Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk melarang Front Pembela Islam (FPI) beraktivitas dan penggunaan atributnya. Dasar keputusan itu adalah fakta FPI tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), karena mereka tidak memperpanjangnya. Ada enam pihak yang menandatangani SKB itu, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menkum HAM, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT.
Di mata pakar hukum tata negara UGM Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, keterlibatan enam pihak itu sebenarnya tidak perlu. Justru dengan demikian, pemerintah seolah menampakkan FPI sebagai organisasi yang begitu penting di negara ini.
“Kalau memang mau keukeuh dengan UU Ormas, kenapa tidak pakai UU Ormas saja. Pakai logikanya Kemendagri yang keluarkan surat. Jadi, yang membuat FPI menjadi penting itu negara. Yang membuat orang curiga, orang khawatir, orang melihat negara ketakutan, itu negara sendiri yang mempertontonkan,” kata Zainal.
SKB Tak Bubarkan FPI
SKB memang memungkinkan dibuat, lanjut Zainal, ketika memang ada keputusan yang akan diambil dan melibatkan berbagai kelembagaan secara kolektif. Dalam kasus FPI ini, Zainal justru mempertanyakan urgensi enam lembaga itu berkumpul dan membuat surat kesepakatan.
Surat itu juga dibacakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang justru tidak ikut menandatanganinya. Kementerian itu, sebenarnya juga tidak memiliki korelasi dengan persoalan izin organisasi FPI, karena semua ada di bawah Kemendagri.
Surat ini, kata Zainal, juga tidak bisa dianggap bisa menjadikan FPI bubar.
“Untuk dinyatakan dibubarkan, tidak bisa serta merta. Perizinan punya logika yang berbeda,” tambah Zainal.
Zainal memaparkan pendapatnya dalam Kuliah Bersama Rakyat seri 34 yang diselenggarakan Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law, Rabu (6/1) sore.
Pengadilan Semestinya Ditempuh
Berbicara pula dalam acara ini, Rifqi Assegaf, akademisi STH Indonesia Jentera. Hampir senada dengan Zainal, Rifqi juga memandang pendekatan masalah FPI dapat menggunakan UU Ormas, dimana negara memiliki kewenangan menghentikan kegiatan suatu organisasi. Namun, langkah itu disertai catatan, dalam konstruksi UU Ormas, penghentian kegiatan itu hanyalah tahapan dari sanksi administratif.
“Jadi kasarnya begini, kalau ada organisasi bermasalah, maka bisa ditegur. Kalau ditegur masih ngeyel bisa diberhentikan kegiatannya. Masih ngeyel, dicabut, apakah status badan hukumnya ataupun SKT-nya,” kata Rifqi.
Dijelaskan kemudian, penghentian kegiatan dalam konstruksi UU Ormas, diterjemahkan sebagai kebaikan negara untuk tidak langsung mencabut badan hukum atau SKT, karena ada dalam tahapan proses administrasi. Secara hukum, lanjut Rifqi, tidak dimungkinkan pula adanya tindakan lanjut dari negara untuk membubarkan kegiatan sebuah organisasi yang sudah dilarang.
“Yang mungkin dilakukan negara kalau ada organisasi sudah dilarang tetapi melakukan kegiatan, negara tidak akan bisa membubarkan kegiatanya, tetapi bisa mencabut SKT atau status badan hukumnya,” kata Rifqi.
Namun, dalam soal melarang sebuah organisasi berkegiatan, para pakar hukum dalam diskusi ini sepakat bahwa tidak ada dasar hukum atas tindakan itu. Rifqi menggarisbawahi, dalam berbagai konstruksi hukum hak asasi, beberapa konvensi internasional mendorong pemanfaatan proses pengadilan untuk pembatasan organisasi. Menurutnya, itu adalah langkah yang masuk akal.
Proses Hukum yang Layak
Pandangan senada disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Agus Riewanto. Penghentian FPI telah dilakukan hanya berdasar UU Ormas, dan tanpa menggunakan due process of law atau proses hukum yang semestinya.
“Problemnya due process of law itu tidak ada dalam UU Ormas. Kita semua alpa mengontrol atau karena bandelnya pemerintah, UU Ormas yang revisi terbaru itu meng-exclude aspek due process of law. Maka tugas kita sebenarnya mengawal bagaimana proses pembubaran Ormas ini dengan due process of law dan mengembalikan aspek itu di dalam UU yang sekarang tidak ada,” kata Agus.
Ketiadaan proses hukum yang semestinya dalam proses pembubaran Ormas, bisa jadi adalah sebuah kesengajaan. Dengan demikian, kata Agus ketika pemerintah akan melakukannya, dia bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan pandangan sendiri, mengenai apa yang ditulis dalam hukum administrasi UU Ormas.
Larangan Atribut Problematik
Pelarangan atribut, seperti baju, bendera atau benda lain terkait FPI pun dinilai tidak memiliki dasar hukum yang benar. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Dhia Al Uyun menyebut, dalam SKB terkait FPI, adalah masalah paling mendasar, yaitu dalam butir 3.
Dalam butir 3 tersebut dituliskan: Melarang dilakukannya kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketidakjelasan akan berbuntut panjang, terutama terkait atribut FPI. Jika ada seseorang di jalan atau di suatu tempat menggunakan pakaian atau baju dengan atribut FPI, apa yang akan dilakukan negara.
“Dan saya yakin kalau yang pakai baju FPI akan sangat beragam perlakuannya, bisa saja ditangkap bisa yang lain, beragam sekali karena tidak ada kepastian hukum di dalamnya,” kata Dhia.
Dalam praktiknya, lanjut Dhia, jika ada sekumpulan orang, yang saat ini kabarnya akan membentuk organisasi baru, kemudian akan melakukan kegiatan tertentu, pemerintah pasti akan melarang. Dhia mempertanyakan dasar hukum yang digunakan untuk melarang orang-orang ini berkegiatan. Menurutnya, harus ada pasal yang jelas melarang, dalam sebuah undang-undang, yang kemudian bisa dijadikan dasar agar larangan itu bisa ditegakkan.
Pembicara lain dalam diskusi ini juga menyinggung penerapan keputusan ini di lapangan. Misalnya, jika aparat menemukan seseorang memakai baju FPI, apakah orang itu akan langsung dipaksa untuk melepaskannya. Sesuatu, yang menurut para akademisi hukum, justru dapat dipersoalkan secara hukum. [ns/ab]