Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa 600 warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS yang sudah membakar paspor Indonesia seharusnya tidak bisa pulang ke Indonesia. Meski begitu, Jokowi menegaskan hal tersebut masih akan dibahas dalam rapat terbatas bersama kementerian/lembaga terkait.
“Ya kalau bertanya kepada saya, ini belum ratas ya. Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang ‘tidak’. Tapi, masih dirataskan. Kita ini harus semuanya lewat perhitungan, kalkulasi, plus minusnya, semua dihitung secara detail. Dan keputusan itu pasti kita ambil dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan hitung-hitungannya,” ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2).
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD mengatakan sampai saat ini pemerintah masih belum memutuskan, apakah 600 WNI eks ISIS tersebut akan dipulangkan atau tidak.
Mantan Ketua MK ini menyebut opsi pemulangan maupun tetap dibiarkan di Suriah memiliki risiko masing-masing. Ia menyebut kalau mereka dipulangkan, ini berpotensi menjadi masalah baru di Tanah Air karena dikhawatirkan mereka akan menyebarkan radikalisme di tengah masyarakat. Langkah deradikalisasi pun dikhawatirkan tidak akan ampuh untuk menyembuhkan WNI yang sudah terpapar paham radikalisme itu.
Lanjutnya, jika tidak dipulangkan ke Tanah Air, sebagai WNI mereka masih memiliki hak untuk tidak kehilangan statusnya sebagai warga negara Indonesia. Karena itu, pemerintah sedang mencari langkah terbaik untuk mengatasi permasalahan ini, kata Mahfud.
“Kita sedang mencari formula, bagaimana aspek hukum serta aspek konstitusi dari masalah teroris pelintas batas ini terpenuhi semuanya. Kalau ditanya ke Menkoplhukam, itu jawabannya,” ujarnya.
Meski begitu, senada dengan Jokowi, secara pribadi ia tidak setuju kalau WNI eks ISIS tersebut dipulangkan ke Indonesia. Menurutnya akan berbahaya jika WNI eks ISIS tersebut dipulangkan, dan kalau sudah membakar paspor, secara hukum paspornya bisa dicabut.
“Ketika dia pergi secara ilegal ke sana, itu kan bisa saja. Kita juga tidak tahu kan mereka punya paspor asli atau tidak. Kalau asli pun kalau pergi dengan cara seperti itu, tanpa izin yang jelas dari negara, mungkin paspornya bisa dicabut. Itu artinya dia tidak punya status warga negara. Dan dari banyak negara yang punya Foreign Terorist Fighter (FTF), belum ada satupun yang menyatakan akan dipulangkan. Ada yang selektif, kalau ada anak-anak yatim akan dipulangkan, tapi pada umumnya tidak ada yang mau memulangkan teroris ya,” jelas Mahfud.
Sementara itu pengamat terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib mengatakan bahwa apapun keputusan yang akan diambil pemerintah sangat bergantung pada visi dan misi kebijakan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, opsi dipulangkan atau dibiarkan akan tetap menimbulkan kritik kepada pemerintah Jokowi-Ma’ruf.
Meski begitu, ia percaya bahwa apapun keputusan Jokowi nantinya terhadap permasalahan ini pasti sudah ditetapkan secara matang.
“Apapun yang akan diambil dalam kebijakan pemerintah, ada solusinya. Ditinggalkan ada risikonya, diambil pulang ada risikonya, dan antisipasi risikonya bisa disiapkan, tinggal opsi kebijakan politik Presiden saja yang nanti akan sangat menentukan di ujungnya. Dua-duanya, ya seperti buah simalakama, akan tetap menimbulkan kritik, akan tetap menimbulkan pro dan kontra apapun yang diambil,” ujar Ridwan kepada VOA.
Ditambahkannya, ia tidak yakin bahwa opsi deradikalisasi terhadap WNI eks ISIS tersebut bisa dilakukan. Pasalnya, deradikalisasi ini hanya bisa dilakukan kepada para narapidana yang sudah dipenjarakan.
“Deradikalisasi sebenarnya konsepnya untuk napi, untuk yang sudah dipenjarakan. Nah permasalahannya apakah mereka yang di Suriah itu, ketika pulang ke Indonesia bisa kemudian dimasukkan ke penjara? Jerat hukumnya apa? Apakah kemudian UU terorisme kita bisa menjangkau itu? Kalau bisa, berarti ada sekitar sekitar 400-an napi baru (dikurangi eks ISIS wanita dan anak-anak) yang akan menghuni lapas-lapas di Indonesia. Kalau kemudian mereka sudah dipenjarakan, baru kemudian bisa dijalankan program deradikalisasi itu,” jelas Ridwan. [gi/uh]