Mendapati ladangnya dalam keadaan rusak, Marius Betera, petani di Kabupaten Boven Digul, Papua, datang ke kantor PT Tunas Sawa Erma pada 16 Mei 2020. Dia menduga, kerusakan ladangnya terkait dengan ekspansi lahan perusahaan kelapa sawit itu. Marius tidak mendapati orang yang dia cari, namun justru bertemu Brigadir Polisi Melkianus Yowei di depan kantor. Keduanya kemudian bertikai dan beberapa jam kemudian, Marius meninggal dunia di klinik setempat.
Pastur Anselmus Amo, MSC, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Agung Merauke menceritakan, kasus ini terkait dengan alih hak lahan di kawasan tersebut. PT Tunas Sawa Erma adalah anak perusahaan PT Korindo, perusahaan asal Korea Selatan. Korindo memperoleh hak pengelolaan tanah, sementara banyak petani masih mengelola lahan itu dengan tanaman jangka pendek.
“Memang itu Korindo punya hak untuk membersihkan. Tetapi ketika di atasnya ada tanaman, maka dia punya kewajiban untuk menyampaikan kepada pihak yang sudah menanam disitu untuk membereskan tanamannya sebelum dibersihkan. Itu yang tidak terjadi. Makanya korban tidak puas dan datang ke kantor Korindo,” kata Pastur Anselmus.
Pastur Anselmus Amo telah melakukan upaya advokasi kematian Marius Betera sejak awal. Bersama sejumlah aktivis di Papua, dia mendesak penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini.
Empat hari setelah kematian Marius, PT Korindo mengeluarkan pernyataan tertulis yang memuat belasungkawa mereka. Korindo juga berjanji akan bekerja sama dengan masyarakat dan pihak berwenang setempat, melakukan penyelidikan menyeluruh dan teliti untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, perusahaan juga akan membentuk badan konsultatif multilateral yang menjamin partisipasi masyarakat, pemerintah daerah, organisasi lokal, dan LSM. Korindo juga akan bekerja sama dalam penyelidikan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Tanah Adat yang Menghilang
Pastur Anselmus menyebut, ada cukup banyak perusahaan yang memiliki konsesi di Boven Digul dan sekitarnya. Kasus meninggalnya Marius Betera hanya satu dari sejumlah konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat dan perusahaan-perusahaan itu. Semua berpangkal dari peralihan hak tanah adat yang diduga dilakukan tidak sesuai prosedur.
Perusahaan-perusahaan itu menerapkan cara yang sama untuk mengambil tanah adat. Mereka datang bersama pejabat lokal dan aparat keamanan, mengatakan bahwa akan ada perusahaan kelapa sawit membuka usaha.
“Nah, semua itu dikatakan hal-hal yang baik tentang kelapa sawit. Dan nanti kau akan dapat uang, sekian miliar. Namanya masyarakat di kampung, ini kan pemahaman atas informasi-informasi begini kan masih kurang,” tambah Pastur Anselmus.
Kehadiran pejabat lokal dan aparat keamanan juga menjadi tekanan tersendiri bagi masyarakat adat. Seolah-olah ada kewajiban bahwa tanah adat harus dilepaskan, karena jika tidak akan muncul tuduhan bahwa masyarakat tidak mendukung pembangunan. Pastur Anselmus menilai, pihak-pihak itu berperan dalam “pemaksaan” kepada masyarakat adat untuk menyerahkan tanahnya kepada perusahaan.
Anehnya, ketika Pastur Anselmus menanyakan perihal surat perjanjian dan sejenisnya, tokoh adat tidak memilikinya. Saat VOA menanyakan apakah ada upaya memanfaatkan keterbatasan penguasaan informasi masyarakat adat terkait perjanjian semacam itu, Pastur Anselmus tegas menjawab bahwa itulah yang sebenarnya terjadi.
Praktik pengalihan hak kelola tanah adat ini sangat merugikan. Masyarakat adat bergantung kehidupannya dari tanah. Menurut Pastur Anselmus, mengambil tanah mereka berarti merampas masa depan generasi ke generasi masyarakat adat. Lebih buruk lagi, kehidupan komunal masyarakat kini menjadi tergantung pada perusahaan perkebunan. Padahal tidak ada jaminan, perusahaan itu mau bertanggung jawab dalam jangka panjang.
Tuntutan 126 Lembaga
Sebanyak 126 organisasi dan LSM telah mengirim surat kepada dua grup usaha asal Korea Selatan, Korindo Group dan POSCO International. Para aktivis lingkungan, sosial, hukum dan HAM ini meminta kedua grup usaha itu untuk lebih keras mencegah semakin parahnya pelanggaran HAM terkait semua kegiatan usahanya.
Ratusan organisasi ini juga mendukung surat dari masyarakat sipil Indonesia kepada sejumlah pelapor khusus PBB dan Pemerintah Indonesia sendiri, yang mendesak pengusutan tuntas dan transparan kematian Marius. Mereka juga menuntut keadilan dan pemulihan untuk keluarga Marius. Selain itu, aparat keamanan dituntut menjunjung hak-hak masyarakat dan tidak bertindak sebagai lembaga keamanan bagi kepentingan korporasi swasta.
Korindo Group dan POSCO International dituntut menghormati hak asasi manusia semua masyarakat terdampak kegiatan-kegiatan usaha. Kedua perusahaan juga harus memastikan keamanan semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat, pekerja dan organisasi masyarakat sipil, dan bekerja sama dalam penyelidikan dugaan pelanggaran hak atas tanah dan HAM terkait dengan perusahaan itu.
Badan pengawasan publik atau organisasi perlindungan HAM diminta proaktif mengintervensi apa yang terjadi. Sementara kepada semua organisasi dan perusahaan yang mendapat keuntungan dari operasional usaha Korindo dan POSCO, diminta segera mengumumkan komitmen untuk tidak menoleransi pelanggaran hak apa pun dalam rantai pasok atau hubungan investasi. Perusahaan atau organisasi ini juga diharapkan memantau operasi Korindo dan POSCO. Jika perlu, mereka bahkan disarankan menangguhkan hubungan bisnis, jika standar operasional kedua perusahaan di Papua tidak diperbaiki.
VOA Indonesia telah menghubungi Humas PT Korindo untuk meminta tanggapan atas pernyataan tokoh dan isi surat yang dikirimkan organisasi masyarakat dan LSM. Namun tidak ada jawaban yang diberikan hingga laporan ini disusun.
Terjadi Merata di Seluruh Pulau
Tidak hanya di Boven Digul, Papua, peralihan hak tanah adat juga terjadi di sisi barat pulau itu. Feki Yance Wilson Mobalen kepada VOA mengaku, sejak 2016 telah melakukan advokasi masyarakat adat melawan setidaknya empat perusahaan yang beroperasi di kawasan Sorong dan sekitarnya. Feki adalah Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Sorong Raya, Papua Barat.
Masyarakat hingga saat ini tidak memahami kerusakan alam yang muncul akibat pembukaan perkebunan. Lebih jauh Feki menyebut, perusahaan perkebunan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat adat mengenai konsekuensi sebuah surat perjanjian.
“Ketika ada suatu proses perjanjian antara perusahaan dengan marga, dan perjanjian itu ketika ditandatangani bersama-sama lahirlah satu kesepakatan, masyarakat tanpa sadar bahwa wilayah tanah adat yang begitu luas nantinya akan menjadi milik perusahaan. Dia tidak tahu di bagian itu,” kata Feki.
Masyarakat adat berpikir, perusahaan hanya datang sementara waktu saja, dan tanah itu akan kembali pada mereka. Apalagi, ketika datang, pihak perusahaan menyatakan bahwa mereka sudah memiliki ijin dari kementerian terkait. Ketika masyarakat mempertanyakan lebih jauh, perusahaan mempersilahkan mereka untuk menghubungi pihak kementerian. Proses semacam ini, kata Feki, jelas tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat setempat karena berbagai keterbatasan.
Perusahaan, lanjut Feki, juga memanfaatkan konflik internal marga terkait pemanfaatan tanah ini. Dalam sejumlah kasus, konflik itu bahkan sengaja diciptakan. Marga adalah kesatuan keluarga besar yang menguasai tanah adat tertentu. Satu marga bisa terdiri hingga sekitar 30 keluarga atau sekurangnya 100 orang. Di atas marga terdapat subsuku, dan di atasnya lagi suku.
Karena hak penguasaan tanah dimiliki marga, konflik diciptakan di tengah-tengah keluarga besar ini. Feki mengatakan, banyak perusahaan justru tidak berkonflik langsung dengan masyarakat adat, karena memanfaatkan situasi tersebut.
Ketika sudah menguasai lahan, perusahaan membagi lahan menjadi kebun inti dan kebun plasma. Seharusnya, masyarakat mengelola kebun plasma itu dan hasilnya dibeli oleh perusahaan. Namun, kata Feki, perusahaan kembali memegang kendali operasional kebun plasma, melalui koperasi petani plasma. Praktis, masyarakat adat yang sebelumnya sangat tergantung pada hutan dan lahan untuk memenuhi kebutuhan, kehilangan sumber kehidupan.
“Masyarakat adat yang punya tanah adat dan wilayah adat, sebenarnya menjadi terasing di atas wilayahnya sendiri,” lanjut Feki.
Feki dan AMAN Sorong Raya percaya, ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk mengembalikan hak masyarakat atas tanah adat itu. UU 21 tentang Otonomi Khusus Papua menyebut wilayah itu sebagai satu kesatuan wilayah adat. Sementara keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 menyebut, hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat. Karena itu, prinsipnya seluruh hutan di Papua adalah hutan adat dan milik masyarakat adat.
Karena itu, para aktivis ini tidak berhenti untuk mendampingi masyarakat dan meneliti setiap berkas perjanjian. Mereka meyakini, selalu ada peraturan yang dilanggar dan pantas ditanyakan ke pihak perusahaan, mengenai pola mereka merebut tanah adat dan memanfaatkan keterbatasan pemahaman masyarakat. [ns/ab]