Bagi Sofa Lahjuba, ekspresi gendernya bukan penghalang untuk tetap dekat dengan Sang Pencipta. Transpuan yang aktif di Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) ini bahkan mendorong komunitasnya untuk terus beribadah. Sofa dan sejumlah transgender mengembangkan majelis taklim Al-Ikhlas di Surabaya. “Ada juga teman gay ikut gabung, gantian rumah ke rumah, kota ke kota. Ada kyai pendamping, lancar, tidak ada kritik,” kisahnya.
Sofa, yang lahir dan besar di lingkungan pesantren, bahkan bersilaturahmi dengan pengurus masjid. Dia meminta izin supaya waria bisa mengikuti sholat malam saat bulan Ramadan. “Mereka menyambutnya welcome, apalagi takmir-takmirnya salaman, memperkenalkan diri. Jadi tidak ada yang perlu kita takuti selama kita beretika baik, bersikap baik,” tambahnya.
Transpuan yang sudah menunaikan ibadah haji ini bahkan mendorong rekan-rekannya untuk pergi ke tanah suci. Dia siap membantu mencarikan jasa travel bahkan bantuan dana. "Ayo saya punya kenalan travel yang ramah terhadap waria, kan banyak juga kan travel yang nawarin. Ayo di tempatku nggak apa apa, aku daftarin ke sana,” lanjut Sofa.
Dia berharap, ruang penerimaan agama semakin luas supaya komunitas transpuan bisa terus beribadah. Dia berharap para tokoh agama terus mengupayakan dialog.
Ruang Penerimaan Agama Islam
Keberagaman gender sebetulnya disebutkan dalam literatur klasik Islam, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha’i. Imam mengatakan, sejumlah hadits menyebut keberadaan orang yang terlahir sebagai mutarojilat (perempuan berekspresi maskulin) dan mutakhosinat (laki-laki berkespresi feminin).
"Ada memang ekspresi itu yang terberikan, dari sononya, sejak kecil memang sudah memiliki ekspresi-ekspresi yang berbeda dengan jenis kelaminnya," paparnya dalam sebuah diskusi baru baru ini.
Imam menjelaskan, dalam kitab Faidul Qhodir Syarah Jami’ As Shogir, bahkan disebutkan bawaan lahir itu tidak bisa dicap sebagai dosa.
"Menurut kitab Faidhul Qadir, orang yang diciptakan seperti itu, artinya memiliki ekspresi gender berbeda dari jenis kelaminnya sejak awal, memang given, itu katanya tidak ada dosa dan tidak ada caci maki bagi mereka,” tambahnya.
Sementara peristiwa yang menimpa kaum Luth, yang banyak ditafsirkan untuk menolak LGBT, menurut Imam telah salah dipahami. Dia mengatakan, penduduk Sodom dihukum karena perilaku seksnya, bukan orientasi seks.
Tuhan Ciptakan Manusia dalam Keadaan Baik
Hal senada disampaikan pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Stephen Suleeman, yang mengatakan kisah Sodom dan Gomorah memang sering digunakan untuk menentang LGBT. Padahal, menurut Stephen, dalam Yehezkiel dan Yeremia disebutkan kejahatan Sodom adalah karena keserakahan mereka dan ketidakpedulian terhadap anak-anak yatim dan janda. “Anehnya rujukan Yehezkiel dan Yeremia ini tidak pernah dipakai oleh para penafsir konservatif yang mengutuk kota Sodom sebagai pusat dosa seksual itu,” tandasnya.
Stephen menegaskan, Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan baik. Hal ini berlaku juga bagi individu LGBT. "Itu berarti LGBT pun sebagai ciptaan Tuhan harus diterima sebagai ciptaan yang baik. Kita tidak boleh memusuhi mereka, mengucilkan mereka, dan karena itu kita harus menerima mereka sebagai bagian dari kita," tambahnya yang pernah aktif mengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta ini.
Ardanariswara dalam Hindu
Selain dalam tradisi Abrahamik, keberagaman gender juga nampak dalam agama Hindu. Pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, mengatakan ada pertemuan dua gender dalam Ardanariswara, sosok bersatunya Siwa yang maskulin dan Parwati yang feminin. "Jadi penyatuan antara Siwa dan Parwati bahkan, bagi mereka yang menganutnya sebagai suatu aliran spiritual, dianggap sebagai bentuk kesempurnaan dari realitas atau wujud sejatinya Tuhan, ungkap Saras.
Bersatunya dua entitas itu, tambah Saras, nampak lewat penggambaran sosok Ardanariswara dalam berbagai ikonografi Hindu. Pada 2018, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menerbitkan 'fatwa' yang diskriminatif terhadap LGBT. Meski begitu, ujar Saras, kisah-kisah dalam agama Hindu sangat menghargai keberagaman gender.
"Jadi cerita-cerita itu sudah membentuk pikiran, folklore itu sudah membentuk pikiran, bahwa gender itu nggak cuma laki-laki dan perempuan, tetapi banyak ekspresi atau bahkan orientasi yang berbeda-beda, yang beragam,” pungkasnya. [rt/em]