Dikenal dengan bulu oranyenya yang khas, orangutan adalah mamalia terbesar yang menghabiskan sebagian besar waktunya di pepohonan. Orangutan memiliki 96,4% gen manusia dan merupakan makhluk yang sangat cerdas. Namun keberadaan mereka kini terancam, karena 80% dari populasinya musnah. Itulah sebabnya, Orangutan Foundation International (OFI) dibentuk sejak tahun 1986 di Amerika.
Hanya dua negara di dunia memiliki orangutan, yaitu Malaysia dan Indonesia dengan populasi 10% di Malaysia dan 90% di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera.
Setelah Orangutan Foundation International (OFI) dibentuk 1986 di Amerika, sepuluh tahun kemudian didirikan di Indonesia, tepatnya di Pangkalan Bun, di dekat Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, oleh seorang perempuan yang sangat peduli akan keselamatan dan pelestarian orangutan.
Doktor Birute Mary Galdikas, 74 tahun, pertama kali tiba di Indonesia pada tahun 1971, setelah selama 6 bulan mempelajari orangutan tanpa henti, di kebun binatang Los Angeles. Perempuan kelahiran Jerman, namun warganegara Indonesia yang akrab disapa dengan “Bu Birute” itu menceritakan kepada VOA:
“Saya tiba di Indonesia tahun 1971, artinya pada bulan November tahun ini adalah hari jadi ke-50 tahun, saya di Indonesia dalam menyelidiki dan melindungi orangutan serta hutan mereka.”
Meskipun ia menyukai binatang lain, namun ada sesuatu yang membuatnya sangat dekat dengan orangutan.
“Kalau kita mengamati mata orangutan, mata mereka persis seperti mata manusia. Mata orangutan hampir semua punya iris (lingkaran di bola mata) yang coklat dan di keliling iris warnanya putih seperti manusia. Juga kalau orangutan melihat kita, sepertinya mereka paham dan tertarik pada jiwa kita juga,” tukas Birute.
Pimpin Yayasan Orangutan dan Menikah dengan Pria Dayak
Perempuan yang telah menikah selama 40 tahun dengan pria Dayak ini menjadi Presiden dan pendiri yayasan nirlabanya itu. Ia mempunyai 230 karyawan yang sebagian besar penduduk asli Dayak. Selain karyawan tetap, terdapat pula beberapa relawan. Salah seorang di antaranya, Yan Wiramidjaja, diaspora Indonesia yang tinggal di AS.
Yan, 57 tahun, semula adalah mahasiswa Birute ketika ia kuliah di UNAS (Universitas Nasional) Jakarta. Yan yang telah tinggal di AS selama 26 tahun itu merasa tergugah untuk menjadi relawan di Tanjung Puting, tempat mantan dosennya, Birute Galdikas mengabdikan dirinya untuk melestarikan orangutan.
“Saya kan memang pernah menjadi mahasiswa bu Galdikas. Saya membiayai sendiri untuk menjadi relawan. Saya orang Indonesia-Amerika, banyak orang Indonesia berpikir: ‘wah enak ya jadi relawan, pasti dibayar banyak. Tidak sama sekali, saya dianggap sebagai relawan orang Amerika.”
Indonesia sangat beruntung memiliki seorang Birute Galdikas yang pengabdiaannya sangat besar kepada orangutan dan hutan terutama di Kalimantan.
Yayasan Orangutannya memiliki Pusat Perawatan atau Care Center orangutan yang menangani berbagai kasus, seperti orangutan yang terkena konflik dengan man usia, maupun bayi orangutan yang kehilangan induknya. Di sana terdapat empat dokter hewan. Relawan seperti Yan menangani berbagai pekerjaan, dari ikut membersihkan kandang, memberi makan dan ur usan lain.
“Tugas saya sih datang mengontrol, bagaimana kebersihan kandang, karena saya sudah tahu orangutan , jadi 75% saya di Care Center, di tempat karantina. Sekarang ini berubah perilaku orangutan karena sudah terlalu lama di kandang. Jadi kalau mangga dikupas kadang tidak dimakan, terbuang. Lain kalau kita kupaskan dan dipotong-potong. Harus bisa kreatif dalam mengerjakan ini, jadi harus diatur bagaimana agar mereka suka sehingga tidak terbuang”.
Terbanyak di dunia
Hutan Kalimantan yang luas menjadi habitat yang baik bagi orangutan. Tak heran jika Birute juga ikut melestarikan hutan di Kalimantan dengan menanam berbagai pohon.
“Kami menanam pohon asli, memulai menanam bibit sejak tahun 2017. Sejak itu sudah menanam 375.000 bibit sampai akhir tahun 2020. Memang waktu pandemik agak susah, karena orang tidak mau keluar dari desa,” ujar Birute.
Doktor Birute Galdikas yang pernah mengikuti konferensi orangutan di Serawak mengatakan, hanya terdapat 2.000 orangutan liar di sana. Karena di Malaysia, mereka punya hak untuk memiliki senjata secara sah, dan mereka suka membunuh orangutan. Sedangkan Indonesia mempunyai lebih banyak orangutan.
“Sekarang di Taman Nasional Tanjung Puting dan sekitarnya, ada sekitar 5.000 orangutan liar dan Tanjung Puting adalah tempat di seluruh dunia yang mempunyai paling banyak orangutan,” ungkapnya.
Memang Taman Nasional Tanjung Puting sangat terkenal sebagai obyek wisata alam dan pendidikan, seperti dijelaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Tengah, Dr. Guntur Talajan.
“Jadi gaya hidup liar orangutan yang bebas di hutan itu yang ditonton, dilihat, diteliti, bahkan menjadi obyek pendidikan baik bagi wisatawan maupun kalangan akademis, terutama untuk manca negara Eropa,” ujar Guntur.
Sekarang ini Doktor Birute Galdikas sedang berada di Los Angeles, California, sambil menunggu untuk bisa kembali ke Kalimantan setelah pandemi covid berlalu.
Peringatan 50 tahun pengabdiannya untuk pelestarian orangutan sejak tahun 1971 tepatnya bulan November nanti, ingin ia peringati dalam acara Gala di Kalimantan. [ps/em]