Sebelum dia dibunuh, puisi-puisi Khet Thi mencerca dengan fasih kudeta militer Myanmar. Dia bergabung dengan gelombang protes yang mendukung para demonstran demokrasi dan menentang tindakan brutal militer dengan kata-kata.
Ketika tentara melancarkan penumpasan atas perlawanan terhadap kudeta militer, dia meminta publik untuk berdiri tegak melawan apa yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap eksistensial bagi masa depan negara itu.
“Kita harus berjuang untuk memenangkan pertempuran ini,” tulisnya. “Jika kita kalah, kita menjadi Korea Utara. Jika kita menang, kita menjadi Korea Selatan.”
Bulan lalu, sejumlah polisi dan tentara mengepung rumah yang ditinggalinya bersama istri dan keluarganya di pusat kota Shwebo.
Mereka menuduh penyair itu – yang membuat kue dan es krim untuk menghidupi keluarganya – merencanakan serangkaian ledakan bom, dan menuntut dia menyerahkan diri.
Hari berikutnya istrinya Chaw Su dipanggil ke rumah sakit di Monywa yang berjarak sekitar 80 kilometer jauhnya.
“Saya kira saya bisa (membawakan) beberapa pakaian untuknya,” katanya kepada kantor berita AFP.
Namun, menurut seorang petugas polisi, hal itu tidak perlu karena suaminya telah meninggal.
Myanmar telah bergejolak sejak kudeta 1 Februari yang mengakhiri pemerintahan demokrasi 10 tahun yang telah melonggarkan belenggu penyensoran dan memungkinkan ekspresi diri yang lebih besar. [lt/ah]