VOA – Dua dari delapan tahanan Polsek Sunggal yang ditangkap karena kasus perampokan bermodus polisi gadungan pada 8 September 2020, yakni Joko Dodi Kurniawan dan Rudi Efendi tewas, diduga setelah disiksa oknum aparat kepolisian. Pada hari Rabu (10/3) polisi membongkar kuburan Joko Dodi Kurniawan untuk mencari bukti penyebab kematiannya. Sedangkan, kuburan Rudi Efendi tidak dilakukan pembongkaran karena pihak keluarganya menolak untuk diautopsi.
Joko selama ini diyakini meninggal dunia karena penyiksaan ketika berada di dalam tahanan Polsek Sunggal. Hal tersebut dikatakan Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Irvan Saputra.
“Pihak dokter forensik melakukan pembedahan untuk memeriksa mayat tersebut terkait adanya dugaan tindak pidana penyiksaan di Polsek Sunggal, yang mengakibatkan kematian salah satu korban yaitu Joko Dedi Kurniawan. Adapun yang dilakukan pemeriksaan itu bagian kepala, yang diambil sampel yaitu otak kecil dan besar,” katanya, Rabu (10/3).
Dugaan Joko disiksa di dalam tahanan Polsek Sunggal bukan tanpa alasan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh LBH Medan dari keluarga Joko, ada kejanggalan di beberapa bagian tubuhnya.
“Kepala bengkak atau benjolan mengeluarkan darah yang mengering, serta bagian dada membiru. Informasi dari keluarga dan korban, kalau dia meninggal bukan karena sakit. Laporan dari keluarga korban itu mereka disiksa di tahanan Polsek Sunggal. Tapi mereka tidak menyebut siapa yang menyiksa. Itu berulang kali dilakukan dengan modus penyiksaan di tahanan,” sebutnya.
Lebih lanjut, Joko beberapa kali sempat menyampaikan bahwa dirinya menjadi korban penyiksaan di dalam tahanan. Bahkan Joko mengeluh tidak sanggup lagi menahan penyiksaan yang dialaminya.
“Korban berulang kali menyampaikan bahwa dia tidak tahan lagi karena disiksa dan dipukuli terus. Tapi korban enggak berani memberitahu siapa yang melakukannya,” ungkap Irvan.
Saat ini LBH Medan sedang menunggu hasil autopsi mayat Joko sehingga ada titik terang soal penyebab kematiannya.
“Harapan ke depan ini ditingkatkan ke penyidikan dan perkara ini ditindaklanjuti. Kami yakini ini dugaan penyiksaan dan ketika hasil dari forensik keluar adanya tindak pidana kekerasan itu harus segera untuk menentukan siapa pelakunya. Ketika sudah dapat pelakunya segera dilakukan penegakan hukum untuk diadili,” ucap Irvan.
Diwawancara secara terpisah, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan telah mendapat laporan terkait dugaan kasus penganiayaan terhadap tahanan di Polsek Sunggal yang berujung dengan kematian.
“Kami hari ini diundang tapi tidak bisa kirim staf karena ada kendala soal Covid-19. Kami diundang untuk menghadiri pembongkaran mayat tapi kami tidak bisa hadir,” kata Taufan.
Dugaan Penyiksaan Tahanan Juga Dilaporkan di Balikpapan dan Solok Selatan
Lanjut Taufan, kasus dugaan penyiksaan terhadap tahanan yang berujung kematian bukan hanya terjadi di Medan. Saat ini kasus serupa juga terjadi di Balikpapan, dan Solok Selatan. Bahkan kasus dugaan penyiksaan yang berujung kematian di dua daerah itu telah menetapkan beberapa oknum polisi sebagai tersangka.
Untuk kasus dugaan penyiksaan di Polresta Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 2 Desember 2020. Enam polisi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menganiaya Herman hingga tewas saat proses interogasi. Sedangkan, di Solok Selatan, Sumatera Barat, satu oknum polisi berpangkat Bripka dijadikan sebagai tersangka usai menganiaya hingga tewas seorang buronan judi bernama Deki Susanto. Polisi itu menembak Deki tepat di bagian kepala, Rabu 27 Januari 2021.
Benang Kusut Internal Polri
Menurut Komnas HAM, kasus penyiksaan tahanan oleh oknum polisi merupakan “benang kusut” internal Polri.
“Ini sudah lama kami jadikan bahan untuk selalu koordinasikan dengan kepolisian. Kapolri yang baru mengakui itu masih menjadi masalah di internal mereka, karena itu ada beberapa hal yang ingin diperbaiki,” ujarnya.
Komnas HAM mendorong agar kepolisian memperkuat prosedur operasional standar dalam penanganan kasus ketika menginterogasi para tahanan agar tidak ada lagi aparat yang melakukan tindakan sewenang-wenang. Salah satunya, menyediakan kamera pengawas di setiap ruang tahanan yang ada di kantor kepolisian.
“Kami mengusulkan supaya setiap kepolisian sampai tingkat paling rendah harus ada kamera pengawas. Kasus di Balikpapan itu tidak ada kamera pengawas, sehingga tidak ada yang mengawasi, itu satu contoh misalnya kami dorong untuk memperbaikinya,” ungkap Taufan.
Polri juga diminta untuk mengubah kurikulum pendidikan guna memperbaiki budaya setiap anggota polisi, terutama saat berhadapan dengan para tahanan agar tidak ada lagi kasus penyiksaan yang berujung kematian.
“Sebenarnya sudah lama di kepolisian ada keinginan yang kuat untuk mengubah pendekatan itu. Tapi masih ada polisi yang menggunakan cara lama yaitu penyiksaan terhadap tahanan. Itu diakui oleh polisi, dan mereka bersedia bekerja sama dengan Komnas HAM itu memperbaikinya. Baik dari sistem kurikulum pendidikannya, kemudian untuk membenahi instrumen-instrumen pendukung dari kepolisian,” jelas Taufan.
LBH Ungkap Extra Judicial Killing
Beberapa waktu lalu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan temuan terkait extra judicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum. Temuan YLBHI menyebut bahwa pembunuhan sewenang-wenang di luar proses hukum didominasi dilakukan oleh militer dan polisi.
Extra judicial killing merupakan pelanggaran terhadap hak hidup yang telah dijamin oleh konstitusi pada Pasal 28 A dan Pasal 9 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, pada faktanya kasus pembunuhan di luar proses hukum masih terjadi. [aa/em]