Juru bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmidzi mengungkapkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang ditemukan pasca penyuntikan vaksin AstraZeneca masih termasuk ringan.
Untuk itu, pemerintah akan melanjutkan program vaksinasi COVID-19 dengan AstraZeneca karena vaksin tersebut dinilai lebih besar manfaatnya daripada risikonya.
“Tidak ditemukan adanya KIPI yang berat pasca penyuntikan vaksin AstraZeneca ataupun keluhan yang kita ketahui,” ungkap Nadia dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Selasa (30/3).
Berdasarkan laporan yang diterimanya, kata Nadia, efek samping penyuntikan vaksin AstraZeneca hanya terjadi pada 1-10 persen penerima vaksin. Keluhan yang disampaikan antara lain demam di atas 38 derajat celcius, bengkak, serta adanya rasa sakit pada tempat suntikan.
“Sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa vaksin ini lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan risikonya,” tegasnya.
Nadia melanjutkan, 1,1 juta dosis vaksin AstraZeneca yang didapatkan pemerintah Indonesia lewat fasilitas COVAX saat ini telah didistribusikan ke tujuh provinsi, yakni Bali, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Maluku, dan DKI Jakarta.
AstraZeneca di Sulut Dilanjutkan
Pada kesempatan yang sama Ketua Komisi Nasional (Komnas) KIPI, Hendra Irawan Satari, mengungkapkan pihaknya telah menerima laporan dari Komisi Daerah (Komda) KIPI di Sulawesi Utara yang mengalami KIPI, seperti menggigil, demam dan pegal pasca disuntik vaksin AstraZeneca.
Akibat keluhan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Utara menghentikan sementara pemberian vaksin itu. Namun, setelah dilakukan investigasi, observasi dan berdasarkan data yang ada diketahui bahwa empat orang yang mengalami KIPI tersebut termasuk ringan.
Selain itu, kata Hendra, KIPI yang terjadi dalam kasus ini diakibatkan oleh kecemasan. Menurutnya, KIPI tidak selalu berkaitan dengan kandungan vaksin, tetapi bisa juga berkaitan dengan kecemasan.
Hendra mengatakan hampir semua penerima vaksin yang mengalami KIPI sudah sembuh saat pihaknya melakukan audit.
“Kemudian kami melaporkan ke Bapak Menkes dan Wamenkes karena kami mengeluarkan rekomendasi bahwa KIPI yang terjadi di Sulawesi Utara bersifat ringan dan sebagian kecil berkaitan dengan reaksi kecemasan sehingga kami keluarkan rekomendasi bahwa vaksin ini dapat diteruskan dalam Program Imunisasi Nasional di Sulawesi Utara,” ungkap Hendra.
Vaksin AstraZeneca Aman
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunizattion (ITAGI), Sri Rezeki Hadinegoro, memastikan bahwa vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca aman untuk digunakan.
Menurutnya, kejadian pembekuan darah di beberapa negara di Eropa pasca disuntik AstraZeneca diyakini bukan diakibatkan oleh vaksin tersebut. Meski demikian, ia menegaskan tetap perlunya pengawasan yang lebih ketat dalam penyuntikan vaksin AstraZeneca.
“Bahwa gangguan pembekuan darah sebetulnya secara alami cukup tinggi, dan dengan adanya vaksinasi tidak menambah. Kalau dia disebabkan oleh vaksin pasti angka kejadiannya akan naik, ini tidak terjadi, kemudian bagaimana pun juga kita harus pantau hal ini, kita harus berhati-hati memantau secara serius, berkala. Ini yang kita anjurkan untuk dikerjakan pada Kemenkes,” ujar Sri.
Keamanan vaksin buatan Inggris ini, kata Sri, juga dilihat dari uji klinis yang dilakukan kepada lebih dari 20 ribu sukarelawan yang dikerjakan di Inggris, Afrika Selatan, dan Brazil. Di dalam uji klinis tersebut efek samping yang ditemukan pun bersifat ringan, dan tidak ada yang masuk rumah sakit, apalagi meninggal akibat vaksin AstraZeneca tersebut.
“Vaksin ini bisa diberikan di atas 18 tahun malah juga untuk lansia (lanjut usia -red). Untuk lansia sangat baik, aman, dan juga imunogenitasnya cukup tinggi. Tetap dua kali diberikan, vaksin pertama, vaksin kedua dengan interval dikatakan oleh WHO 4-8 minggu,” katanya.
Namun, tambahnya, ITAGI menyarankan sebaiknya interval pemberian vaksin berjarak delapan minggu. “Mungkin itu lebih baik karena melihat efek sampingnya lebih rendah dan imunogenitasnya lebih baik,” paparnya.
Paling Banyak Vaksinasi
Dalam kesempatan ini, Nadia juga mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara di dunia yang paling banyak melakukan vaksinasi COVID-19 sampai saat ini. Per 26 Maret kemarin, sebanyak 10 juta orang sudah divaksinasi COVID-19.
“Dengan kondisi ini maka Indonesia termasuk dalam posisi empat besar negara di dunia yang bukan produsen vaksin, tetapi merupakan negara yang tertinggi dalam melakukan penyuntikan,” kata Nadia.
Menurutnya, di bawah Indonesia, ada negara-negara besar lainnya, seperti Jerman, Turki, Brazil, yang berhasil melampaui negara-negara Israel dan Perancis.
“Ke depan, kita akan terus tingkatkan kapasitas vaksinasi kita sehingga dapat segera mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity yang kita inginkan sehingga kita keluar dari pandemi COVID-19,” kata Nadia.
Pemerintah, kata Nadia, akan berusaha meningkatkan kecepatan penyuntikan vaksin COVID-19 dari semula 500 ribu penyuntikan per hari menjadi satu juta penyuntikan per harinya.
Maka dari itu, ia pun mendorong seluruh masyarakat untuk segera divaksinasi COVID-19, terutama untuk kelompok masyarakat yang berusia 60 tahun ke atas atau lansia. Menurutnya, hal ini penting mengingat angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19 pada lansia masih cukup tinggi.
“Kita lihat bahwa lansia ini masih sangat rendah partisipasinya, padahal kita tahu angka kesakitan dan angka kematian pada usia di atas 60 tahun tiga kali lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Mari kita sama-sama upayakan bagaimana kita mendorong usia di atas 60 tahun untuk bisa segera divaskinasi,” katanya. [gi/ah]