Tautan-tautan Akses

Otonomi Khusus Papua Tak Berdampak Signifikan pada Kemajuan Orang Papua


Suasana sebuah pasar di Papua. Perebakan virus corona di Papua, Senin, 13 April 2020, makin memprihatinkan seiring bertambahnya jumlah kasus dan wilayah yang terjangkit. (Foto: Alam Burhanan/VOA)
Suasana sebuah pasar di Papua. Perebakan virus corona di Papua, Senin, 13 April 2020, makin memprihatinkan seiring bertambahnya jumlah kasus dan wilayah yang terjangkit. (Foto: Alam Burhanan/VOA)

Mantan anggota tim asistensi rancangan undang-undang (RUU) Otonomi Khusus Papua 2021, Frans Maniagasi, prihatin karena selama 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus tidak memberi dampak signifikan terhadap kemajuan orang Papua. 

Mantan anggota tim asistensi RUU Otonomi Khusus Papua 2001, Frans Maniagasi, mengatakan ada empat hal penting dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua yang harus segera dibereskan.

"Empat hal mendasar (akar persoalan di Papua). Pertama, meminimalisasi kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, antara orang asli papua dan masyarakat pendatang. Kedua, meminimalisasi kesenjangan pembangunan antara Papua dan wilayah-wilayah lain di tanah air," tutur Frans.

Akar persoalan ketiga adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Yang keempat adalah memberi klarifikasi sejarah penyatuan Papua dengan Republik Indonesia untuk memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hal itu diungkapkan Frans dalam diskusi soal kebijakan strategis Papua bertajuk “Meluruskan Masa Lalu, Menatap Masa Depan” yang digelar oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta pada Senin (29/6) hingga Selasa (30/6) dini hari.​

Dia menegaskan keempat hal tersebut menjadi akar masalah di Papua sehingga muncul cabang-cabang persoalan seperti rasisme dan diskriminasi. ​

Para pengunjuk rasa membawa spanduk-spanduk bertuliskan “Stop intimidasi dan rasismen terhadap orang Asli Papua” dalam unjuk rasa di Manokwari, Provinsi Papua, 19 Agustus 2019.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk-spanduk bertuliskan “Stop intimidasi dan rasismen terhadap orang Asli Papua” dalam unjuk rasa di Manokwari, Provinsi Papua, 19 Agustus 2019.

Frans mengingatkan dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat akan berakhir pada 2021. Saat ini, kedua provinsi tersebut mendapat dana Otonomi Khusus sebesar Rp 68 triliun atau 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.

Kalau itu berakhir, jumlah anggaran kedua provinsi itu hanya Rp 11 triliun karena 99 persen anggaran mereka berasal dari pemerintah pusat. Dia memperingatkan hal ini bisa menimbulkan konflik baru.

Frans menegaskan dirinya sangat prihatin karena selama 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus tidak memberi dampak signifikan terhadap kemajuan orang Papua.

Paradigma Baru Pembangunan Papua

Staf Ahli Bappenas Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi menjelaskan salah satu tonggak perkembangan penanganan isu Papua adalah penerapan Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Oktorialdi menambahkan pelaksanaan otonomi khusus di Papua ini akan berakhir tahun depan, terutama untuk dana otonomi khususnya. Dia menekankan pemerintah ingin mempercepat pembangunan di Papua hingga lima tahun ke depan sesuai diamanatkan oleh Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

Presiden Joko Widodo saat mengunjungi kabupaten Arfak di Papua Barat, 27 Oktober 2019. (Foto: Antara via Reuters)
Presiden Joko Widodo saat mengunjungi kabupaten Arfak di Papua Barat, 27 Oktober 2019. (Foto: Antara via Reuters)

Sesuai arahan Presiden Joko Widodo pada Maret lalu, lanjut Oktorialdi, pemerintah akan melaksanakan evaluasi terhadap penyaluran dan penggunaan dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Pemerintah pusat juga akan membangun semangat, paradigma baru dan cara kerja baru dalam membangun Papua, serta harus terus berkonsultasi dengan semua komponen membahas penyelesaian isu Papua.

Menurut Oktorialdi, hingga 2024 terdapat tiga hal mesti diperhatikan mengenai Papua, yakni percepatan pembangunan, bagaimana pelaksanaan otonomi khusus, serta mendorong transformasi ekonomi dan sektor-sektor ekonomi unggulan yang harus dilakukan.

“Salah satu yang bisa kami garis bawahi adalah proyek-proyek paling besar. Ada paling tidak lima proyek besar yang secara spesifik dilakukan di Papua, yaitu proyek besar di wilayah adat Lapago dan Domberai, kemudian proyek pembangunan PKSN di Merauke dan Jayapura, (proyek jalan) Trans Papua, jembatan udara, dan Kota Baru di Sorong," kata Oktorialdi.

Oktorialdi mengatakan Bappenas telah merumuskan lima kerangka integratif untuk percepatan pembangunan di Papua, yakni sumber daya manusia sesuai konteks Papua, transformasi ekonomi berbasis wilayah adat dari hulu ke hilir, lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Markus Kayoi, ke depan Indonesia akan berhadapan dengan dua isu besar, yaitu melanjutkan otonomi khusus di Papua dan semangat rakyat Papua untuk merdeka. Yang menjadi pertanyaan, lanjutnya, apakah Indonesia harus memilih salah satu atau pemerintah membuka diri dengan semua pihak, baik dengan pihak-pihak yang ingin memerdekakan diri dan kelompok-kelompok yang mendorong otonomi khusus di Papua dilanjutkan.

Para pekerja Freeport di tambang Grasberg di Tembagapura, Papua.
Para pekerja Freeport di tambang Grasberg di Tembagapura, Papua.

Pembukaan dialog ini, kata Markus, sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan MRP Papua dan Papua Barat kepada Presiden Joko Widodo. Dia menegaskan kalau memang pemerintah ingin menyelesaikan masalah maka harus mau berdialog membahas semua persoalan dengan semua pihak.

Markus menyebutkan MRP memiliki sejumlah usulan terkait pembangunan di Papua, yakni pemberdayaan masyarakat.

"Yang pertama ekonomi usaha kecil dan tata niaga, pasarnya. Produksi rakyat itu cukup banyak tetapi bagaimana prosesi sampai ke pasar. Yang jadi masalah, ‘mama-mama’ punya hasil usaha kalau tidak laku siapa yang harus membelinya. Mereka harus pulang lagi bawa barang-barangnya ke rumah," ujar Markus.

MRP juga pernah mengusulkan kebijakan pemerintah terkait tambahan makanan bagi pegawai negeri di Papua, bisa menyertakan umbi-umbian dan sagu. Hal ini bisa membuat hasil pertanian milik rakyat Papua habis terjual.

Otonomi Khusus Papua Tidak Berdampak Signifikan Pada Kemajuan Orang Papua
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:56 0:00

Pemerintah juga harus mendorong masyarakat Papua untuk memanfaatkan lahan mereka miliki untuk ditanami pangan sehingga bisa menghasilkan pendapatan. MRP juga meminta pemerintah membangun sektor kesehatan di kampung-kampung. Salah satunya dengan meningkatkan jumlah kader kesehatan.

MRP juga mengusulkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat di kampung-kampung dengan memberikan pelatihan beragam keterampilan, peningkatan kapasitas lembag-lembaga masyarakat di kampung-kampung, dan pelatihan para motivator.

Markus menjelaskan yang menjadi masalah dalam implementasi otonomi khusus di Papua adalah mekanisme pendanaan bagi masyarakat sipil. [fw/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG