Tautan-tautan Akses

Data Pemerintah Soal Korban Tewas Akibat Corona Dipertanyakan


Para petugas pemakaman mengusung peti jenazah korban virus corona (COVID-19) untuk dimakamkan, Jakarta, 31 Maret 2020. (Foto: Reuters)
Para petugas pemakaman mengusung peti jenazah korban virus corona (COVID-19) untuk dimakamkan, Jakarta, 31 Maret 2020. (Foto: Reuters)

Banyak pihak menyangsikan data-data terkait COVID-19 yang dikeluarkan pemerintah. Mereka menduga jumlah kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.

Kantor berita Reuters dalam sebuah artikelnya, Selasa (28/4) menyebut, jumlah kematian akibat virus corona di Tanah Air mencapai 2.200. Angka itu jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan pemerintah, yang pada Rabu (29/4), mencatat hanya ada 784 kematian terkait virus itu.

Data yang disodorkan Reuters sebetulnya juga belum tentu benar. Angka itu mencakup jumlah kematian di kelompok pasien dalam pengawasan (PDP) di 16 provinsi di Indonesia. Boleh jadi, tidak semuanya pasien yang meninggal itu terkait dengan virus corona. Atau, artinya,secara administratif, mereka belum tercatat sebagai orang yang terkonfirmasi positif mengidap virus ini.

Ahli Epidemologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengakui adanya kesenjangan data-data itu menduga, sebagian besar PDP yang meninggal namun belum terkonfirmasi positif corona adalah benar mengidap COVID-19. Ia mencontohkan DKI Jakarta pada Maret lalu terdapat 4.200 orang yang sebagian besar dimakamkan dengan protokol COVID-19.

“Nah kecurigaan saya sebagian besar yang dimakamkan dengan protap COVID itu ya kena corona karena dari data yang ada ternyata dari informasi laporan orang yang dimakamkan itu memang orang dengan gejala COVID, dan perawatannya perawatan COVID. Sebagian sudah diperiksa tapi hasilnya belum keluar, jadi gak terlaporkan. Dan sebagian lagi belum sempat diperiksa sudah meninggal dunia. Nah ini yang menyebabkan kita menduga kira-kira kematian yang sesungguhnya itu sekitar minimal empat kali lebih banyak dari yang dilaporkan,” ungkapnya kepada VOA, di Jakarta, Rabu (29/4).

Menurutnya, demi transparansi data, seharusnya pemerintah membuka data PDP yang memang meninggal karena COVID-19, dan PDP yang belum terkonfirmasi positif corona namun sudah keburu meninggal. Pandu menjelaskan, kesenjangan data ini terjadi karena kapasitas untuk melakukan tes PCR yang dimiliki pemerintah masih sangat rendah. Hal tersebut diperparah dengan kelangkaan reagen PCR yang menyebabkan berbagai laboratorium sempat terhenti untuk melakukan deteksi terhadap pasien corona. Dengan begitu, kata Pandu akan sulit mewujudkan target pemerintah untuk melakukan pemeriksaan tes PCR sebanyak 10.000 tes per harinya.

“Kalau PDP yang meninggal harusnya dilaporkan saja, sudah. Yang sudah confirm mati sekian, kan jadi tidak ada dusta di antara kita lagi. Pokoknya ada kendala di masalah tes, salah satu akibat itu adalah satu terjadinya antrian, kemudian layanan terhenti, mungkin saja yang lagi antri sudah keburu mati, ya sudah tidak usah dilanjutkan pemeriksaannya. Karena kita memprioritaskan yang hidup. Yang terjadi seperti itu, kita gak tahu soalnya jadi apakah kaya gitu, karena kan mahal PCR, buat apa periksa yang mati,” jelasnya.

Ketua Umum IDI, Dr. Daeng Muhammad Faqih. (VOA/Fathiyah)
Ketua Umum IDI, Dr. Daeng Muhammad Faqih. (VOA/Fathiyah)

Dugaan serupa dilontarkan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Faqih. Pekan lalu, ia mengatakan jumlah kematian akibat COVID-19 dua kali lipat dari data resmi yang dikeluarkan pemerintah pemerintah.

“Dan ada juga yang saya khawatirkan. Ini ada juga yang statusnya PDP, lalu meninggal gak sempat diambil swab-nya, dan ini bisa terjadi. Karena pemeriksaannya belum bisa banyak ini di Indonesia, dan waktu pemeriksaanya lama, efeknya kan itu, daftar tunggunya kan banyak. Karena daftar tunggunya banyak, dia keburu meninggal mungkin gak sempat di-swab sudah langsung dikubur. Dan penguburunnya itu, tata laksana pasiennya juga sudah dengan perawatan COVID19, penguburannya juga sudah dengan prosedur COVID-19,” ujarnya di Jakarta, Minggu (18/4).

VOA berusaha mengonfirmasi hal ini ke pihak-pihak terkait, namun belum berhasil mendapatkan jawaban. Namun sepekan yang lalu, Juru Bicara Penanganan Kasus Virus Corona Dr Achmad Yurianto menegaskan pihaknya hanya akan melaporkan jumlah kematian pasien yang memang terkonfirmasi positif virus corona.

“Kematian yang saya rilis adalah kematian dari pasien yang konfirmasi positif dari pemeriksaan PCR real time, jumlahnya seperti yang saya sampaikan setiap hari. Tetapi permasalahannya apakah yang mati hanya boleh yang positif, banyak kan kematian penyebab yang lain, apakah kemudian penyebab kematian yang lain itu juga harus kita samakan dengan kematian karena COVID? Kalau tidak, apakah kemudian saya harus menjumlahkan? Saya punya data kematian dari pasien yang belum dinyatakan konfirmasi positif, apakah kemudian saya harus mengatakan bahwa itu juga positif? Karena kematian ini kan setiap hari saya harus laporkan ke WHO,” ujar Yuri sepekan lalu.

Dalam telekonferensi Pers di Gedung BNPB, Jakarta, Yuri kembali melaporkan adanya penambahan kasus baru COVID-19. Pada hari Rabu (29/4) tercatat ada 260 kasus baru, yang menjadikan total kasus menjadi 9.771.


Sebanyak 137 pasien juga dilaporkan sembuh hari ini. Total pasien yang telah pulih dari COVID-19 mencapai 1.391 orang. Namun 11 orang meninggal dunia sehingga menambah total korban tewas menjadi 784 orang.

Jumlah orang dalam pemantauan (ODP) terus bertambah menjadi 221.750 sementara jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi 21.653.

Ia juga menjelaskan bahwa sampai detik ini, sebanyak 89 laboratorium telah aktif melakukan pemeriksaan COVID-19 yang tersebar di seluruh Indonesia. "Sebanyak 48 diantaranya merupakan laboratorium yang tersebar di rumah sakit-rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia," ungkap Yuri.

Selain laboratorium-laboratorium yang ada di sejumlah rumah sakit, sebanyak 15 laboratorium milik perguruan tinggi di seluruh Indonesia juga telah aktif melakukan pemeriksaan sampel terkait COVID-19.

Data Pemerintah Soal Korban Tewas Akibat Corona Dipertanyakan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:09 0:00

Sedangkan 18 laboratorium lainnya adalah jejaring laboratorium yang ada di bawah Kementerian Kesehatan, dan lima laboratorium lainnya adalah jejaring laboratorium kesehatan di daerah.

"Kemudian, tiga laboratorium berada di bawah balai veteriner di bawah Direktorat Peternakan," tambahnya. [gi/ab]

XS
SM
MD
LG