Pesantren dan santri perempuan didorong memperbesar peran dalam menyajikan narasi berimbang bagi pengguna media daring. Hal ini dilakukan mengingat internet telah menjadi ladang baru untuk merebut pengaruh dalam banyak isu, mulai politik, kesehatan, kehidupan sosial hingga keagamaan.
Ada banyak model perebutan narasi itu. Salah satunya dilakukan sekelompok orang dengan cara menyediakan layanan tanya jawab terkait isu keagamaan. Dalam pengamatan Siti Rofiah, dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, laman-laman semacam ini rajin mengupas persoalan terkait perempuan. Sayangnya, sudut pandangnya patut dipertanyakan.
Misalnya, pertanyaan terkait apakah perempuan diperbolehkan pulang malam? Atau bagaimana hukum perempuan menggunakan tas ransel. Ada juga soal larangan memakai parfum atau memasang foto di laman media sosial. Pertanyaan semacam itu, kata Siti Rofiah, mendudukkan perempuan dalam posisi inferior dan seolah tidak mampu menggunakan nalar pikir atau berlogika.
“Padahal agama itu sangat mendukung umatnya untuk menggunakan pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini seperti kembali pada beberapa abad ke belakang, mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Dan sayangnya jawabannya juga sama, cenderung selalu memposisikan perempuan di dalam posisi yang subordinat, yang diskriminatif,” ujar Siti Rofiah.
Karena itulah, Siti Rofiah menilai literasi digital menjadi sangat penting. Dengan kemampuan literasi yang baik, pengguna internet tidak akan dengan mudah menerima apa yang dipaparkan dalam laman-laman tertentu sebagai sebuah kebenaran.
“Informasi yang didapatkan itu akan selalu dicek dulu kebenarannya. Literasi ini penting agar kita tidak terbawa arus, karena internet itu informasinya sangat melimpah,” tambah Siti Rofiah.
Di samping literasi, Siti Rofiah juga memandang perempuan dan pesantren harus lebih banyak mengupas persoalan kesetaraan gender di internet. Tafsir mengenai bagaimana Islam menempatkan perempuan harus diperkaya dengan kisah-kisah perempuan di sekitar Nabi Muhammad yang begitu menonjol perannya, seperti Siti Khadijah dan Aisyah.
Paparan itu disampaikan Siti Rofiah, ketika menjadi pembicara dalam Halaqah Virtual Perempuan Ulama 2021. Acara ini diselenggarakan Pusat Studi Pesantren pada Kamis (12/8) dan merupakan seri ke-30, yang membincangkan tentang Dakwah di Media Sosial dan Penguatan Literasi Pesantren.
Tantangan Literasi Pesantren
Untuk memperkaya literasi itu, tentu saja kalangan pesantren dan perempuan memiliki tugas besar. Di masa lalu, kata Tutik Nurul Jannah, pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Walisongo menyebarkan paham agama melalui produk budaya seperti wayang. Saat ini, tantangan bagi upaya serupa ada di dunia maya.
Namun pada saat bersamaan, kata Nurul, sebenarnya pesantren juga memiliki tantangan berat terkait literasi digital. Ketika masyarakat umum di luar pesantren sudah bisa mengakses internet dengan mudah, di lingkungan dalam, akses terhadap teknologi ini sangat terbatas.
“Kita bicara perkembangan digital yang demikian pesat, tetapi di sisi lain kita tahu, di beberapa pesantren masih tidak memperbolehkan, terutama pada usia pra aliyah (SMA) bahkan untuk sekedar memegang gadget saja tidak boleh,” kata Nurul.
Kondisi itu adalah kenyataan bahwa dakwah di media digital yang sudah sangat mendesak, tidak diimbangi literasi digital di pesantren. Lebih jauh, upaya menciptakan kader santri yang akan mengisi konten dakwah digital itu sendiri, terhalang oleh aturan di pesantren terkait teknologi.
Kondisi ini, kata Nurul, menuntut semua pihak yang peduli untuk bekerja lebih keras. Dia berpendapat, penting untuk dipikirkan kebijakan pesantren dan literasi digital ke depan. Bagaimana pesantren mengatur akses santri terhadap perangkat digital, dengan tetap mengedepankan manfaat positifnya.
Nurul mengakui saat ini sudah ada cukup banyak laman di internet sebagai rujukan dalam isu-isu agama. Namun, masih sangat sedikit laman tersebut yang dikelola oleh pesantren, atau paling tidak mereka yang menyelesaikan pendidikan agama di pesantren.
Isu-isu terkait perempuan juga sangat penting untuk dibicarakan, karena kenyataannya 65 persen santri di Indonesia adalah perempuan. Mereka, sehari-hari berada dalam pengelolaan Bu Nyai, atau istri dari Kyai pimpinan pesantren itu. Karenanya, Nurul berpandangan, peran Bu Nyai penting dalam upaya menumbuhkan peran pesantren lebih besar ke depan.
“Santri putri dan kebijakan para Ibu Nyai pesantren ini memiliki kekuatan lebih untuk menggerakkan atau melakukan kaderisasi. Sehingga kata kuncinya, bagaimana keterbukaan para Ibu Nyai, para pengasuh pesantren putri, terhadap keberadaan dakwah digital atau dakwah melalui media sosial,” tambah Nurul.
Kolaborasi Penting
Achmad Mukafi Niam, Pemimpin Redaksi NU Online, menyebut laman media internet harus direncanakan dan dikelola dengan baik. Pada bagian tertentu, mereka yang paham agama memang memiliki peran besar. Namun di bagian lain, pengelola yang direkrut karena kemampuan teknisnya, jauh lebih penting.
“Jadi ketika dikelola dengan bagus memang, kita bisa. Tidak cukup hanya kita pinter ngaji, ya, karena memang perangkatnya beda. Misalnya di NU Online itu kami memiliki banyak sekali temen-temen yang kapasitas dan kompetensinya beda-beda,” ujar Niam.
Kuncinya adalah mengkolaborasikan berbagai keahlian, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Pengelolaan laman media juga tidak sepenuhnya bisa dilakukan dengan mengandalkan kesukarelawanan. Banyak laman yang dikelola secara professional, karena itu pesantren maupun komunitas NU tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan keikhlasan.
NU Online sendiri saat ini mengembangkan jaringan di berbagai wilayah, pelatihan yang bisa diikuti pengelola laman atau media sosial pesantren, sebagai bagain dari upaya mereka mengembangkan peran.
Salah satu sasaran penting bagi pengembang laman keagamaan adalah muslim awam. Karena itu, konten yang disediakan juga harus disesuaikan, termasuk konten yang bagi kalangan pesantren terkesan mudah dan menjadi hal sehari-hari, di internet menjadi sangat penting karena dijadikan rujukan oleh masyarakat awam. Niam memberi contoh doa-doa sehari-hari yang justru penting, karena muslim awam cenderung tidak menghafalkannya, dan akan mencarinya di internet saat membutuhkan. [ns/ah]