Tautan-tautan Akses

Calon Independen Pilkada Terganjal Persyaratan Berat


Posko Pemenamgan Calon jalur Perseorangan atau Independen di Solo, Bagyo Wahyono- FX Supardjo, Rabu (2/9). (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)
Posko Pemenamgan Calon jalur Perseorangan atau Independen di Solo, Bagyo Wahyono- FX Supardjo, Rabu (2/9). (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Pendaftaran calon di Pilkada 2020 akan dibuka kurang sepekan lagi. Banyak kandidat independen ingin menorehkan sejarah dalam pertarungan kepala daerah. Namun, mereka terganjal persyaratan berat.

Kandidat satu-satunya pasangan bakal calon jalur perseorangan atau independen di Pilkada Solo, Bagyo Wahyono dan FX Supardjo, di pemilihan kepala daerah Solo, Jumat (21/8) pekan lalu, dinyatakan lolos perolehan syarat dukungan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Ketua KPUD Solo, Nurul Sutarti, mengatakan pasangan yang dikenal dengan singkatan populer ‘Bajo’ bisa melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu pendaftaran calon pada 4-6 September ini, bersama dengan kandidat lain dari jalur partai politik.

“Artinya Bajo punya tiket, tapi tergantung pada pasangan tersebut akan mendaftar atau tidak saat proses pendaftaran calon," kata Nurul.

Surat Rekomendasi DPP PDIP untuk pasangan calon Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa di Pilkada Solo 2020. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)
Surat Rekomendasi DPP PDIP untuk pasangan calon Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa di Pilkada Solo 2020. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Ini pertama kalinya dalam sejarah pilkada di Solo, pasangan independen lolos persyaratan. Selama ini, hanya kandidat yang diusung partai politik yang lolos ke tahap pendaftaran calon.

Keberhasilan pasangan independen Bajo di Solo adalah gambaran minimnya pilihan calon indenpenden bagi para pemilih pada pilkada mendatang.

Menurut data KPU, ada 23 pasangan dari jalur independen yang sudah memenuhi syarat dukungan tahap awal untuk pilkada 2020. Sebanyak 73 pasangan lainnya dari hasil verifikasi faktual perbaikan, hanya 47 pasangan yang lolos. Bandingkan dengan 270 lebih calon pasangan yang didukung partai politik. Selain Solo, daerah yang memiliki calon dari jalur independen antara lain Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa timur, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, hingga Papua Barat.

Persyaratan yang berat sering kali menjegal langkah calon independen. Sebagian besar calon independen gagal di proses administrasi dan pemenuhan syarat minimal dukungan.

Untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, misalnya, pasangan cagub-cawagub di daerah dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 0 hingga 2 juta, harus menggalang dukungan minimal 10 persen, DPT 2-6 juta sebesar 8,5 persen, DPT 6-12 juta minimal 7,5 persen, dan 6,5 persen untuk daerah dengan jumlah DPT lebih dari 12 juta.

Untuk pemilihan calon bupati dan wali kota, daerah dengan jumlah DPT 0-250 ribu, syarat minimal dukungannya sebesar 10 persen, DPT 250 ribu hingga 500 ribu sebanyak 8,5 persen, DPT 500 ribu - 1 juta sekitar 7,5 persen, dan 6,5 persen untuk daerah dengan jumlah DPT lebih dari 1 juta.

Syarat minimal dukungan itu masih ditambah dengan persyaratan dukungan itu tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota yang bersangkutan untuk pilgub dan jumlah kecamatan untuk pilbup/ pilwalkot.

Tak Mulus

FX Supardjo, saat ditemui VOA di Posko Pemenangan Calon Independen BAJO, Rabu (2/9), menuturkan pihaknya membutuhkan waktu satu tahun sejak Mei 2019 menggalang dukungan, yang dibuktikan dengan pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP) warga Solo dan surat dukungan bermaterai.

Kandidat bakal calon wakil walikota jalur Perseorangan di Pilkada Solo, FX Supardjo saaat ditemui VOA di Posko Pemenangan, Rabu (2/9). (Foto : VOA/Yudha Satriawan)
Kandidat bakal calon wakil walikota jalur Perseorangan di Pilkada Solo, FX Supardjo saaat ditemui VOA di Posko Pemenangan, Rabu (2/9). (Foto : VOA/Yudha Satriawan)

Bajo diusung ormas Tikus Pithi Hanata Baris dan Panji Hata, yang getol menyuarakan adanya calon dari jalur independen pada pemilihan umum.

Langkah pasangan itu untuk mengumpulkan dukungan tidak mulus. Mereka menghadapi sejumlah penolakan dari masyarakat. Latar belakang mereka juga sempat dipertanyakan. Bagyo Wahyono adalah desainer dan tukang jahit kebaya di rumahnya, sedangkan Supardjo sendiri adalah ketua rukun warga (RW) 007 di Karangturi, Pajang, Laweyan Solo. Dia bekerja sebagai karyawan lembaga pelatihan kerja (LPK) di Kelurahan Pajang.

“Setahun itu bukan waktu yang pendek, lho. Tim kami dari rumah ke rumah mendatangi dan meminta dukungan,” ujar Supardjo.

Mereka sempat juga dilaporkan oleh Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP) terkait temuan dugaan pemalsuan syarat dukungan. Selain itu juga, mereka dituding sebagai ‘calon boneka.”

“Ya, itu proses, dinamika politik. Anggota ormas kami 1.000 lebih di Solo. Kami minta juga anggota kami di luar daerah yang punya keluarga di Solo agar mendukung kami."

Bagyo, usai pleno penetapan pada Jumat ( 21/8), bertekad akan mengalahkan kandidat lain meski rivalnya berasal dari koalisi dan basis pendukung partai politik.

"Saya minta koalisi rakyat untuk mengawal pilkada, secara elegan, sportif, demokratis. Masyarakat bisa memantau kami secara 24 jam terus menerus, karena kita maju secara independen. Ini sangat betul-betul mencetak sejarah baru bagi organisasi kami di Indonesia ini," kata Bagyo.

Persyaratan Berat

Pengamat hukum dari Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Doktor Sunny Ummul Firdaus saat dihubungi VOA, Rabu (2/9) menilai regulasi pencalonan bagi jalur perorangan atau independen jalur perseorangan, berat, dan rawan pemalsuan data.

Pakar Hukum dari Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Doktor Sunny Ummul Firdaus. (Foto: Courtesy/Humas UNS Solo)
Pakar Hukum dari Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Doktor Sunny Ummul Firdaus. (Foto: Courtesy/Humas UNS Solo)

Pasalnya, menurut Sunny, persyaratan itu dibuat oleh partai politik. Pasangan jalur perseorangan yang ingin maju butuh dukungan dan anggaran yang besar. Calon jalur independen yang memiliki tingkat popularitas tinggi, imbuh Sunny, biasanya justru diajak bergabung oleh partai politik.

"Syarat calon perseorangan akan mudah jika sudah memiliki popularitas, tidak butuh modal banyak. Kalau regulasi calon perseorangan dilonggarkan dan peluang lolos naik ini akan mengurangi eksistensi partai politik," ujar Sunny.

Kondisi menciptakan kompetisi yang tidak sehat karena mengakibatkan maraknya calon pasangan pilkada berhadapan dengan ‘kotak kosong’ alias calon tunggal.

"Wah, jangan sampai dong ada kotak kosong. Bagaimana kalau diciptakan pasangan calon lain biar tidak terjadi kotak kosong, dan pasangan lain itu diupayakan jangan sampai menang. Apakah ini termasuk kompetisi yang sehat?" kata Sunny.

Sunny menambahkan pilkada akan jauh lebih menarik, bila calon perseorangan bisa mendapat porsi yang sama besar dengan calon-calon yang didukung partai politik.

“Masyarakat punya banyak alternatif pilihan di Pilkada,” ujarnya. [ys/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG