“Tidak pernah ada kata cukup,” inilah petikan pernyataan Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Dr Lia Gardenia ketika dihubungi VOA tentang kecukupan sarana dan prasarana kesehatan Indonesia dalam menghadapi wabah Covid-19.
Lia mengatakan berdasarkan data hingga Maret 2020, dari 2.867 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia, 632 diantaranya telah dijadikan sebagai rumah sakit rujukan untuk merawat pasien corona.
Dalam kondisi normal, dari seluruh jumlah rumah sakit itu, ada 276.464 tempat tidur yang tersedia. Tersedia pula 1.243 ruang isolasi, dengan kapasitas total 3.348 tempat tidur. Pada masa pandemi ini, ujar Lia, jumlah ketersediaan tempat tidur dan ruang isolasi itu bisa berkurang dengan signifikan.
Lalu bagaimana dengan ketersediaan mesin untuk membantu pernapasan atau ventilator? Tercatat ada 8.413 ventilator di seluruh rumah sakit Indonesia. Tetapi untuk menghadapi masa pandemi ini, diperlukan sepuluh kali lipat dari jumlah yang ada itu.
PERSI Upayakan Produksi Ventilator Sederhana
Sejauh ini, tambah Lia, pemerintah sudah cukup membantu untuk menyediakan ventilator tersebut, salah satunya dengan cara memproduksi sendiri mesin ventilator itu. Meski begitu ia memperkirakan pemeritah hanya mampu menyediakan lima kali lipat dari jumlah ventilator yang ada saat ini. Hal ini dikarenakan seluruh negara di dunia berupaya sekuat tenaga memproduksi mesin ventilator.
Untuk menyiasati kebutuhan yang sangat mendesak ini, PERSI berusaha membuat mesin ventilator yang lebih sederhana.
“Pemerintah sudah memahami adanya kebutuhan ventilator ini sehingga akan dicarikan jalan bagaimana caranya untuk menambah ventilator. Ventilator itu kan mahal, ventilator yang benar-benar baik untuk di ICU saja harganya satuan Rp600 juta. Kalau butuhnya 10.000 saja kan udah berapa. Kelihatannya yang akan dicoba adalah menggunakan yang produk dalam negeri, tapi akan digunakan terutama yang lebih sederhana bentuknya , gak ventilator yang kompleks yang untuk di ICU,” jelasnya kepada VOA.
Selain ventilator, tambah Lia, alat diagnostik seperti tes molekuler PCR dan jumlah laboratorium yang tersedia pun masih kurang. Dengan terbatasnya alat-alat tersebut, spesimen menjadi semakin menumpuk, pasien juga semakin bertambah banyak, dan upaya memutus rantai penularan menjadi semakin sulit
“Kan maunya memutus rantai penularan. Problemnya adalah diagnostiknya kan lama tuh nunggu dulu. Kalau ngerjain PCR itu cuma lima jam, tapi kalau banyak yang ngantrinya ribuan ya gimana kan jadi kurang,” ungkapnya.
Presiden Sudah Perintahkan Untuk Mempercepat Pemberian Ijin Produksi dan Ijin Impor Bahan Baku
Pemerintah terus berupaya meningkatkan jumlah laboratorium untuk menguji spesimen dan kapasitas pemeriksaan. Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan agar ke depan laboratorium harus mampu menguji 10.000 spesimen per hari.
Kepala Negara juga telah memerintahkan jajarannya untuk mempercepat proses pemberian ijin produksi atau edar kepada perusahaan yang ingin memproduksi alat-alat kesehatan yang dibutuhkan, termasuk ventilator, masker dan APD. Termasuk pemberian ijin impor bahan baku yang cepat dan terintegrasi.
Lia mengakui ketersediaan APD (Alat Pelindung Diri), Lia mengatakan sejauh ini cukup karena bantuan sejumlah pihak. Namun ia menyoroti limbah medis yang dihasilkan dari APD, karena APD digunakan untuk sekali pakai. Satu pasien, kata Lia membutuhkan setidaknya 20 APD. Ke depan ia pun ingin melakukan inovasi dengan membuat APD yang bisa dipakai lebih dari satu kali.
Pasien Terus Bertambah, Kebutuhan Tak Akan Pernah Cukup
Lia menggarisbawahi tidak pernah ada kata cukup dalam menghadapi pandemi ini, apalagi dengan jumlah pasien yang terus menerus bertambah setiap harinya.
“Kalau ditanya apakah masih kurang ya pasti masih kurang sekali. Kalau kita hitungan statistiknya yang diperkirakan orang-orang kan gak bisa mencukupi. Hitungan matematika aja berapa tadi tempat tidurnya, kalau kita hitung orang yang akan kena 20 persen. Berapa 20 persen dari 250 juta penduduk Indonesia? Dua puluh persen itu dibagi lagi nanti, 20 persen yang berat dan 80 persen yang gak berat," paparnya.
"Nah dari 20 persen, lima persen itu diperkirakan berat sekali sehingga dia membutuhkan ventilator, membutuhkan ke ICU, lalu 15 persen ringan sampai sedang. Tapi yang lima persen aja sudah berapa, hitung jumlah kepalanya saja sudah gak masuk akal dengan kondisi yang sekarang,” imbuh Lia.
IDI : Jumlah Dokter dan Perawat Cukup, Tapi Sebarannya Tidak Merata
Sementara itu, Sekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan ketersediaan tenaga medis di seluruh Indonesia masih belum merata. Saat ini ada sedikitnya 184.000 dokter, termasuk di dalamnya 142.000 dokter umum. Sementara jumlah perawat kini mencapai lebih dari satu juta orang. Sesuai ketentuan WHO, jumlah ini sudah sesuai dengan standar jumlah dokter dan perawat yang dibutuhkan suatu negara.
Namun, menurut Adib, jumlah dokter dan perawat ini hanya terkonsentrasi di sejumlah kota besar. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sedianya melakukan pemetaan jumlah tenaga medis yang dibutuhkan sehingga sebaranya dapat merata, tambah Adib.
“Pemerintah pusat harus mendorong pemerintah daerah untuk membuat pemetaan atau mapping kemampuan dari daerahnya, sehingga kalau di daerah ada hal-hal yang kemudian tidak mampu karena SDM atau lainnya jadi harus memaksimalkan kota-kota penyangganya supaya bisa saling support. Jadi pemetaan ini perlu untuk kemudian bisa memetakan kemampuan daripada wilayah atau daerah di dalam mengantisipasi dan menangani Covid-19 ini,” ungkapnya kepada VOA.
Perlu Ada Strategi Operasi Tenaga Medis
Selain soal jumlah, perlu dikaji strategi operasi tenaga medis ini agar senantiasa optimal.
“Setidaknya sekarang pada saat kita bicara harus ada pola pelayanan juga mengatur kemampuan SDM supaya tidak terjadi kelelahan pada mereka. Jadi ada tiga sift yang juga harus dijaga dalam pola pelayanan, yang kedua pada ruang perawatan khusus umpamanya di ruang isolasi maka harus ada pola juga untuk kemudian seperti yang kita lakukan di wisma atlit, ada 14 hari kerja, 14 off yang kemudian di karantina, supaya mereka benar-benar masuk dalam proses karantina juga,” jelasnya.
Senada dengan Lia, Adib mengatakan bahwa seharusnya rumah sakit menjadi garda terakhir dalam penanganan wabah ini. Maka dari itu, selain dibutuhkan kedislipinan dari masyarakat, pemerintah pun harus mampu menyediakan sarana dan prasaran kesehatan yang memadai.
5.923 Orang Terjangkit Corona
Hingga Jumat (17/4) tercatat total penderita virus corona mencapai 5.923. Lalu untuk pasien yang sembuh mencapai 607 orang. Angka kematian pun terus merangkak naik menjadi 520 orang. Sementara untuk jumlah orang dalam pengawasan (ODP) yang mencapai 173.732, dan jumah pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 12.610.
Adapun laboratorium yang sudah siap untuk melakukan pemeriksaan dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction), hingga laporan ini disampaikan baru mencapai 32. Total 40.000 spesimen telah diperiksa. [gi/em]