Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil de facto Myanmar yang digulingkan, kembali ke ruang sidang di ibu kota, Naypyidaw, hari Selasa (15/6), untuk diadili atas dua dari beberapa tuduhan paling serius yang terkait korupsi, yang diajukan oleh junta militer yang menggulingkan pemerintahannya awal tahun ini.
Suu Kyi yang berusia 75 tahun menghadapi tuduhan melanggar UU Rahasia Resmi, menerima pembayaran ilegal uang tunai 600 ribu dolar ditambah 11 kilogram emas dan menyalahgunakan lahan untuk yayasan amalnya.
Persidangan terpisah diadakan hari Senin (14/6) atas tuduhan memiliki secara ilegal walkie-talkie tak berlisensi dan melanggar UU Penanggulangan Bencana Alam Myanmar karena tidak mematuhi restriksi terkait COVID-19 sewaktu berkampanye dalam pemilihan legislatif tahun lalu.
Khin Maung Zaw, seorang pengacara Suu Kyi, mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan Suu Kyi tidak terlihat sehat tetapi “tampak cukup tertarik dan benar-benar menaruh perhatian” dalam sidang hari Senin (14/6).
Pengacara itu mengatakan mantan Presiden U Win Myint juga diadili pada hari Senin (14/6) karena melanggar UU Penanggulangan Bencana Alam.
Tim pengacara telah mengatakan kepada wartawan bahwa mereka memperkirakan persidangan yang sekarang ini akan berlangsung hingga akhir Juli.
Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian, telah ditahan sejak 1 Februari, sewaktu pemerintahan sipilnya digulingkan hampir tiga bulan setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), meraih kemenangan telak dalam pemilu.
Junta menyebut kecurangan pemilu yang meluas dalam pemilu 8 November sebagai alasan kudeta, tuduhan yang dibantah oleh komisi pemilu sipil. Junta telah mengancam akan membubarkan NLD terkait tuduhan-tuduhan itu.
Kudeta tersebut memicu krisis di negara di Asia Tenggara itu yang menyebabkan demonstrasi maut antijunta serta bentrokan antara beberapa kelompok etnik bersenjata dan junta yang berkuasa.
Dalam kampanye untuk menumpas protes, pemerintah telah menewaskan lebih dari 800 pengunjuk rasa dan penonton demonstrasi sejak pengambilalihan kekuasaan, kata Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik, yang melacak korban dan penangkapan di Myanmar. [uh/ab]