Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) hari Jumat (26/2) mengumumkan rencana pembentukan komite etika berinternet yang bertujuan untuk mendorong penataan di ruang digital yang lebih sehat. Sebelumnya juga marak diskursus pembentukan virtual police untuk mengawasi perilaku netizen di dunia maya.
Dalam konferensi pers virtual, Menteri Kominfo Johnny G. Plate mengatakan pembentukan komite itu merupakan bagian dari arahan Presiden Joko Widodo 15 Februari lalu agar dunia maya Indonesia menjadi lebih “bersih, sehat, beretika, penuh sopan santun, bertata krama, produktif dan mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.”
Johnny G. Plate juga menyebut hasil survei digital Microsoft yang menilai netizen Indonesia memiliki tingkat keberadaban (civility) yang rendah. Dari 32 negara yang disurvei, Indonesia ada di peringkat 29 atau yang terburuk di Asia Tenggara.
Tingkat keberadaban netizen ini diukur dari persepsi netizen terhadap risiko yang mereka dapatkan di dunia maya, misalnya dari penyebarluasan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian atau hate speech, diskriminasi, misogini, cyberbullying, trolling atau tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, micro-aggression atau tindakan pelecehan terhadap kelompok marginal (kelompok etnis atau agama tertentu, perempuan, kelompok difabel, kelompok LGBTQ dan lainnya) hingga ke penipuan, doxing atau mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan di dunia maya guna mengganggu atau merusak reputasi seseorang, hingga rekrutmen kegiatan radikal dan teror, serta pornografi.
Monetisasi Platform Media Sosial
Diwawancarai melalui telepon Jumat malam (26/2), pakar komunikasi dan digital media di Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan mengatakan memahami rencana pembentukan komite etika berinternet ini karena “media digital, khususnya media sosial, hari-hari ini semakin tidak nyaman untuk berelasi atau menjadi bagian dari medium komunikasi.
Media sosial yang pada awalnya dirilis untuk memudahkan berkomunikasi, mencari informasi dan berbisnis misalnya, kini semakin lama lebih menonjolkan aspek bisnisnya. Misalnya saja YouTube yang kini mendorong pengguna untuk memiliki subscriber yang banyak atau Twitter, Facebook, Instagram yang mendorong pengguna memiliki followers-nya sebanyak-banyaknya, yang kemudian akan menarik pemasang iklan dan menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pemilik akun dan pengembang platform.
Platform media sosial ini lebih menonjolkan dimensi ekonomi sehingga berlomba-lomba menjadikan wahananya menjadi tempat menghasilkan uang, dan kadang-kadang dalam perlombaan itu terjadi kompetisi yang tidak sehat dan persoalan etika serta kenyamanan pengguna dilupakan.”
Penetrasi Internet Tinggi, Etika Tak Dijaga
Survei Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia tahun 2020 menunjukkan ada 196,7 juta orang di Indonesia yang menggunakan internet, atau berarti 73,7 persen dari total penduduk. Angka ini naik 8,9 persen atau sekitar 25,5 juta dibanding periode yang sama tahun lalu. Sebagian besar menggunakan internet untuk berselancar di media sosial dan berkomunikasi.
Namun sebagaimana Menkominfo Johnny G. Plate, “sayangnya penggunaan ruang digital yang sedemikian masif, belum diikuti dengan perilaku pemanfaatan ruang digital yang beretika.”
Itulah sebabnya pembentukan komite etika berinternet dinilai perlu. Komite ini, menurut Johnny G. Plate, akan memiliki dua tugas utama yaitu “merumuskan panduan praktis terkait budaya serta etika berinternet dan bermedia sosial, yang berlandaskan pada asas kejujuran, penghargaan, kebajikan, kesantunan, dan penghormatan atas privasi individu lain dan data pribadi individu lain;” dan mendorong pelaksanaannya bersama seluruh pihak.
Pemerintah Diminta Juga Atur Perusahaan Medsos
Firman Kurniawan memuji langkah cepat ini, tetapi menilai pedoman seharusnya tidak saja dibuat untuk memagari netizen atau pengguna internet, khususnya media sosial, tetapi juga perusahaan teknologi raksasa dan pemilik platform media sosial.
“Kalau menurut saya, perusahaan teknologi raksasa dan pengembang platform, sebut saja Facebook, YouTube, Twitter, Instagram dan bahkan yang terbaru Clubhouse, harus juga dikenai aturan negara. Misalnya Facebook, yang sekarang tidak ada bedanya dengan stasiun televisi kita (RCTI, SCTV, Metro dll) yang diikat oleh aturan dari Komisi Penyiaran Indonesia KPI. Atau medium film-film kita yang diikat oleh Lembaga Sensor Film, dan seterusnya. Jadi setiap medium itu ada pengawas dan aturannya, baik untuk urusan konten, maupun monetisasinya,” jelasnya.
Ditambahkannya, saat ini seperti terjadi “kegagapan” di pihak otorita berwenang menghadapi perkembangan platform media sosial yang luar biasa cepatnya. Walhasil yang banyak disasar, menurut Firman, adalah para pengguna. “UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE itu menyasar publik, tetapi bagaimana dengan penyelenggara platformnya?.”
Merujuk beberapa kejadian yang berkelindan dengan peran platform media sosial, seperti kerusuhan di gedung Kongres Amerika 6 Januari lalu atau berita hoaks soal kecurangan pemilu di beberapa negara, Firman mengatakan platform media sosial sebagai perangkat, tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan.
Menurut Firman, ada aspek struktural yang melekat pada platform, yang ketika digunakan seoptimal mungkin, kadang-kadang ada penyimpangan atau distorsi.
"Ketika platform mencatat aktivitas kita, disebut sebagai digital path dan mengumpulkan datanya sebagai algoritma, yang kemudian digunakan untuk mem-profiling perilaku orang. Perangkat ini digunakan untuk dalam tanda kutip 'memanipulasi pengguna platform yang bersangkutan agar berperilaku yang menguntungkan pengembang platform, dalam arti meraih iklan'," jelasnya.
"Soal apakah cara itu beretika atau tidak, tidak terlalu diperhatikan. Yang penting orang bisa memonetisasi dan menguntungkan pengembang platform, itu saja. Nah giliran kita menagih tanggung jawab para pengembang platform ini,” jelasnya. [em/es]