Iran pun membalas dendam dengan meluncurkan belasan rudal ke markas militer Amerika di Irak.
Bagaimana semua ini bermula? Apa kata Presiden Trump terkait pembalasan dendam Iran? Berikut 5 hal yang patut Anda ketahui terkait konflik AS-Iran.
Trump: “Tak ada korban jiwa”
Presiden AS Donald Trump, dalam konferensi persnya, Rabu (08/01) di Gedung Putih menegaskan “tidak ada satu pun orang Amerika” yang menjadi korban serangan rudal Iran, Rabu (08/01) pagi waktu Irak.
“Semua tentara kita aman. Hanya kerusakan kecil di markas militer kita,” ungkap Presiden Trump.
Stasiun televisi pemerintah Iran menyebut 15 rudal balistik disasarkan Iran ke pangkalan udara Al-Asad dan sebuah fasilitas militer di Erbil, Irak. Keduanya adalah markas militer Amerika di Irak.
Tidak ada pula warga Irak yang menjadi korban, “karena sistem peringatan dini yang kita miliki bekerja dengan sangat baik,” kata Trump.
Lebih jauh lagi, Presiden Trump mengklaim Iran telah “mengendurkan kekuatan militernya”.
Ia pun memberikan sinyal ajakan damai. “Amerika Serikat siap berdamai dengan siapapun yang berupaya mencari kedamaian.”
Balas dendam di Rabu subuh
Rabu (08/01) pagi waktu Irak, Iran membalaskan dendam atas kematian komandan militer terkuatnya yang tewas dibunuh atas perintah Presiden Trump.
Rudal balistik ditembakkan ke markas militer Amerika di Irak.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei di hadapan warga Iran yang meneriakkan “Amerika harus mati”, menyebut balasan Iran itu sebagai “tamparan” bagi Amerika dan desakan agar tentara Amerika angkat kaki dari Timur Tengah.
Meskipun begitu, nihilnya korban jiwa dari pihak Amerika membuat sejumlah diplomat Amerika dan Eropa yang tak mau disebutkan namanya, berasumsi lain.
Kepada kantor berita Reuters, mereka meyakini Iran memang sengaja menyasarkan rudalnya agar tidak mengenai tentara Amerika.
“Iran ingin menunjukkan bahwa mereka tidak terima atas kematian komandan militernya, tapi juga tidak mau kondisi semakin memanas”.
Kematian Jenderal Qassem sebagai pemantik
Ketegangan antara Amerika dan Iran memuncak setelah Amerika, atas perintah Presiden Trump, meluncurkan serangan roket yang menewaskan Komandan Pasukan Quds, Qassem Soleimani, Kamis (02/01).
Soleimani dianggap sebagai tokoh militer terkuat Iran dan berada di posisi kedua dalam alur kekuasaan di Iran, tepat di bawah Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Pentagon menyebut serangan atas Soleimani adalah “upaya pertahanan” Amerika untuk melindungi para diplomatnya.
Soleimani dituding “rencanakan berbagai serangan atas diplomat AS”, salah satunya serangan dan pembakaran terhadap Kedubes AS di Baghdad, Irak, 31 Desember lalu.
Pasukan Quds yang dipimpin Soleimani juga masuk dalam daftar “Organisasi Teroris Asing” yang dirilis Amerika, karena dianggap terkait dengan Hezbollah dan Hamas.
Pemerintahan Presiden Trump mengungkapkan Pasukan Quds terlibat dalam sejumlah serangan yang tewaskan lebih 600 tentara Amerika pada tahun 2003 hingga 2011.
“Jenderal Qassem Soleimani harusnya sudah dilenyapkan sejak bertahun-tahun lalu,” kata Presiden Trump.
Apa kata dunia?
Berbagai pemimpin dunia meminta agar Amerika dan Iran menurunkan senjata.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen meminta kedua negara untuk “berhenti saling serang dengan senjata, dan membuka ruang untuk berdialog”.
Presiden Perancis, Emmanuel Macron yang sempat berbicara lewat sambungan telepon dengan Presiden Iran Rouhani, juga menyampaikan hal serupa. Macron mengaku “khawatir” dan meminta Iran untuk tidak melakukan apapun yang bisa memanaskan suasana.
Sementara itu, Jerman memilih untuk menarik mayoritas tentaranya dari Irak, Selasa (07/01). Hal serupa dilakukan Spanyol.
Di timur, China memilih untuk “berperan lebih konstruktif” menjaga keamanan regional di Asia, dan meminta kedua pihak “manut pada hukum internasional”.
Indonesia lewat Menteri Luar Negeri juga angkat bicara, meminta Iran dan Amerika menahan diri agar tak terjadi ekskalasi lebih lanjut.”
Jatuhnya Boeing, terkaitkah?
Pada hari yang sama dengan serangan rudal Iran ke markas militer AS di Irak, sebuah pesawat komersial, Boeing 737-800 milik maskapai Ukraine International Airlines, jatuh dua menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Teheran, Iran.
Seluruh 176 penumpang dan awak pesawat tewas.
Korban berasal dari berbagai negara, dengan mayoritas adalah warga negara Iran (82 orang), Kanada (63), Ukraina (11), Swedia (10), Afghanistan (4), Jerman (3) dan Inggris (3).
Apakah terkait dengan konflik Iran-AS?
Penyebab kecelakaan masih terus diselidiki.
Sejauh ini tidak ada pernyataan resmi yang menyebut kedua peristiwa (kecelakaan pesawat dan konflik Iran-AS) terkait.
Meskipun begitu, Kedutaan Ukraina mencabut pernyataan mereka sebelumnya, yang menyebut ‘terorisme atau serangan roket tidak terkait’ dengan jatuhnya pesawat dengan nomor penerbangan PS752, tujuan Kiev itu.
Kantor berita pemerintah Iran, ITIB menyebut Kotak Hitam pesawat telah ditemukan. Kotak Hitam memuat data penerbangan yang bisa mengungkap apa yang terjadi pada pesawat sebelum jatuh.
Namun, Kepala Otoritas Penerbangan Sipil Iran, Ali Abedzadeh menegaskan, “tidak akan menyerahkan Kotak Hitam tersebut kepada perusahaan pembuat pesawat (Boeing) atau ke Amerika”.
Sebelumnya, kantor berita ISNA Iran melaporkan bahwa kecelakaan adalah karena kerusakan teknis pesawat. (rh)