Ali Sastroamidjojo, tokoh yang pernah menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan pejuang empat jaman, serta ikut melahirkan Republik Indonesia, kini sedang diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional. Tim pengusul yang terdiri dari pegiat komunitas sejarah, ormas, wartawan dan peneliti, menilai dibanding junior-juniornya yang pengalamannya di bawah Ali, tokoh kelahiran Magelang tahun 1903 itu jauh lebih layak.
Salah seorang pengusulnya, Hendi Jo menyampaikan hal ini. “Banyak sekali jasa Ali Sastro, terutama Konferensi Asia Afrika idenya dari dia. Jaringan beliau yang sangat luas menjadikan beberapa program luar negeri Indonesia berjalan bagus. Kita selama ini berpikir bahwa orang pertama yang bertemu dengan Fidel Castro adalah Bung Karno, tetapi sebenarnya yang melobi Kuba untuk membuka konsul masing-masing adalah Ali Sastro,” ujarnya.
Ketika dihubungi oleh VOA, sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan bahwa Ali Sastroamidjojo adalah seorang nasionalis. Dalam otobiografinya, "Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat" yang ditulis Cindy Adams, Sukarno beberapa kali menyebut nama Ali Sastroamidjojo sebagai “kawan lama”. Bahkan ketika Bung Karno dan Bung Hatta menyelenggarakan proklamasi kemerdekaan, Ali mendapat kesempatan untuk membacakan pembukaan UUD 1945.
Bagi Ali sendiri nama Sukarno sudah ada di benaknya ketika ia belajar ilmu hukum di Belanda. Namun, ia baru berkenalan secara langsung dengan Sukarno pada akhir 1928 di Yogyakarta, ketika menyaksikan Sukarno berpidato.
Ali Sastroamidjojo masih sangat diingat dan dikenang oleh cucu-cucunya, salah satunya, Tarida Alisastroamijoyo, yang masih menginjak remaja ketika negarawan itu meninggal pada usia 72 tahun.
“Melihat sosok kakek saya, beliau itu sederhana sekali hidupnya, cara berpikirnya. Beliau menulis otobiografi “Tonggak-Tonggak di Perjalananku” sekitar tahun 1972, editornya Gunawan Mohammad. Di dalam buku itu beliau bercerita banyak," tuturnya.
Tarida menambahkan, "Sewaktu (kakek saya) ditugaskan menjadi Duta Besar RI di Washington, DC tahun 1950, ia merasa kantor itu terlalu kecil karena sudah banyak lokal stafnya. Lalu beliau mendengar ada gedung yang akan dijual, yang sekarang menjadi gedung KBRI. Beliau tidak menyangka bahwa dalam negosiasi ittu, ternyata dikasih dengan harga terjangkau. Indonesia yang baru saja merdeka, bisa membeli asset di lokasi itu.”
Dialog sejarah yang diselenggarakan majalah sejarah, Historia itu berlangsung seru dan justru sepertiga dari mereka yang ikut serta adalah generasi muda, seperti dikatakan Pemimpin Redaksi, Bonnie Triyana, “Kami menggunakan media You Tube dan Facebook yang sebagian besar penggunanya pasti anak muda. Jadi memang audience kami 32% usia 16-25 tahun dan 34% sekitar umur 25 sampai 35 tahun, jadi sebagian besar yang menonton anak-anak muda.”
Usul untuk menjadikan Ali Sastroamidjojo sebagai pahlawan nasional, kini sudah diterima oleh Departemen Sosial. Jika disetujui, maka nama tokoh yang selama ini tidak banyak disinggung, namun banyak sumbangsihnya kepada Republik Indonesia itu, sedang menanti untuk diberi anugerah sebagai pahlawan nasional Indonesia yang akan diresmikan pada Hari Pahlawan 10 November tahun depan. [ps/em]