Dua orang tewas dan sedikitnya 30 orang lainnya luka-luka dalam penembakan massal sepanjang Jumat malam (11/6) di tiga negara bagian, demikian pernyataan pihak berwenang hari Sabtu (12/6). Hal ini memicu keprihatinan bahwa lonjakan kekerasan dengan senjata api di Amerika akan berlanjut pada musim panas ketika pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sosial dan lebih banyak orang bebas bersosialisasi.
Serangan menggunakan senjata api terbaru ini terjadi Jumat malam atau Sabtu dini hari di Austin-Texas, Chicago-Illinois, dan Savannah-Georgia.
Di Austin, pihak berwenang mengatakan telah menangkap salah seorang dari dua tersangka laki-laki dan sedang mencari tersangka lainnya setelah insiden penembakan Sabtu dini hari di sebuah jalan yang hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki, yang dipenuhi bar dan restoran.
Empat belas orang luka-luka, termasuk dua luka kritis, dalam insiden yang menurut penjabat kepala kepolisian berawal dari pertengakaran di antara dua pihak.
Sementara itu, hingga Sabtu malam belum ada satu orang pun yang ditangkap dalam dua insiden penembakan lainnya.
Di Chicago, seorang perempuan tewas dan sembilan lainnya luka-luka ketika dua laki-laki melepaskan tembakan ke arah sekelompok orang yang sedang berdiri di pinggir jalan di pemukiman Chatham di South Side. Penembak juga melarikan diri dan hingga Sabtu malam belum dapat diidentifikasi.
Di Savannah, Georgia, polisi mengatakan seorang laki-laki tewas dan tujuh lainnya luka-luka dalam penembakan massal Jumat malam. Dua di antara korban luka-luka ada anak-anak berusia 13 tahun dan 8 bulan. Kepala Kepolisian Savannah Roy Minter Jr. mengatakan penembakan itu tampaknya terkait dengan perselisihan berkepanjangan di antara dua kelompok, dan mengutip laporan bahwa letusan tembakan juga dilaporkan terjadi di kompleks apartemen yang sama sebelumnya pada pekan yang baru berlalu.
Insiden-insiden serangan senjata api ini terjadi di tengah pelonggaran pembatasan sosial terkait Covid-19 di sebagian besar Amerika.
Banyak yang berharap agar lonjakan penembakan dan pembunuhan di Amerika tahun lalu merupakan “penyimpangan” yang mungkin disebabkan stres terkait pandemi, di tengah meningkatnya kepemilikan senjata api dan debat tentang kebijakan kepemilikan senjata api. Tetapi tingkat serangan itu masih lebih tinggi dibanding masa sebelum pandemi, termasuk di kota-kota yang menolak memangkas anggaran bagi kepolisian pasca kematian George Floyd dan kota-kota yang telah melakukan pemangkasan anggaran secara moderat.
Melacak naik turunnya kejahatan selalu rumit, tetapi kejahatan dengan kekerasan biasanya meningkat pada bulan-bulan pada musim panas. Saat akhir pekan – malam dan dini hari – pada umumnya merupakan waktu terjadinya penembakan.
Banyak jenis kejahatan yang memang menurun pada tahun 2020 dan tetap rendah tahun ini, menunjukkan bahwa pandemi dan kegiatan serta kerusuhan yang dipicu oleh tanggapan terhadap kematian George Floyd tidak mengarah pada lonjakan kejahatan secara keseluruhan.
Menurut bank data yang disusun kantor berita Associated Press, USA Today dan Northeastern University, hanya ada tiga penembakan yang terjadi di tempat umum dari total 19 penembakan massal pada tahun 2020. Jumlah itu merupakan yang terendah untuk kategori ini dalam satu dekade.
Insiden penembakan yang dikategorikan penembakan massal adalah jika ada empat orang atau lebih yang tewas, tidak termasuk pelaku.
Berdasarkan defisini itu ada 17 penembakan massal, 16 di antaranya terjadi tahun ini, ujar James Alan Fox, seorang kriminolog dan profesor di Universitas Northeastern.
The Gun Violence Archive – yang memonitor laporan media dan polisi untuk melacak kekerasan dengan senjata api – mendefinisikasi penembakan massal ketika ada sedikitnya empat korban penembakan, baik yang meninggal maupun luka-luka.
Secara keseluruhan sepanjang tahun ini sudah lebih dari 8.700 orang meninggal karena kekerasan dengan senjata api di Amerika. [em/lt]