Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD total aset BLBI yang dapat dikembalikan ke negara mencapai Rp110 triliun. Aset tersebut antara lain berupa jaminan deposito, sertifikat tanah, dan sertifikat barang.
"Saya baru saja memanggil Dirjen Kekayaan Negara dan Jamdatun dari Kejaksaan Agung, tadi menghitung hampir Rp110 triliun. Tapi dari itu yang realistis untuk ditagih berapa masih perlu kehati-hatian," jelas Mahfud MD saat memberikan keterangan secara daring, Senin (12/4/2021).
Mahfud menambahkan aset BLBI sebelumnya belum bisa dieksekusi karena menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Pemerintah baru berupa mengambil aset tersebut setelah MA mengeluarkan putusan BLBI merupakan ranah perdata. Namun, MA juga menyebutkan sudah tidak ada pidana dalam kasus BLBI.
"Sebetulnya kita sudah bekerja lama begitu ada putusan MA pada Juli 2019. Bahwa ini tidak ada pidananya. Nah kita sudah mulai menginventaris kalau tidak ada pidana mari kita kerja sekarang untuk menagih perdatanya," tambah Mahfud.
Pemerintah Tak Ajak KPK
Mahfud menjelaskan tidak mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam Satgas Hak Tagih BLBI karena lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga hukum pidana, sedangkan putusan MA menyebutkan kasus BLBI merupakan perdata. Selain itu, KPK merupakan lembaga yang bukan menjadi bagian pemerintah seperti Komnas HAM. Ia khawatir pemerintah justru akan dinilai menyetir KPK jika masuk dalam satgas.
"Meskipun begitu saya sudah koordinasi dengan KPK. Saya perlu data-data pelengkap dari KPK karena tentunya punya data-data lain di luar soal hukum perdata yang bisa ditagihkan dan digabungkan ke perdata."
Ia menjamin Satgas Hak Tagih BLBI akan bekerja secara transparan dan akan mengumumkan aset yang berhasil dieksekusi ke masyarakat. Menurutnya, KPK dan masyarakat juga dapat mengawasi dana BLBI yang mencapai seratusan triliun ini.
Pendekatan Perdata
Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menilai pendekatan perdata yang diambil pemerintah semestinya bisa membuahkan hasil. Menurutnya, tim juga dapat belajar dari lambatnya proses eksekusi aset BLBI oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) beberapa tahun lalu.
"Kita tunggu sepak terjang Satgas Keppres 6 Tahun 2021. Belajar dari lambatnya proses BPPN beberapa tahun lalu, dengan pendekatan perdata, mestinya Tim BLBI di bawah Keppres 6/2021 bisa membuahkan hasil," jelas Wawan kepada VOA, Senin (12/4/2021) malam.
Kendati demikian, Wawan menuturkan bahwa dia kaget dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan KPK dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
SP3 untuk Sjamsul Nursalim
Akhir Maret lalu, KPK menghentikan kasus dugaan korupsi BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Penerbitan SP3 ini merupakan kali pertama bagi KPK sejak pemberlakuan Undang-Undang (UU) KPK hasil revisi yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat.
KPK beralasan tidak ada penyelenggara negara dalam kasus ini setelah MA melepaskan mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dari pidana. Arsyad sebelumnya dinyatakan bersalah dalam Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus SKL BLBI kepada BDNI. Kala itu ia dinilai terbukti merugikan negara sekitar Rp4,58 triliun sebelum dilepaskan Mahkamah Agung. [sm/em]