Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan kesepakatan tahun 2015 antara negaranya dan Jepang tidak menyelesaikan masalah perempuan Korea yang dipaksa dijadikan budak seks oleh pasukan kolonial Jepang. Ia mengatakan hal tersebut meski ada deklarasi dari Korea Selatan dan Jepang yang menyatakan bahwa kesepakatan itu final dan tidak dapat dibatalkan.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kamis (28/12) oleh Gedung Biru, Moon mengatakan, kesepakatan tersebut sangat cacat dan tidak mempertimbangkan pendapat para perempuan yang dijadikan korban di rumah-rumah pelacuran militer Jepang. Presiden itu meminta pemerintahnya melakukan usaha-usaha lebih lanjut untuk memenuhi tuntutan para korban dengan selayaknya.
Pernyataan Moon ini senada dengan yang disampaikan sebuah satgas yang dibentuknya tidak lama setelah menjabat presiden, untuk mengevalusi kesepakatan tersebut. Kesepakatan itu sendiri disetujui pemerintahan presiden sebelumnya, Park Geun-hye, yang terguling.
Menanggapi pernyataan Moon, Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono mengeluarkan pernyataan yang menuntut Seoul memegang teguh kesepakatan itu. Ia memperingatkan, hubungan bilateral antara kedua negara akan rusak bila Korea Selatan berusaha mengubahnya.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Jepang sepakat untuk meminta maaf atas tindakan brutal pasukannya di Semenanjung Korea antara tahun 1910 dan 1945, serta bersedia memberi dana sebesar 8 juta dolar yang akan dialokasikan untuk membantu para korban. Sebagai imbalannya, Korea Selatan tidak akan menyebut perempuan yang menjadi korban sebagai budak seks dan mencabut patung di depan Kedubes Jepang yang menyimbolkan perempuan penghibur. [ab]