Selatan, 13 Desember 2019. (Foto: dok).

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, Jumat (27/12) menolak petisi untuk membatalkan perjanjian tahun 2015 dengan Jepang, yang menyelesaikan perselisihan sengit terkait perempuan Korea yang dijadikan budak seks oleh militer Jepang pada Perang Dunia II.

Keputusan untuk menolak perjanjian yang sebagian besar tidak bisa dilaksanakan itu telah merumitkan upaya kedua negara untuk menyelesaikan secara terpisah sengketa mengenai perdagangan dan masalah sejarah itu, yang baru-baru ini menjerumuskan hubungan kedua negara ke titik terendah dalam beberapa dekade ini.

Putusan hari Jumat ini (27/12) merupakan tanggapan atas petisi yang diajukan para mantan budak seks dan keluarga mereka yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat tanpa persetujuan mereka itu, telah merendahkan martabat mereka serta melanggar hak-hak mereka untuk turut dalam perundingan dan meminta kompensasi lebih besar dari pemerintah Jepang.

Ketua Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, Yoo Nam-seok (tengah atas) bersama dewan hakim lainnya di Mahkamah Konstitusi, Seoul, Korea Selatan, 27 Desember, 2019.
Ketua Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, Yoo Nam-seok (tengah atas) bersama dewan hakim lainnya di Mahkamah Konstitusi, Seoul, Korea Selatan, 27 Desember, 2019.

Dalam putusan dengan suara bulat, panel terdiri dari sembilan hakim menetapkan bahwa perjanjian itu merupakan kesepakatan politik tidak mengikat yang tidak mempengaruhi hak-hak hukum para korban, seperti kemampuan untuk meminta kompensasi secara resmi dari Jepang.

Disebutkan pula bahwa kesepakatan itu tidak mendapat persetujuan parlemen atau pertimbangan dewan kabinet di kedua negara, suatu langkah yang diperlukan untuk membuatnya sebagai suatu perjanjian. Mahkamah juga menyatakan kesepakatan itu tidak jelas merinci langkah-langkah yang perlu diambil masing-masing negara dan konsekuensi yang mereka hadapi jika mereka gagal memberlakukannya.

Putusan itu bersifat final dan tidak dapat dimintakan banding, sebut para para pejabat pengadilan. [uh/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG