Pemerintah Malaysia akan memulangkan 1.200 migran Myanmar pekan depan meskipun ada kudeta militer di negara asal mereka, tetapi memastikan tidak akan menyertakan para pengungsi Muslim Rohingya atau mereka yang terdaftar di Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR).
Meski demikian, UNHCR, Selasa (16/2), menyuarakan keprihatinan bahwa kemungkinan ada perempuan dan anak-anak yang rentan di antara kelompok itu. Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, ditahan ketika militer merebut kekuasaan pada 1 Februari, sehingga memicu aksi protes besar-besaran di negara itu.
Kepala imigrasi Malaysia, Khairul Dzaimee Daud, mengatakan dalam sebuah pernyataan Senin malam (15/2) bahwa para tahanan akan dideportasi pada 23 Februari dengan menggunakan kapal Angkatan Laut Myanmar.
Ia mengatakan 1.200 migran Myanmar itu ditahan karena sejumlah pelanggaran, termasuk tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah, melampaui batas izin tinggal, dan melanggar izin kunjungan sosial mereka.
“Tidak ada pemegang kartu UNHCR atau etnis Rohingya yang disertakan dalam pemulangan tersebut. Itu hanya bagian dari program biasa untuk mendeportasi imigran dari depo-depo tahanan kami,'' kata Khairul Dzaimee.
Departemen itu mengatakan Malaysia memulangkan 37.038 migran tahun lalu, termasuk 3.322 dari Myanmar. Jumlah ini turun dari 59.114 pada 2019, karena banyak negara menutup perbatasan mereka terkait pandemi COVID-19, tambahnya.
UNHCR mengatakan badan itu telah dilarang mengakses pusat-pusat penahanan imigrasi Malaysia sejak Agustus 2019 dan tidak dapat memverifikasi siapa yang membutuhkan perlindungan.
“Kami prihatin bahwa masih ada sejumlah orang yang ditahan di Malaysia, termasuk perempuan dan anak-anak yang rentan, yang mungkin membutuhkan perlindungan internasional tetapi klaimnya belum diverifikasi sehingga tidak memiliki dokumentasi UNHCR yang diperlukan,'' kata UNHCR.
“Jika ternyata membutuhkan perlindungan internasional, orang-orang ini tidak boleh dideportasi ke situasi di mana kehidupan atau kebebasan mereka mungkin terancam,'' katanya.
Malaysia menampung sekitar 180.000 pengungsi dan pencari suaka PBB, termasuk lebih dari 100.000 Rohingya dan kelompok etnis Myanmar lainnya.
Lebih dari 700.000 orang Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak Agustus 2017, ketika militer melancarkan operasi pembersihan etnis sebagai tanggapan atas serangan sebuah kelompok pemberontak. Pasukan keamanan dituduh melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah. [ab/uh]