Perempuan kembali menjadi pelaku dalam serangan teror di dua kejadian terakhir di Makassar dan Jakarta.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah kepada VOA, Kamis (1/4), mengatakan perempuan yang terpapar terorisme sangat militan dalam menjaga keyakinannya dan itu sangat memprihatinkan.
Pernyataannya ini menanggapi keterlibatan perempuan dalam dua serangan bunuh diri yang terjadi berdekatan, yakni pada 28 Maret di depan Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan, dan pada 31 Maret di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta.
Syauqillah menjelaskan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan Al-Qaidah berbeda memperlakukan perempuan.
Kalau Al-Qaidah menjadikan komponen pendukung dari serangan teror, sedangkan buat ISIS, perempuan itu menjadi aktor utama atau pelaku.
"Karena mereka berpikir kalau laki-laki bisa berjihad, kami pun perempuan bisa melakukan jihad. Mereka berpikir kenapa hanya laki-laki yang boleh berperang, berjihad? Kenapa perempuan tidak? Kami juga bisa dong. Itu pikiran utamanya," kata Syauqillah.
Selain masalah ideologi, penggunaan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri juga bagian dari strategi untuk mengelabui musuh atau aparat sehingga lebih mudah mendekati sasaran.
Perempuan yang akan melakukan serangan bunuh diri dengan membawa bom di tubuhnya tidak akan dicurigai oleh aparat. Dia mencontohkan saat konflik Poso, ada beberapa kasus lelaki yang berpakaian seperti perempuan untuk mengelabui aparat.
Pakar terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menjelaskan bukan hal aneh kalau jaringan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah menjadikan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.
"Inilah narasi yang dipakai oleh ISIS, kenapa harus laki-laki? Perempuan juga bisa (melakukan bom bunuh diri). Narasi yang dikembangkan itu bahwa jihad, melakukan aksi itu namanya fardu ain, kewajiban individu," kata Noor Huda.
Narasi tersebut, lanjut Noor Huda, semestinya menjadi peringatan bagi semua negara untuk meningkatkan kewaspadaan bahwa lelaki dan perempuan bisa sama-sama menjadi berpaham ekstrem dan bergabung dengan kelompok teroris. Karena itu, dia menambahkan isu terorisme juga harus dilihat dengan menggunakan pendekatan gender.
Noor Huda mengatakan dengan menggunakan perempuan sebagai pelaku, kelompok teroris seperti Jamaah Ansarud Daulah (JAD) mengirim pesan kepada lelaki berpaham ekstrem untuk juga melancarkan serangan bunuh diri dan jangan kalah dengan kaum hawa.
Dia meyakini akan ada bom bunuh diri lagi dilakukan oleh para pemuja ISIS tersebar di Internet. Apalagi, menurut Noor Huda, momentum Ramadan selalu dipakai sebagai saat yang tepat untuk berjihad dengan klaim mereka mencontoh Rasulullah yang pernah berperang di bulan suci Ramadan. Hal ini kian berbahaya karena kelompok teroris gencar melakukan propaganda mereka secara online.
Menurut Noor Huda, untuk mencegah lelaki atau perempuan terpapar paham teroris, maka perlu diberi pemahaman kepada pengguna Internet bahwa tidak semua informasi yang tersebar di dunia maya itu benar, butuh pemahaman bagaimana cara menggunakan Internet atau media sosial yang benar.
Dalam jumpa pers pasca serangan teroris di Markas Besar Polri, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan pelaku ZA adalah orang yang terpapar paham teroris melalui Internet.
Setidaknya sudah empat kali serangan bom bunuh diri pelakunya perempuan, yakni bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya pada Mei 2018, bom bunuh diri di Sibolga (Sumatera Utara) pada Maret 2019, bom bunuh diri di Makassar pada 28 Maret lalu, dan serangan bunuh diri di Markas Besar Polri pada 31 Maret. [fw/em]