Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menonaktifkan 75 pegawai KPK yang telah dinyatakan tidak lulus dalam tes wawasan kebangsaan. Ujian ini oleh KPK dijadikan sebagai syarat peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri.
Menanggapi keputusan nonaktif tersebut, penyidik senior KPK Novel Baswedan bersama 74 koleganya yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan akan melawan putusan tersebut.
Dalam cuitannya di Twitter, Novel menegaskan sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi dan putusan Mahkamah Konstitusi, peralihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK. Namun, tes wawasan kebangsaan telah menjadi alat untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo membenarkan dirinya telah menerima surat penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan tersebut. Mereka sudah diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan masing-masing.
Dia mengatakan pihaknya akan mempelajari keputusan pimpinan KPK tersebut dan melakukan konsolidasi untuk menentukan langkah berikutnya.
"Kami harapkan kita tetap patuh kepada putusan Mahkamah Konstitusi bahwa peralihan pegawai KPK itu tidak boleh merugikan pegawai KPK," ujar Yudi.
Namun, juru bicara KPK Ali Fikri menjelaskan bahwa surat keputusan yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri tersebut bukan berarti 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan telah dibebastugaskan. Dia menambahkan KPK tengah berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai status ke-75 pegawai itu.
“Perlu kami tegaskan bahwa saat ini status dari pegawai dimaksud (75 orang) bukan nonaktif karena mengenai hak dan kewajibannya tentu masih berlaku. Namun pelaksanaan dari tugas masing-masing pegawai dimaksud selanjutnya atas arahan dari atasan masing-masing,” tutur Ali.
Guru Besar fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto menjelaskan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki dasar hukum.
Menurut Riyanto, 75 pegawai KPK tersebut tidak pernah melanggar hukum atas etika. Sehingga ketika ada keputusan untuk menyingkirkan mereka lanjutnya, patut dicurigai sebagai upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Apalagi 75 pegawai ini adalah penyidik dan penyelidik yang menangani kasus-kasus penting, baik yang sudah dilakukan, sedang dilakukan, ataupun akan dilakukan oleh KPK. Jadi merupakan upaya yang terstruktur dan sistematis untuk melakukan pelemahan KPK," kata Sigit.
Sigit mengatakan para akademisi akan terus menyuarakan penolakan terhadap penonaktiffan 75 pegawai KPK. Mereka juga menyatakan mendukung secara moral upaya ke-75 pegawai itu untuk melawan keputusan pimpinan KPK yang menonaktifkan mereka.
Dia menilai Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan yang sangat baik untuk mencegah 75 pegawai itu agar tidak tersingkir dari KPK. [fw/ft]