Para pakar terpecah tentang dampak pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban terhadap Korea utara. Beberapa berpendapat bahwa kejatuhan Kabul, yang dipicu oleh penarikan pasukan Amerika, bisa mendorong ambisi nuklir Korea Utara, sementara lainnya berpendapat kejatuhan Kabul bisa merugikan Pyongyang karena mungkin akan sulit mencuri perhatian Amerika setelah situasi yang rumit pasca penarikan pasukan mereka dari Afghanistan.
Setelah menempatkan pasukan AS di Afghanistan selama 20 tahun, Amerika mengosongkan pangkalan militer terbesarnya, Pangkalan Udara Bagram, pada 2 Juli lalu dan mengalihkan kendali kepada pasukan Afghanistan.
Lalu, awal Agustus, pasukan Taliban menyapu Afghanistan dan mulai mengambil alih kekuasaan di ibu kota-ibu kota provinsi besar. Pada hari Minggu, 15 Agustus, Taliban menguasai ibu kota Kabul dan Afghanistan berhasil mereka kuasai.
Dulu Korea Utara sering menggunakan krisis-krisis besar untuk meningkatkan retorika anti-AS. Dan penarikan pasukan adalah topik yang selalu diangkat.
Ketika Taliban menguasai ibu kota-ibu kota provinsi hingga Kabul, ibu kota Afghanistan, Korea Utara mengulangi retorikanya menentang kehadiran pasukan AS di Korea Selatan di saat kedua negara tersebut melakukan latihan militer gabungan tahunan.
“Untuk mencapai perdamaian di Semenanjung Korea, Amerika harus menarik pasukannya dan perangkat perangnya dari Korea Selatan,” kata Kim Yo Jong, adik pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada 10 Agustus.
Korea Utara menghentikan tuntutan itu pada tahun 2018, sambil terus berusaha untuk menarik simpati.
Bahan proganda bagi Pyongyang
Harry Kazianis, direktur senior studi Korea di Center for the National Interest (Pusat Kepentingan Nasional AS), sebuah lembaga think tank di Washington, D.C., mengatakan penarikan tentara AS dan jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban bisa mendorong Korea Utara untuk mengarahkan “upaya propaganda mereka agar Amerika juga meninggalkan Korea Selatan.”
Ia menambahkan: “Korea Utara jelas tidak berharap menang perang melawan AS tapi jelas berharap kalau Amerika keluar, AS akan mengakui Korea Utara sebagai negara dengan kemampuan senjata nuklir, atau setidaknya secara tidak resmi mengakuinya.”
Evans Revere, mantan pegawai Deplu AS yang punya pengalaman luas bernegosiasi dengan Korea Utara, mengatakan Pyongyang telah meningkatkan upaya untuk memperlemah aliansi Amerika-Korea Selatan. Ia memperingatkan bahwa Korea Utara tidak boleh salah perhitungan dalam mengamati situasi di Afghanistan.
“Korea Utara sebaiknya tidak menarik kesimpulan salah dari apa yang mereka lihat, karena Amerika masih sangat kuat, masih jadi negara adidaya yang mampu melakukan banyak hal, dan Korea Utara tidak boleh melihat (penarikan pasukan AS) dari Afghanistan dengan kesimpulan yang keliru,” kata Revere.
Revere mengatakan bahwa Korea Utara punya dua tujuan utama dalam hubungannya dengan Amerika.
“Korea Utara sudah lama menginginkan penarikan pasukan AS dari Semenanjung Korea,” kata Revere, yang kini berafiliasi dengan Brookings Institution, lembaga think tank yang berbasis di Washington DC.
“Tujuan Korea Utara adalah untuk melemahkan aliansi (AS-Korea Selatan) dan mengakhirinya. Tujuan ini tidak berubah. Dan apa yang kita lihat dalam beberapa tahun terakhir adalah Korea Utara lebih aktif mengkampanyekan tujuan itu, daripada tahun-tahun sebelumnya," tambah Revere.
Menargetkan Aliansi AS-Korsel
Ken Gause, direktur Program Analisa Musuh di pusat riset CNA (Center for Naval Analysis) di Arlington, Virginia, mengatakan perkembangan terakhir di Kabul bisa mendorong upaya Pyongyang untuk memutuskan aliansi antara Washington dan Seoul.
“Korea Utara mungkin melihat Amerika sedang terluka sekarang, dan mungkin ada keuntungan bagi Korea Utara untuk menambah tekanan dan memisahkan aliansi AS dan Korea Selatan,” kata Gause.
Menurut Gause, tampaknya akan lebih sulit bagi Pyongyang untuk mendapatkan keringanan sanksi dari pemerintahan Biden – yang mereka harap bisa didapat sejak pemerintahan Trump – karena sekarang Washington harus menghadapi masalah di Afghanistan.
“Dampak (krisis di Afghanistan) adalah, kesediaan pemerintah Biden untuk berhubungan dengan Korea Utara dan membahas (pengurangan) sanksi saat ini mungkin akan berkurang daripada sebelumnya,” kata Gause.
Gause memperkirakan pemerintahan Biden akan dalam “mode lockdown, berusaha mencari cara untuk memajukan agenda-agenda kebijakan luar negerinya yang menjadi prioritas.” Ia menambahkan, “Saat ini mereka punya masalah lain yang lebih utama daripada Korea Utara.
Jenderal Purnawirawan AD AS James Thurman, komandan pasukan AS di Korea Selatan pada 2011 hingga 2013, mengatakan apa yang terjadi di Kabul adalah bukti pentingnya kesiapan militer menghadapi agresi Korea Utara.
“Saya yakin dengan (kekuatan) militer Korea Selatan, sangat yakin, karena pernah berlatih dengan mereka selama hampir tiga tahun,” ujarnya.
“Situasinya sangat berbeda. Tapi menurut saya, musuh-musuh kami jadi berani ketika mereka melihat kejadian seperti ini,” tambah Thurman, terkait jatuhnya Kabul.
Pandangan Korea Selatan
Kejatuhan Kabul yang mendadak menimbulkan kekhawatiran di antara penduduk Seoul, ibu kota Korea Selatan, memancing debat tentang keamanan nasional.
Kim Yo-whan mengatakan kepada VOA Korea bahwa ia khawatir kekacauan di Kabul bisa terulang di Korea Selatan, di mana ada kelompok-kelompok yang menginginkan pasukan AS hengkang.
“Taliban menguasai daerah-daerah penting begitu militer AS ditarik, dan itu sangat bisa terjadi di Korea Selatan,” kata Kim, yang punya bisnis kecil-kecilan. “(Keberadaan) pasukan Amerika di Korea Selatan adalah pertahanan terakhir terhadap demokrasi bebas,” di kawasan ini, tambahnya.
Namun, Yoon Sae-jung, seorang guru, tidak sependapat. Ia mengatakan pada VOA, “AS tidak akan dengan gampangnya keluar dari Korea Selatan” karena “Korea Selatan penting secara geopolitik” untuk melawan China.
Lee Kwon-yeol, seorang pegawai kantoran, juga berpikir sama bahwa AS tidak akan menarik pasukannya karena “Korea Selatan dan Afghanistan berbeda secara strategis.”
Pada hari Selasa, 17 Agustus, penasihat kemanan nasional AS Jake Sullivan menegaskan Presiden Joe Biden “tidak berniat menarik pasukan AS dari Korea Selatan.”
Kehadiran militer AS di Korea Selatan telah berlangsung selama sekitar 70 tahun, sejak pasukan AS memasuki Semenanjung Korea untuk berperang melawan Korea Utara, yang menginvasi Korea Selatan pada tahun 1950.
Saat ini sekitar 28.500 tentara AS ditempatkan di sana untuk mempertahankan diri dari kemungkinan agresi dari Korea Utara.
Aliansi militer AS dengan Korea Selatan semakin diperkuat dengan kesepakatan pertahanan bersama yang ditandatangani saat perang berakhir, pada tahun 1953. [dw/pp]
Taeksung Oh berkontribusi dalam penulisan artikel ini.