Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mencatat mayoritas kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah pandemi virus corona hingga saat ini masih berupa pengumpulan massa, meski telah ada komitmen dari semua pihak untuk tetap memprioritaskan protokol kesehatan.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan lembaganya menemukan 256 dari 270 daerah yang menggelar pilkada tahun ini atau 95 persen, masih menyelenggarakan kampanye tatap muka. Hanya lima persen sisanya yang menggelar kampanye secara daring.
Tak heran jika pelanggaran paling banyak adalah tentang protokol kesehatan.
“Karena apa? Karena memang di undang-undang masih memungkinkan, bahwa PKPU hanya mengatur, membatasi. Tetapi ini potensinya adalah melanggar ketentuan jumlah peserta,” kata Abhan yang memaparkan data itu dalam seminar Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (27/10), bertema “Pilkada Serentak dan Antisipasi Penyebaran Covid-19."
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan para calon kepala daerah sepakat tetap menyelenggarakan pilkada sesuai jadwal pada 9 Desember. Para pihak bergeming meski para pakar, terutama epidemiolog, tak henti-hentinya mengingatkan bahwa pilkada berpotensi meningkatkan penularan Covid 19. Karena itu, kampanye massa diharapkan tidak diselenggarakan, diganti melalui sistem daring.
Data tersebut menunjukkan komitmen dan rekomendasi pakar lewat bersama angin.
Menurut Abhan, ada sejumlah faktor yang mengakibatnya minimnya kampanye daring. Pertama, baik pasangan calon maupun pemilih belum terbiasa dengan sistem daring. Kedua, tidak semua masyarakat sebagai pemilih akrab atau memiliki gawai untuk mengakses kampanye daring. Faktor lain adalah tidak semua daerah memiliki akses internet yang bagus.
Baru pada tahun inilah, pasangan calon yang berlaga tidak bisa mengumpulkan massa dalam jumlah banyak ketika berkampanye. Tentu tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah mewarnai sistem demokrasi di Indonesia itu.
Abhan menambahkan, sejauh ini, Bawaslu sudah mengeluarkan sekitar 300-an surat peringatan dan sekitar 80 kali pembubaran kampanye sebagai respons terhadap berbagai pelanggaran penyelenggaraan kampanye.
Kerumunan Tingkatkan Keyakinan
Bukan tanpa alasan jika para pasangan calon bersikeras menggelar kampanye tatap muka dan mengabaikan saran untuk menghindari kerumunan.
Dr Andik Matulessy, dari Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, ada tiga teori yang bisa menjelaskan tren itu.
Teori pertama, kata Andik, adalah teori social fasilitation. Menurut teori ini keberadaan orang lain bisa meningkatkan performa. Teriakan dukungan menjadi penyemangat yang memotivasi, sehingga seakan-akan para calon mendapatkan persetujuan dari massa dalam jumlah besar.
"Karena keberadaan orang lain yang banyak, dukungan yang banyak, dianggap sebagai persetujuan, meningkatkan kepercayaan diri dan seakan-akan dia didukung oleh sebagian besar orang, dan kemungkinan besar akan menang,” kata Andik dalam seminar yang sama.
Andik menggambarkan fenomena itu seperti laga sepak bola. Tanpa penonton di stadion, penampilan para pemain sepak bola tidak akan sebaik ketika pertandingan dihadiri ribuan orang.
Kajian kedua adalah contagion theory atau teori penularan. Dalam teori ini, papar Andik, seseorang yang berada di tengah kerumunan akan lebih mudah diarahkan untuk mengambil pilihan tertentu dengan sangat cepat. Andik menggambarkan ini seperti pola marketing, yaitu memberi sugesti kepada sekelompok kecil orang yang masing-masing diharapkan akan menularkan sugesti itu ke kelompok lain.
Teori ketiga adalah teori solidaritas. Menurut Andik, kerumunan banyak orang bisa menghadirkan kesadaran bersama atau kolektif. Pengaruh mudah ditanamkan pada kerumunan, sehingga yang sebelumnya belum memastikan pilihan, bisa menjadi yakin.
“Harapannya kalau mengundang banyak orang, yang sebelumnya sedikit suka atau agak suka, kemudian menjadi suka dan memilihnya,” kata Andik.
Belajar dari Negara Tetangga
Epidemiolog UGM, Dr Riris Andono Ahmad, menyebut Indonesia bisa belajar penyelengaraan pilkada dari negara tetangga. Malaysia menyelenggarakan pilkada di Sabah, yang kemudian memicu lonjakan kasus Covid-19.
“Malaysia cukup dipandang karena mereka berhasil mengontrol laju epidemi dengan sangat efektif. Peningkatan hanya terjadi Maret sampai Mei, setelah itu sangat datar. Tetapi begitu ada pemilihan pada September, terjadi peningkatan luar biasa,” ujar Riris.
Indonesia harus mau belajar karena pengendalian pandemi yang dinilai tidak efektif dibanding Malaysia, Singapura, apalagi dengan Vietnam. Peningkatan kasus menjadi risiko besar yang harus dipahami. Seperti Indonesia, Malaysia juga mensyaratkan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Namun, dalam pelaksanaannya peserta kampanye tidak patuh.
Ketika pembatasan diberlakukan, biasanya terjadi protes. Pengalaman di Indonesia membuktikan, ketika ada protes, cenderung muncul kompromi.
“Singapura bisa menjadi pembelajaran juga, karena mereka menerapkan kampanye yang tidak tradisional, dan oposisi menyatakan bentuk itu memberikan benefit bagi mereka,” tambah Riris.
Jika pilkada tetap dilaksanakan pada Desember, Riris merekomendasikan penerapan protokol kesehatan lebih ketat. Selain itu, pemilih menghindari pemakaian satu benda secara bersama-sama.
Jalan keluar lain adalah memperbanyak tempat-tempat pemungutan suara (TPS) untuk menekan kerumunan, mengatur jadwal pemilih, dan menambah alternatif metode pemilihan, seperti dengan surat, secara online atau kotak suara keliling. [ns/ft]